RPJMN
2015 dan Operasi Imperialisme di Indonesia
Muhammad Ridha ; Mahasiswa
Pasca Sarjana di Murdoch University, Australia; Anggota Partai Rakyat Pekerja
(PRP)
|
INDOPROGRESS,
06 Maret 2015
JOKOWI telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015, sebagai cetak-biru resmi perencanaan pembangunan dalam
masa pemerintahannya. Dalam dokumen resmi yang tersedia, perencanaan
pembangunan dalam RPJMN hendak “meneguhkan kembali jalan ideologis”,
Pancasila dalam rangka “membangun jiwa bangsa… menegaskan fungsi publik
negara; menggelorakan kembali harapan di tengah krisis sosial yang mendalam”.
RPJMN 2015 sebagai dokumen resmi juga secara eksplisit mencantumkan Trisakti
(berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkeribadian secara
budaya) sebagai paradigma utama dalam orientasi pembangunan Indonesia di
bawah kepemimpinannya. Setidaknya, secara selintas, RPJM 2015 hendak
memunculkan orientasi yang berbeda dengan rezim pemerintahan sebelumnya.
Retorika kerakyatan yang sempat dipakai oleh Jokowi selama masa kampanye
kepresidenan menjadi semangat dasar dari perencanaan pembangunan.
Akan tetapi, sebagaimana perilaku setiap elit di
Indonesia, apa yang dimunculkan secara retorik belum tentu adalah apa yang
akan secara nyata dilakukan. Di sini, the
devil is in the detail (setannya ada di dalam detail). Pembacaan mendalam
atas RPJMN justru menunjukkan rupa yang berkebalikan dari apa yang
digelorakan sebagai “jalan ideologis”. dalam RPJMN, agenda imperialisme di
Indonesia memasuki babakan baru. Jargon-jargon pembangunan ala MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)-nya SBY,
seperti “konektivitas”, “koridor ekonomi”, “pembangunan infrastruktur” masih
begitu dominan dalam argumen-argumen mengenai strategi pembangunan dalam
RPJMN. Dalam hal ini, kita perlu mengingat kembali kajian Sajogyo Institute
(2014) yang melihat MP3EI sebagai rencana besar dalam melakukan percepatan
dan perluasan Krisis Sosio-Ekologis di Indoneisia. Jika kita bersepakat bahwa
“MP3EI pada dasarnya adalah desain pembangunan yang sejak awal hanya
ditujukan dan dibuat melalui konsultasi, diskusi, dan partisipasi dunia
bisnis dan pemilik korporasi raksasa” (Rachman 2014), maka dengan
ditemukannya dominasi kosakata MP3EI dalam RPJMN, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa RPJMN adalah kelanjutan dari proyek imperialisme di
Indonesia.
Benar bahwa RPJMN memiliki prioritas pembangunan yang
berbeda dengan MP3EI. Namun perbedaan prioritas ini bukanlah sesuatu yang
sepenuhnya berbeda dalam trajektori imperialisme itu sendiri. Hal ini
setidaknya dapat dilihat pada bagaimana peralihan prioritas pembangunan dari
darat ke wilayah laut-pesisir. Banyak orang yang beranggapan bahwa Jokowi
hendak mengajukan orientasi pembangunan yang visioner melalui pentingnya
pembangunan wilayah kelautan melalui kritiknya perihal, “kita sudah lama
memunggungi laut…” akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah
peralihan ini adalah konsekuensi dari mekanisme struktural akumulasi primitif
yang merupakan bagian dari operasi imperialisme dalam MP3EI.
Berdasarkan catatan akhir tahun 2014 yang dirilis oleh KPA
(Konsorsium Pembaruan Agraria dalam Inkrispena, 2015), walau jumlah konflik
tanah sekitar pesisir dapat dikatakan tidak terlalu besar, namun luas areal
konflik yang direbut oleh otoritas atas nama pembangunan mengalami
peningkatan yang signifikan.
Rilis resmi lembar fakta Inkrispena (2015) menjelaskan
laporan KPA ini dimana, “Selama 2013-2014, luas areal konflik di sektor
perkebunan, infrastruktur dan pesisir/perairan meningkat. Sementara, luas
areal konflik di sektor pertambangan dan kehutanan menurun. Peningkatan yang
paling tajam terjadi di sektor pesisir/perairan dengan peningkatan sebesar
841.285,9%.” Di sini kita menemukan bagaimana pada tahun 2014, lahan sekitar
pesisir menjadi incaran utama dalam proyeksi pembangunan imperialis.
Apropriasi masif atas lahan pesisir menjadi penting dalam operasi
imperialisme di Indonesia. Temuan ini setidaknya menunjukkan bahwa bukan visi
Jokowi yang berani untuk mengubah prioritas pembangunan Indonesia, akan
tetapi proses struktural imperialisme yang sebenarnya memfasilitasi peralihan
orientasi pembangunan yang ada.
Keberlanjutan agenda imperialisme dalam RPJMN semakin akut
ketika kita menemukan bagaimana seluruh proyek pembangunan infrastruktur yang
yang direncanakan akan dibiayai oleh utang luar negeri (Dirhantoro 2015).
Setidaknya, terdapat 9 kreditor luar negeri yang berkomitmen untuk membiayai
proyek infrastruktur miliaran dolar ini. Hingga 31 Januari 2015, total
realisasi utang yang masuk mencapai US$ 4,666 miliar atau sekitar Rp. 584
triliun. Disinilah gagasan keberpihakan dan kemandirian yang dicanangkan
dalam asumsi awal dokumen RPJMN tidak lebih sebagai “lip-service” terhadap
rakyat pekerja Indonesia.
Akan tetapi penting untuk melakukan penilaian yang
berimbang terhadap operasi imperialisme dalam RPJMN. RPJMN masih memberikan
ruang bagi kemunculan wacana partisipasi publik dalam pembangunan. Diharapkan
dalam partisipasi ini, kebijakan pembangunan dapat dipertanggungjawabkan
kehadapan publik. Wacana ini tentu saja menarik, akan tetapi kita perlu
mengkritisi lebih mendalam mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan
partisipasi di sini. Partisipasi publik dalam RPJMN adalah partisipasi yang
dikonstruksikan dalam gagasan “good governance” neoliberal, dimana publik
yang diperkenankan untuk berpartisiapsi harus dinetralisir dari kepentingan
politik publik itu sendiri. Tidak heran jika kemudian publik di sini hanya
muncul sebagai pengawas terhadap institusi tanpa punya kuasa untuk menentukan
agenda politik dalam institusi itu sendiri.
Walau RPJMN tidak lebih sebagai agenda ‘rutin’ kapitalisme
global, kita perlu menelisik lebih jauh mengenai bagaimana keberadaan
spesifik imperialisme di Indonesia. Pembacaan umum, khususnya di kalangan
kelompok nasionalis (baik progresif maupun reaksioner), adalah rezim politik
yang ada di Indonesia tidak lebih sebagai rezim boneka. Bahwa kelas berkuasa
adalah instrumen dari elit kapitalis internasional. Walau terdapat kebenaran
dari pembacaan ini, namun pembacaan ini mengabaikan dimensi kesejarahan yang
penting, bahwa elit politik yang menguasai negara memiliki kapasitas untuk
melakukan daya tawar dengan rezim ekonomi politik internasional. Sejarah kita
telah menunjukkan bahwa pasca 65, elit politik kita dapat secara otonom
memasukkan kepentingan mereka dalam relasinya dengan kekuatan imperialis.
Misalnya, masa penguasaan ekonomi asing di Indonesia yang dimulai pasca 65
dapat dihentikan pada tahun 1973 karena ada momentum boom minyak internasional.
Walau prosesnya harus terhenti dipertengahan 80an, namun setidaknya momen
historis tersebut memberikan fondasi bagi karakteristik utama elit politik
Indonesia selanjutnya.
Terdapat kekuatan politik lain yang ikut mempengaruhi
dinamika kerja imperialisme di Indonesia, yakni kekuatan politik oligarki.
Oligarki merupakan jejaring kuasa yang dilahirkan dari rahim Orde Baru, yang
lebih banyak beroperasi dalam kerangka kekuasaan internal (baca: nasional dan
lokal). Oligarki memiliki kepentingan politiknya sendiri yang berbeda dengan
imperialisme. Tujuan utama dari oligarki bukan ekstraksi surplus nasional
untuk dipindahkan ke negara imperialis, namun lebih kepada perampokan atas
sumber daya publik yang ada di Indonesia.
Hubungan antara oligarki dengan agenda imperialisme adalah
hubungan yang penuh dengan tensi dan kontradiksi. Disatu sisi mereka dapat
bertolak belakang karena perbedaan kepentingan agenda politik, namun di sisi
yang lain mereka dapat bertemu dalam konjungtur pembangunan tertentu. Sebagai
contoh, dalam proses akumulasi primitif yang memungkinkan terjadinya
perampasan tanah oleh korporasi internasional, justru terjadi melalui
otorisasi kekuasaan korup oligarki yang menghendaki rente dalam proses
akumulasi tersebut. Tanpa adanya kekuasaan oligarki, proses akumulasi akan
terhambat.
Dikarenakan keberadaannya yang historis, oligarki memiliki
kapasitas untuk menyusupkan agendanya sendiri dalam agenda ekonomi politik
global. Dalam kerangka kerja ‘good governance’ yang merupakan bagian dari
tren ekonomi politik global misalnya, oligarki mampu membajak ‘good
governance’ dan mengubah cara kerja kerangka kerja ini untuk kepentingan
mereka. Institusi negara dibuat senetral mungkin dari kepentingan publik
sehingga memungkinkan untuk dikontrol secara penuh oleh para elit politik
dalam jejaring oligarki. Gagasan ‘good governance’ mengenai efektivitas dan
efisiensi hanya berlaku bagi mereka yang berada dalam jejaring oligarki
tersebut, karena sumber daya yang dirampok mampu secara efektif dan efisien
didistribusikan ke pihak-pihak yang tidak melawan jejaring tersebut.
Proses imperialisme ini setidaknya membuat kita perlu
untuk memikirkan kembali mengenai apa yang sebenarnnya dimaksud dengan
imperialisme sekarang. Narasi umum imperialisme masih didominasi dengan cara
baca yang reduktif ala teori ketergantungan yang lama, dimana problem utama
ekonomi politik Indonesia sekarang dikarenakan ketidakmampuannya untuk
bersikap independen dengan negara maju. Akan tetapi, dari proses yang terjadi
sekarang ini, justru menunjukan bahwa keberadaan oligarki memungkinkan elit
politik untuk bernegosiasi, berkonsensi, dan melakukan tawar menawar, atau
bahkan (dalam derajat tertentu) pembangkangan terhadap agenda imperialisme
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar