Membaca
Akhir Kisruh RAPBD DKI
Abraham Fanggidae ; Mantan
Pejabat Kementerian Sosial
|
KORAN
JAKARTA, 11 Maret 2015
Semoga kisruh pembahasan RAPBD 2015 antara eksekutif dan
legislatif Provinsi DKI Jakarta usai, dan ke depan tidak perlu terjadi lagi. Dalam
hal tertentu kekisruhan tersebut menampakkan irasionalitas. Terjadi debat
kusir, saling mengelak dan mengumpat memalukan dengan jargon cacian penghinaan terhadap kelompok etnis. Publik
berharap, inilah kisruh pertama dan terakhir untuk Pemprov DKI.
Gubernur
(eksekutif) dan DPRD (legislatif)
adalah instrumen pemerintah DKI Jakarta. Di sini tersirat ada
musuh bersama. RAPBN
dijadikan momentum saling
sikat, menuding dan Perilaku mereka
mencerminkan elite tidak berkelas, dan
tidak santun.
Mereka meninggalkan
etiket dan moral yang semestinya dijunjung tinggi para penyelenggara negara. Mereka mengeluarkan unek-unek di depan media,
bukan tentang substansi RAPBD 2015. Ada
unsur kebencian, sisnisme, bahkan makian.
Kisruh karena ada yang menyimpang jauh dari garis tugas
pokok dan fungsi (tupoksi). Dengan kata lain
ada pihak yang melanggar
batasan peraturan formal. Publik tidak
sekadar menonton, tetapi juga memperbincangkan. Tak ayal, kekisruhan ini menjadi trending
topic perbincangan warga dari Sabang
sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Rote/Ndao. Maka rakyat luas tergerak mencermati akhir
kekisruhan. Sebenarnya, kekisruhan eksekutif versus legislatif DKI
Jakarta yang berlarut mendekati satu bulan ini justru tindakan asocial.
Beberapa saat, mereka sempat
“mengunci” APBD 2015 hanya demi memuluskan/mempertahankan kepentingan
pribadi atau golongan.
Tidak transparan bahkan sarat muatan korupsi mengawali
kisruh antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan 106 anggota DPRD
DKI dalam menyikapi hasil pembahasan RAPBD 2015. Ini karena ada temuan
pemprov, ternyata anggota DPRD menyelipkan “anggaran siluman” 12, 1 triliun rupiah, angka yang amat
besar.
Gubernur merasa
ditipu karena ketika eksekutif dan
legislatif terlibat proses pembahasan APBD dengan sistem e-budgeting, eksekutif tidak pernah
mengusulkan program tertentu seperti pengadaan uninterrupted power supply (UPS).
Anggaran siluman yang demikian besar membuat Ahok marah. Ada begal APBD. Penyelipan
bermotif korup. Menurut Ahok, 12, 1 triliun bisa untuk membangun 60.000 rumah susun bagi ratusan ribu warga Jakarta yang
memerlukan hunian layak. Dana sebesar itu juga bisa untuk merehabilitasi 46 persen sekolah di Jakarta.
Tetapi anggota DPRD mengelak temuan Pemprov DKI. Bahkan
seluruh fraksi dengan 106 anggota
bersepakat mengajukan hak angket untuk menyelidiki Gubernur
beserta pejabat pemprov terkait, bukan
pemakzulan. Pertanyaannya, apa yang mau disidik oleh panja hak angket
jika proses pembahasan APBD 2015 dengan sistem e-budgeting dijalankan
sempurna, apalagi APBD 2015 belum operasional?
Dipolitisasi
Jelaslah, anggota DPRD telah mempolitisasi pembahasan APBD
agar bisa mengajukan hak angket
karena tidak ada bukti kuat. Tidak ada
kerugian Negara. Belakangan, sejumlah fraksi mundur dari hak angket seperti
Nasdem dan PKB.
Dapat diperkirakan,
hak angket akhirnya gugur tidak efektif karena argumentasi teknis
tentang substansi penganggaran yang berupaya melemahkan Gubernur, amat lemah.
Justru hak angket menjadi kontra produktif. Dia bisa jadi
bumerang kalau melihat tupoksi
DPRD bukan menginput angka anggaran, tetapi hanya membahas dan menyetujui bersama (lihat UU Nomor 23 Tahun 2014,
Pasal 99).
Langkah hukum tindak pidana korupsi ditangani Polri, Kejagung dan KPK. Bahkan tiga
instansi ini antusias berebutan menyidik kisruh tersebut. Polri, Kejagung, KPK telah lama mengincar substansi korupsi anggota DPRD DKI ini.
Sejarah pemerintahan di Indonesia dalam pembahasan RAPBD
pada tingkat provinsi, kabupaten,
kota, dan Senayan belum pernah
berujung pada hak angket seperti mau digelar
DPRD DKI. Padahal jika menyimak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pasal 217 maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, serta Tata Tertib DPRD DKI
2014, kewenangan DPRD sebatas membahas
dan menyetujui RAPBD. Ini termasuk
rancangan Peraturan Daerah tentang RAPBD dimaksud. DPRD sama sekali tidak
punya wewenang mengusulkan anggaran.
Maka, intervensi DPRD
nyata mengabaikan amanat
konstitusi dan tatib DPRD dalam pembahasan anggaran. Anggota dewan ikut memasukkan anggaran, jelas salah,
karena bukan hak mereka. Intervensi legislatif tidak sulit dibaca sebagai ada
“deal” ketika APBD sudah berbentuk uang. Mungkin oknum wakil rakyat ini “deal” dengan pengusaha/pihak ketiga,
pada tahap pelelangan pekerjaan yang pos anggarannya sudah tersedia dalam
APBD, jika usulan DPRD lolos atau
tidak diketahui eksekutif.
Kesalahan konstitusional ini wajar sekali memicu kemarahan Ahok. Dia sedini mungkin berupaya
mencegah korupsi dengan melaporkan dana siluman dalam APBD 2015
kepada Mendagri dan KPK.
Sebagai catatan akhir, butir penting berikut staretgis
dalam menghasilkan APBD 2015. Kemendagri sudah mengambil kebijakan menerima
APBD versi Pemprov DKI dan akan dibahas 13 Maret. Selanjutnya, dikembalikan
ke Pemprov DKI atau Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) agar bersama Badan Anggaran (Banggar) DPRD
menyesuaikan dan menyempurnakan sesuai catatan Kemendagri. Forum untuk
pembahasan tersebut tidak perlu lagi melalui Paripurna DPRD.
Pembahasan tanpa melalui forum paripurna ibarat mobil yang
melintas di jalan tol. Eksekutif
dipastikan “ngebut” agar segera memiliki APBD untuk melayani warga dan
memulai pembangunan infrastruktur
seperti perbaikan sekolah, pencegahan
banjir, dan kelancaran lalu lintas. Jika eksekutif dan legislatif sepakat
atas catatan Kemendagri, dijadikan
Peraturan Daerah (Perda) APBD DKI Jakarta Tahun 2015.
Sebaliknya, jika legislatif tidak sepakat, maka Gubernur harus
menyiapkan langkah legalistik lainnya demi percepatan sahnya APBD. Dia segera mengeluarkan Pergub, sehingga penyusunan RAPBD 2015
sepenuhnya berada di tangan eksekutif.
Penyusunan tahapan ini memperoleh asistensi
Kemendagri. Asistensi meliputi cara menghitung pendapatan, pembelanjaan, dan pembiayaan.
Demikian juga program dan kegiatan sesuai
dengan APBD 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar