Selasa, 17 Maret 2015

Mencegah Kemudaratan PTNBH

Mencegah Kemudaratan PTNBH

Yos Johan Utama  ;  Guru Besar dan Dekan  Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PERGURUAN tinggi negeri badan hukum (PTNBH) merupakan anak kandung UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dunia pendidikan tinggi gegap gempita menyambut kelahirannya dengan persepsi yang terwakili dalam pengertian ’’kebebasan’’ Seolah-olah hanya kata itulah yang ada di dalam PTNBH. Kita tak bisa membiarkan pemahaman seperti itu mengingat beberapa indikatornya sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU tentang Pendidikan Tinggi.

Ada beberapa kemandirian kewenangan tata kelola dan pengambilan keputusan sampai kewenangan mengelola dana. Termasuk mengangkat dan memberhentikan dosen dan tenaga kependidikan. Isu kebebasan dan kemandirian PTNBH telah menjadi daya tarik para penyelenggara pendidikan tinggi. Hal itu mengingat selama ini, kedudukan PTN sebagai satuan kerja ataupun badan layanan umum (BLU), dirasa tidak memberikan kebebasan, terutama dalam pengelolaan dana.

Persoalannya, bukan hal mudah mengemban status baru tersebut  mengingat butuh beberapa prasyarat. Tugas berat itu tidak bisa disandarkan hanya pada rektor dan para wakil rektor. Perlu kesadaran dan pemahaman bersama dari semua insan perguruan tinggi bahwa hal itu membutuhkan kerja keras. Perlu mengubah pemikiran dan budaya, dalam arti tak hanya melihat PTN sebagai  institusi  pendidikan namun  juga harus menganggap sebagai enterprise atau kesatuan unit usaha.

Perubahan cara pandang ini sangat penting mengingat kemandirian PTNBH harus diikuti kewajiban mencari, menemukan, mengembangkan, dan mengusahakan revenue gain activity (RGA) atau sumber pendapatan baru. Terutama hasil dari kerja sama dengan pihak ketiga dan penjualan produk unggulan. Dalam realitasnya, sebagian besar pembiayaan PTN di luar beban pembayaran gaji pegawai, didukung sumber dari penerimaan uang kuliah tunggal (UKT) dari mahasiswa.

Di sisi lain PTNBH dituntut membiayai riset-riset unggul dan kegiatan lain, sebagai upaya menjadi world class university (WCU). Salah satu indikator yang harus dipenuhi  adalah mencadangkan alokasi anggaran biaya minimal 30% untuk riset. Peningkatan kuantitas dan kualitas pendanaan riset itu untuk memenuhi persyaratan pemeringkatan tataran dunia, baik melalui Shanghai Jia Tong University (SJTU), Times Higher Education Supplement (THES) Webometric, maupun lembaga penilai lain.

Tuntutan peningkatan pendanaan riset dan kegiatan lain itu pasti membutuhkan dana  besar. Menjadi tidak bijak andai pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan cara menambah beban mahasiswa, yaitu menaikkan besaran uang kuliah tunggal (UKT). Andai menempuh cara itu berarti bertentangan dengan marwah PTNBH mengingat seharusnya sedapat mungkin menurunkan beban mahasiswa.

Justru dengan kemandirian dan kebebasannya, PTNBH dituntut menyelenggarakan dan menerapkan prinsip good corporate governance dalam tiap unit usaha RGA. Di samping itu, meningkatkan akreditasi semua prodi. Idealnya tiap prodi berakreditasi A (unggul). Namun mencapai akreditasi A bukan perkara mudah mengingat butuh  keseimbangan antara ketersediaan dosen dan jumlah mahasiswa, serta sarana dan prasarana penunjang.

Kualitas Dosen

Kualitas dosen pengajar juga jadi tuntutan mengingat ’’produk-produk’’ yang akan dijual PTNBH sangat bergantung dari kualitas dosen. Padahal masih banyak perguruan tinggi memiliki dosen bergelar doktor (S-3) kurang dari 50%. Persoalannya, tidak mudah mengurai persoalan ini mengingat banyaknya dosen senior yang belum bergelar doktor itu tidak bisa lagi dibiayai lewat skema tugas belajar. Mereka diminta menempuh S-3 dengan skema izin belajar atau atas biayai sendiri.

Realitas ini bisa membuat sebagian dari mereka memilih stagnan dan menunggu waktu pensiun. Pengelola PTN wajib menyelesaikan masalah itu mengingat bila tidak akan berdampak pada rendahnya kualitas produk-produk riset yang seharusnya diharapkan mampu menciptakan HAKI.

Pada akhirnya outcome yang seharusnya dirasakan insan PTN (dosen, pegawai,  mahasiswa, dan alumni) serta masyarakat dengan status PTNBH adalah ada tidaknya peningkatan kesejahteraan. Tapi itu bukan hanya berkait peningkatan penghasilan melainkan juga ketersediaan akses serta sarana prasarana yang cukup bagi insan perguruan tinggi untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitasnya.

Termasuk, keterciptaan produk unggulan PTN tersebut dalam segala bidang yang bermanfaat bagi masyarakat. Pemaknaan dan penanganan secara keliru mengenai PTNBH, alih-alih memunculkan manfaat besar bagi segenap insan di dalamnya dan masyarakat, justru sebaliknya malah menghasilkan kemudaratan bagi tujuan perguruan tinggi itu sebagai badan hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar