Peluang
Partai Baru
Anas Urbaningrum ; Ketua
Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2015
Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan
perginya partai politik. Sewaktu-waktu partai politik bisa hadir, pada
kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai yang dikenal nama dan
keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses yang
menyangkut hajat publik.
Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan
dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari
peran dan fungsi yang nyata di dalam proses politik. Kita akan menemukan
paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999. Jika
yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan
karena syarat dalam UU makin berat.
Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat
38, dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang
batas (threshold), pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat
9, dan 2014 menjadi 10 partai. Kecenderungannya justru bertambah banyak.
Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi
lahirnya partai baru Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga
mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar berpotensi memunculkan partai
baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung pertentangan yang tak
kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru dari
eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?
Partai Baru Pasca-Reformasi
Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya
Orde Baru adalah menjamurnya partai politik baru. Keran pendirian partai
dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup ”liberal”. Pemilu pertama
pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang mencolok,
34%.
Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul
partai baru Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai
Islam. Ada pula Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari
spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa dikategorikan baru meskipun sejatinya
”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PD–sering disebut ”PDI
Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.
Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke
partai-partai baru, terutama PDI Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya
diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas fenomena politik kota. Ada
pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri sebagai penerus
Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam
politik baru.
Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan
basisnya di desa-desa dan terutama di luar Jawa. Pemilu 2004 memotret hadirnya
partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang
mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang
18,5% persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR.
Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi menjadi 57 kursi,
sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di Senayan.
Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan
pemilih terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada
sosok SBY dan PKS yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap
sebagai lokasi harapan baru. Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009.
Ketika Demokrat naik menjadi juara dengan raihan 20,85%,
Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-masing mendapat
14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya
tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo
dan nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto.
Keduanya memetik suara yang cukup untuk modal ke Senayan.
Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran
partai baru. Partai Nas- Dem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di
Riau berhasil menembus Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura.
Ini terkait anjloknya suara Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan
sedikitnya partai peserta pemilu.
Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46%
suara PBB dan 0,91% suara Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati pula oleh parpol lain selain
NasDem. Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai
baru yang berhasil menembus ketatnya kompetisi.
Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke parlemen,
tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai
baru berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus
menawarkan harapan baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju
pemilu berikutnya.
Pemilih Rasional dan Diferensiasi
Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang
politik bagi partai baru dibuka oleh berlangsungnya mekanisme reward and
punishment. Berkembangnya jumlah pemilih rasional akibat faktor pendidikan
dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan jumlah pemilih
tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.
Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman
kepada partai yang dinilai tidak memuaskan. Pemilih rasional mampu
mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan dan kekecewaan kepada
partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam konteks citra,
pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang
kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan
bergerak mencari alternatif lain.
Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang
dinilai ada harapan. Tantangan terbesar di-hadapi partai-partai koalisi
pendukung pemerintah. Jika kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah
rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati. Partai-partai koalisi
oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius.
Jika tidak cukup terampil sebagai kekuatan penyeimbang
yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula mempertahankan jumlah pendukung
apa lagi untuk menambah jumlah dukungan. Dalam situasi seperti itu, jika
tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik, kemungkinan migrasi
dukungan cukup terbuka.
Syarat utamanya, partai tersebut tampil sebagai alternatif
dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat
perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga,
yakni kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan
kuat, jaringan yang luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan
berkomitmen, serta strategi sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang
mesin popularitas yang masif. Bagi partai baru yang demikian, pemilih
kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk menerima partai baru yang
”berbeda” dan membawa program yang nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar