Kebakaran
Vertikal dan Horizontal
Manlian Ronald A Simanjuntak ; Guru Besar
Manajemen Konstruksi;
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pelita Harapan
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Maret 2015
KEBAKARAN Gedung Wisma Kosgoro,
Senin (9/3), menambah daftar rentetan potret kebakaran di Kota DKI Jakarta.
Kita juga masih ingat beberapa hari lalu terjadi kebakaran di lingkungan
permukiman Tanah Abang. Dalam proses pemadaman ini, berarti kita perlu
memperhatikan strategi khusus agar pemadaman tidak merugikan jiwa penghuni
sekaligus jiwa tim pemadam. Kebakaran yang terjadi pada Gedung Wisma Kosgoro
dan kebakaran di lingkungan permukiman Tanah Abang merupakan realita
kebakaran vertikal dan horizontal di perkotaan.
Belajar dari karakter risiko
kebakaran vertikal pada Gedung Wisma Kosgoro, beberapa hal penting yang perlu
dicatat, pertama, sejauh mana kesiapan sistem pencegahan dan penanggulangan
kebakaran gedung? Gedung sebaiknya tidak hanya bergantung kepada tim pemadam
kebakaran eksternal oleh karena yang penting sistem pemadaman internal harus
lebih dulu siap dan mampu menanggulangi kebakaran.Wisma Kosgoro yang terletak
di jalur pusat strategis kota harus memiliki seluruh sistem proteksi
kebakaran yang berfungsi optimal. Mulai dari sistem deteksi asap atau api,
sistem komunikasi signal alarm asap atau api, sistem pemadaman otomatis sprinkler, sistem pemadaman manual
APAR dan hidran di dalam gedung, serta sistem otomatis pembuangan asap atau
mengalirkan api ke luar gedung.
Kedua, apakah elemen arsitektur,
infrastruktur, struktur, dan pengisi bangunan berfungsi maksimal (built in system)? Saya mencatat dari
berbagai sumber, saat kebakaran di Gedung Wisma Kosgoro, sejumlah tim pemadam
tidak mudah menuju dan masuk ke gedung. Perlu dicermati pola tata ruang eksterior
dan interior gedung, apakah mudah untuk penyelamatan dan pemadaman? Api yang
mudah melintas dari lantai 16, kemudian menuju ke lantai 18 menunjukkan
lemahnya kompartemenisasi yang menghambat api melintas dari ruang ke ruang
yang lain.
Ketiga, penghuni dan penanggung
jawab lantai juga harus siap. Hal ini justru yang paling penting jika
dibandingkan dengan yang lain, karena filosofi penyelamatan dan pemadaman
dilakukan mandiri penghuni gedung dan tidak tergantung kepada sistem yang
ditempelkan atau ditambahkan pada bangunan gedung. Kebakaran horizontal pada
permukiman di Tanah Abang memiliki catatan penting, yaitu pertama, arsitektur
bangunan gedung dan lingkungan yang tanggap risiko api.
Dalam hal ini perlu diperhatikan
pola penataan massa gedung, penataan infrastruktur pendukung, dan kesiapan
mengantisipasi kebakaran. Pertanyaan lanjutan, apakah permukiman Tanah Abang
sudah ditata tanggap terhadap risiko kebakaran sehingga ketika terjadi
kebakaran tidak menjalarkan api secara horizontal? Apakah sudah benar
peruntukannya sesuai tata ruang yang dipersyaratkan? Apakah bahan bangunannya
tahan api? Apakah jalur evakuasi permukiman dan infrastruktur pendukung siap?
Hal kedua yang tidak kalah penting untuk kebakaran horizontal, yaitu perilaku
penghuni yang tidak menimbulkan risiko kebakaran.
Rekomendasi
Dari kedua potret kebakaran
vertikal dan horizontal itu, rekomendasi pentingnya, pertama, penghuni
sebagai human system harus tanggap
dan siap mengantisipasi risiko kebakaran. Penanggung jawab lantai gedung
tinggi serta relawan kebakaran (Balakar) untuk hunian horizontal harus
proaktif dijalankan.
Kedua, Kota Jakarta harus dievaluasi tata ruangnya.
Catatan RUTR Kota Jakarta 2010-2020 harus dievaluasi beban penataan bangunan
gedung, ruang terbuka, dan infrastruktur kota apakah sudah benar sehingga
mewujudkan Kota Jakarta aman terhadap api bisa dilakukan. Dalam rangka
standard pelayanan minimal (SPM), Jakarta harus memiliki emergency response time (ERT) yang minimal sama dengan negara
lain, yaitu 8-10 menit. ERT ini bukan hanya tim pemadam sampai ke lokasi
dalam 8-10 menit, bahkan hingga tim pemadam kebakaran siap memadamkan api.
Ketiga, setelah tata ruang kota
beres dirapikan, selanjutnya sertifikasi laik fungsi (SLF) secara khusus
terhadap risiko kebakaran harus terwujud. Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG)
khususnya keselamatan bangunan gedung terhadap kebakaran harus segera
divitalkan. Bangunan gedung tidak dapat dioperasikan tanpa adanya persetujuan
aspek keselamatan kebakaran.
Keempat, melakukan audit dan
klasifikasi risiko kebakaran seluruh bangunan gedung secara khusus di
Jakarta. Fire risk mapping ini akan menjadi dasar pengambilan keputusan
pengurangan risiko kebakaran. Kelima, memvitalkan kembali kompetensi pemadam
kebakaran dan memvitalkan peran seluruh pemda dalam menanggulangi kebakaran.
Perlu dicatat, bahwa selain peran rakyat, peran pemerintah yang didukung para
pakar juga penting diperlukan.
Dalam tatanan pemerintah pusat,
atas rekomendasi pakar terkait, Mendagri akan mendorong Kementerian PAN dan
Reformasi Birokrasi untuk segera menetapkan jabatan fungsional damkar.
Sehubungan dengan hal itu pula, Kemendagri akan mengesahkan Komite
Standardisasi Kompetensi Pemadam Kebakaran yang akan mendorong dan melakukan
verifikasi seluruh jabatan fungsional Damkar di Indonesia.
Di tingkat provinsi juga akan
dilakukan mapping kabupaten/kota yang rawan kebakaran. Selanjutnya, BPBD
provinsi dan Biro Pemerintahan Umum memfasilitasi pendampingan peningkatan
segala prasarana pengendalian kebakaran melalui dana APBD provinsi dan juga
memfasilitasi pendidikan serta pelatihan petugas pemadam kebakaran di
kabupaten/kota. Seluruh strategi pencegahan, penanggulangan, dan penyelamatan
kebakaran di kabupaten/kota akan ditindaklanjuti melalui perencanaan
pembangunan dan anggaran yang terdokumentasi dalam RPJMD, Renstra, RKPD, dan
Renja RKA-SKPD serta RAPBD. Pencegahan dan penanggulangan risiko kebakaran
sangatlah strategis.Tercatat beberapa kementerian di negara ini ikut terlibat
aktif menanggulangi kebakaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar