Mencegah
Kemudaratan PTNBH
Yos Johan Utama ; Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 16 Maret 2015
PERGURUAN
tinggi negeri badan hukum (PTNBH) merupakan anak kandung UU Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dunia pendidikan tinggi gegap gempita
menyambut kelahirannya dengan persepsi yang terwakili dalam pengertian
’’kebebasan’’ Seolah-olah hanya kata itulah yang ada di dalam PTNBH. Kita tak
bisa membiarkan pemahaman seperti itu mengingat beberapa indikatornya
sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU tentang Pendidikan Tinggi.
Ada
beberapa kemandirian kewenangan tata kelola dan pengambilan keputusan sampai
kewenangan mengelola dana. Termasuk mengangkat dan memberhentikan dosen dan
tenaga kependidikan. Isu kebebasan dan kemandirian PTNBH telah menjadi daya
tarik para penyelenggara pendidikan tinggi. Hal itu mengingat selama ini,
kedudukan PTN sebagai satuan kerja ataupun badan layanan umum (BLU), dirasa
tidak memberikan kebebasan, terutama dalam pengelolaan dana.
Persoalannya,
bukan hal mudah mengemban status baru tersebut mengingat butuh beberapa prasyarat. Tugas
berat itu tidak bisa disandarkan hanya pada rektor dan para wakil rektor.
Perlu kesadaran dan pemahaman bersama dari semua insan perguruan tinggi bahwa
hal itu membutuhkan kerja keras. Perlu mengubah pemikiran dan budaya, dalam
arti tak hanya melihat PTN sebagai
institusi pendidikan namun juga harus menganggap sebagai enterprise
atau kesatuan unit usaha.
Perubahan
cara pandang ini sangat penting mengingat kemandirian PTNBH harus diikuti
kewajiban mencari, menemukan, mengembangkan, dan mengusahakan revenue gain activity (RGA) atau
sumber pendapatan baru. Terutama hasil dari kerja sama dengan pihak ketiga
dan penjualan produk unggulan. Dalam realitasnya, sebagian besar pembiayaan
PTN di luar beban pembayaran gaji pegawai, didukung sumber dari penerimaan
uang kuliah tunggal (UKT) dari mahasiswa.
Di
sisi lain PTNBH dituntut membiayai riset-riset unggul dan kegiatan lain,
sebagai upaya menjadi world class
university (WCU). Salah satu indikator yang harus dipenuhi adalah mencadangkan alokasi anggaran biaya
minimal 30% untuk riset. Peningkatan kuantitas dan kualitas pendanaan riset
itu untuk memenuhi persyaratan pemeringkatan tataran dunia, baik melalui Shanghai Jia Tong University (SJTU), Times Higher Education Supplement
(THES) Webometric, maupun lembaga penilai lain.
Tuntutan
peningkatan pendanaan riset dan kegiatan lain itu pasti membutuhkan dana besar. Menjadi tidak bijak andai pemenuhan
kebutuhan itu dilakukan dengan cara menambah beban mahasiswa, yaitu menaikkan
besaran uang kuliah tunggal (UKT). Andai menempuh cara itu berarti
bertentangan dengan marwah PTNBH mengingat seharusnya sedapat mungkin
menurunkan beban mahasiswa.
Justru
dengan kemandirian dan kebebasannya, PTNBH dituntut menyelenggarakan dan
menerapkan prinsip good corporate
governance dalam tiap unit usaha RGA. Di samping itu, meningkatkan
akreditasi semua prodi. Idealnya tiap prodi berakreditasi A (unggul). Namun
mencapai akreditasi A bukan perkara mudah mengingat butuh keseimbangan antara ketersediaan dosen dan
jumlah mahasiswa, serta sarana dan prasarana penunjang.
Kualitas Dosen
Kualitas
dosen pengajar juga jadi tuntutan mengingat ’’produk-produk’’ yang akan
dijual PTNBH sangat bergantung dari kualitas dosen. Padahal masih banyak
perguruan tinggi memiliki dosen bergelar doktor (S-3) kurang dari 50%.
Persoalannya, tidak mudah mengurai persoalan ini mengingat banyaknya dosen
senior yang belum bergelar doktor itu tidak bisa lagi dibiayai lewat skema
tugas belajar. Mereka diminta menempuh S-3 dengan skema izin belajar atau
atas biayai sendiri.
Realitas
ini bisa membuat sebagian dari mereka memilih stagnan dan menunggu waktu
pensiun. Pengelola PTN wajib menyelesaikan masalah itu mengingat bila tidak
akan berdampak pada rendahnya kualitas produk-produk riset yang seharusnya
diharapkan mampu menciptakan HAKI.
Pada
akhirnya outcome yang seharusnya
dirasakan insan PTN (dosen, pegawai,
mahasiswa, dan alumni) serta masyarakat dengan status PTNBH adalah ada
tidaknya peningkatan kesejahteraan. Tapi itu bukan hanya berkait peningkatan
penghasilan melainkan juga ketersediaan akses serta sarana prasarana yang
cukup bagi insan perguruan tinggi untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitasnya.
Termasuk,
keterciptaan produk unggulan PTN tersebut dalam segala bidang yang bermanfaat
bagi masyarakat. Pemaknaan dan penanganan secara keliru mengenai PTNBH,
alih-alih memunculkan manfaat besar bagi segenap insan di dalamnya dan
masyarakat, justru sebaliknya malah menghasilkan kemudaratan bagi tujuan
perguruan tinggi itu sebagai badan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar