Kamis, 12 Maret 2015

Membaca Akhir Kisruh RAPBD DKI

Membaca Akhir Kisruh RAPBD DKI

Abraham Fanggidae  ;  Mantan Pejabat  Kementerian Sosial
KORAN JAKARTA, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Semoga kisruh pembahasan RAPBD 2015 antara eksekutif dan legislatif Provinsi DKI Jakarta usai, dan ke depan tidak perlu terjadi lagi. Dalam hal tertentu kekisruhan tersebut menampakkan irasionalitas. Terjadi debat kusir,  saling mengelak dan  mengumpat memalukan dengan  jargon cacian  penghinaan terhadap kelompok etnis. Publik berharap, inilah kisruh pertama dan terakhir untuk Pemprov DKI.

Gubernur  (eksekutif) dan DPRD (legislatif)  adalah instrumen pemerintah DKI Jakarta. Di sini tersirat  ada  musuh  bersama.  RAPBN  dijadikan momentum  saling sikat,  menuding dan Perilaku mereka mencerminkan  elite tidak berkelas, dan tidak santun.

Mereka  meninggalkan etiket dan moral yang semestinya dijunjung tinggi para  penyelenggara negara.  Mereka mengeluarkan unek-unek di depan media, bukan tentang substansi RAPBD 2015. Ada  unsur kebencian, sisnisme, bahkan makian.

Kisruh karena ada yang menyimpang jauh dari garis tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Dengan kata lain  ada  pihak yang melanggar batasan peraturan formal.  Publik tidak sekadar menonton, tetapi juga memperbincangkan.  Tak ayal, kekisruhan ini menjadi trending topic perbincangan warga  dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Rote/Ndao. Maka rakyat  luas tergerak mencermati  akhir  kekisruhan. Sebenarnya, kekisruhan eksekutif versus legislatif DKI Jakarta yang berlarut mendekati satu bulan ini justru tindakan asocial. Beberapa saat, mereka sempat  “mengunci” APBD 2015 hanya demi memuluskan/mempertahankan kepentingan pribadi atau golongan.

Tidak transparan bahkan sarat muatan korupsi mengawali kisruh antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan 106 anggota DPRD DKI dalam menyikapi hasil pembahasan RAPBD 2015. Ini karena ada temuan pemprov, ternyata  anggota DPRD  menyelipkan “anggaran siluman”  12, 1 triliun rupiah, angka yang amat besar.

Gubernur  merasa ditipu karena  ketika eksekutif dan legislatif terlibat proses pembahasan APBD dengan  sistem e-budgeting, eksekutif tidak pernah mengusulkan program tertentu seperti pengadaan  uninterrupted power supply (UPS).

Anggaran siluman yang demikian besar membuat  Ahok marah. Ada begal APBD. Penyelipan bermotif  korup. Menurut Ahok,  12, 1 triliun bisa  untuk membangun 60.000 rumah susun  bagi ratusan ribu warga Jakarta yang memerlukan hunian layak. Dana sebesar itu juga bisa untuk  merehabilitasi  46 persen sekolah di Jakarta.

Tetapi anggota DPRD mengelak temuan Pemprov DKI. Bahkan seluruh fraksi dengan  106 anggota bersepakat mengajukan hak angket untuk menyelidiki  Gubernur  beserta pejabat pemprov terkait, bukan  pemakzulan. Pertanyaannya, apa yang mau disidik oleh panja hak angket jika proses pembahasan APBD 2015 dengan sistem e-budgeting dijalankan sempurna, apalagi APBD 2015 belum operasional?

Dipolitisasi

Jelaslah, anggota DPRD telah mempolitisasi pembahasan APBD agar bisa mengajukan  hak angket karena  tidak ada bukti kuat. Tidak ada kerugian Negara. Belakangan, sejumlah fraksi mundur dari hak angket seperti Nasdem dan PKB.

Dapat diperkirakan,  hak angket akhirnya gugur tidak efektif karena argumentasi teknis tentang substansi penganggaran yang berupaya melemahkan Gubernur, amat lemah. Justru hak angket menjadi kontra produktif. Dia  bisa jadi  bumerang  kalau melihat tupoksi DPRD bukan menginput angka anggaran, tetapi hanya membahas dan menyetujui  bersama (lihat UU Nomor 23 Tahun 2014, Pasal 99).

Langkah hukum tindak pidana korupsi ditangani  Polri, Kejagung dan KPK. Bahkan tiga instansi ini  antusias  berebutan menyidik kisruh tersebut.  Polri, Kejagung, KPK telah lama mengincar  substansi korupsi anggota DPRD DKI ini.

Sejarah pemerintahan di Indonesia dalam pembahasan RAPBD pada tingkat provinsi, kabupaten,  kota, dan Senayan  belum pernah berujung pada hak angket seperti mau digelar  DPRD DKI. Padahal jika menyimak  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 217 maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta  Tata Tertib DPRD DKI 2014,  kewenangan DPRD sebatas membahas dan menyetujui RAPBD. Ini  termasuk rancangan Peraturan Daerah tentang RAPBD dimaksud. DPRD sama sekali tidak punya wewenang  mengusulkan anggaran.

Maka, intervensi DPRD  nyata mengabaikan  amanat konstitusi dan tatib DPRD dalam pembahasan anggaran. Anggota dewan  ikut memasukkan anggaran, jelas salah, karena bukan hak mereka. Intervensi legislatif tidak sulit dibaca sebagai ada “deal” ketika APBD sudah berbentuk uang. Mungkin oknum wakil rakyat  ini “deal” dengan pengusaha/pihak ketiga, pada tahap pelelangan pekerjaan yang pos anggarannya sudah tersedia dalam APBD, jika usulan DPRD  lolos atau tidak diketahui eksekutif.

Kesalahan konstitusional ini wajar sekali  memicu kemarahan  Ahok. Dia sedini mungkin berupaya mencegah  korupsi dengan  melaporkan dana siluman dalam APBD 2015 kepada Mendagri dan  KPK.

Sebagai catatan akhir, butir penting berikut staretgis dalam menghasilkan APBD 2015. Kemendagri sudah mengambil kebijakan menerima APBD versi Pemprov DKI dan akan dibahas 13 Maret. Selanjutnya, dikembalikan ke Pemprov  DKI atau  Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) agar  bersama Badan Anggaran (Banggar) DPRD menyesuaikan dan menyempurnakan sesuai catatan Kemendagri. Forum untuk pembahasan tersebut tidak perlu lagi melalui Paripurna DPRD.

Pembahasan tanpa melalui forum paripurna ibarat mobil yang melintas di jalan tol. Eksekutif   dipastikan “ngebut” agar segera memiliki APBD untuk melayani warga dan memulai pembangunan  infrastruktur seperti  perbaikan sekolah, pencegahan banjir, dan kelancaran lalu lintas. Jika eksekutif dan legislatif sepakat atas catatan Kemendagri,  dijadikan Peraturan Daerah (Perda) APBD DKI Jakarta Tahun 2015.

Sebaliknya, jika legislatif tidak sepakat,  maka Gubernur  harus  menyiapkan langkah legalistik lainnya demi percepatan sahnya APBD. Dia  segera mengeluarkan  Pergub, sehingga penyusunan RAPBD 2015 sepenuhnya berada di tangan  eksekutif. Penyusunan tahapan ini memperoleh asistensi  Kemendagri. Asistensi meliputi cara menghitung  pendapatan, pembelanjaan, dan pembiayaan. Demikian juga  program dan kegiatan sesuai dengan  APBD 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar