Remaja,
Pacaran, dan Pendidikan
Junaidi Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2015
PUBLIK beberapa waktu lalu
sempat kaget dengan beredarnya buku anggitan Toge Aprilianto, Saatnya Aku
Belajar Pacaran, yang menjadi buku how to dalam kegiatan pa caran. Di
Facebook, beberapa waktu lalu Toge menulis status permintaan maaf, akan
menarik peredaran buku, dan mengganti ongkos bagi pihak yang sudah
membelinya. Yang mengejutkan, buku itu ternyata beredar sejak 2010 (Tempo.co, 7/2). Artinya, kita
kecolongan lima tahun sejak buku tersebut terbit. Selama lima tahun, berapa
banyak remaja yang telah membaca buku itu dan mempraktikkan isinya?
Buku itu dianggap cabul
karena menampilkan kata-kata yang vulgar, ‘melegitimasi’ ML (making love) dalam pacaran. Kebutuhan
biologis itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, naluri manusia akil balig.
Bagi kita yang dekat dengan dunia remaja, sebetulnya tak perlu kaget
mendengar atau melihat kelakuan dan gaya pacaran anak muda saat ini. Media
massa telah menjawabnya dengan berita. Obrolan kaki lima pun menambahi dengan
rumor, isu, dan persaksian pribadi para pelaku pacaran.
Terbit atau tidak buku
itu, remaja dan pacaran adalah serupa dua keping koin yang tak bisa
dipisahkan. Sepertinya tidak lengkap kita membincangkan dunia pendidikan,
sekolah, dan kampus tanpa menghadirkan pacaran sebagai bagian integral remaja
yang mencari ilmu demi merenda masa depan yang cerah. Tidak jarang pula, itu
membahas soal pacaran lebih menarik ketimbang bicara tugas sekolah dan
makalah.
Pergeseran
Istilah
Sejak beberapa tahun lalu,
saya sering mendengar kaum muda-mudi mengganti istilah ‘pacaran’ dengan
‘mbojo’. Dalam bahasa Jawa slang, mbojo ialah kegiatan bersuami istri, dengan
segala konsekuensinya. Memanggil kekasih atau pacar dengan papa-mama,
papi-mami, dan abi-umi (biar terkesan islami?) kerap terdengar di telinga.
Saya tak bisa membayangkan apa yang dilakukan muda-mudi yang menahbiskan
pacaran dengan mbojo itu.
Perasaan menyukai lawan
jenis merupakan naluriah manusia. Sangat dilematis menghadapi remaja hari ini
yang menganggap pacaran sebagai legitimasi masa muda. Hal tersebut diperkuat
dengan budaya massa, film, sinetron, lagu, dan majalah, yang akrab dengan
tema cinta muda-mudi. Kultur pacaran ini diikuti ritus Hari Valentine dan
tahun baru yang diisi dengan kencan. Kita pun pernah akrab dengan istilah
pacaran islami, untuk menyebut model pacaran yang tetap berada dalam
bingkai-bingkai keislaman meskipun pandangan itu banyak ditolak sebagian umat
Islam sendiri, yang menganggap tidak ada pacaran dalam Islam. Kelompok itu
pun dengan tegas mengharamkan pacaran karena menjadi pintu masuk seks
pranikah.
Pacaran saat ini
‘berterima’ sebagai ‘budaya’ remaja yang sedang menapak usia dewasa. Itu menjadi
gelombang tsunami kebudayaan yang menyerang remaja kota ataupun desa. Pacaran
disulap tak ubahnya simbol modernitas remaja. Remaja dan orangtua yang
menolak pacaran dianggap orang kolot, tak cocok hidup di zaman milenium ini.
Di beberapa kampung dan rumah indekos, saya kerap mendapat informasi bahwa
jam malam pada Senin sampai Jumat adalah pukul 21.00, sedangkan pada malam
Minggu, jam malamnya pukul 22.00. Dapat dilihat bahwa masyarakat pun
mengafirmasi malam Minggu sebagai malam yang lazim untuk muda-mudi berkencan.
Permasalahan utama dari
pacaran ialah ekspresi dalam pacaran, misalnya memegang tangan, berciuman,
sampai berhubungan seks yang di anggap tabu. Agama dan norma sosial kita
tidak menerima itu sebagai tindakan yang sah dilakukan orang yang belum
menikah. Remaja yang ketakutan melakukannya dianggap cacat moral. Dengan kata
lain, pacaran tanpa ekspresi tersebut sebetulnya tidak memiliki masalah yang
berarti karena tidak ubahnya seperti pertemanan di antara dua orang yang
berbeda jenis kelamin. Namun, bisakah orang yang berpacaran bersih dari
ekspresi negatif itu?
Secara sosial, perlahan
masyarakat mulai terbiasa melihat muda-mudi yang mojok berduaan,
menganggapnya sebagai keniscayaan zaman. Tindakan preventif yang dilakukan
berbagai pihak belum efektif mencegahnya karena tempat kencan pun jadi lahan
bisnis yang menggiurkan. Artinya, ada dua respons masyarakat yang bertolak
belakang. Hal itu akan membuat kita semakin kesulitan mencegah ekses negatif
pacaran.
Pendidikan
jadi benteng
Agama masih diyakini
sebagai tameng terkuat untuk menghindarkan remaja dari seks pranikah. Dengan
nilai dan doktrin sucinya, agama menyuguhkan dosa dan siksa bagi pelaku
perzinaan, bahkan mereka yang mendekati zina. Sayangnya, pengajaran agama
dengan model ‘ancaman’ itu jadi kurang menarik karena menghadirkan agama
secara hitam-putih.
Sementara itu, pada sisi
yang lain, remaja merasa kian ‘emoh’ dengan agama, sebagai bagian proses
‘pendewasaan diri’.
Hasrat remaja bertalian
dengan kehendak untuk bebas dari pelbagai ikatan; keluarga, rumah,
masyarakat, agama, dan Tuhan! Terlebih bagi remaja yang mengalami
ketidakharmonisan orangtua, atau rumah bukan lagi sebagai tempat yang
meneduhkan. Pacaran dianggap sebagai ruang pelarian dari kungkungan
norma-norma yang berjalan hierarkis itu.
Pendidikan dan sekolah
mempunyai tanggung jawab untuk menyusun program yang dapat mengakomodasi
aktivitas positif bagi remaja. Guru berperan sebagai penuntun dan perumus
nilai yang baik untuk remaja. Di situlah, falsafah kehidupan mulai ditanamkan
pada remaja sebagai nilai yang menjadi basis pikiran, tindakan, dan respons
atas keadaan di sekitarnya. J Riberu (Prisma,
No 9/1985) menyebutkan bahwa remaja membutuhkan filsafat hidup pribadi
yang didapatkan dari pengalaman hidupnya. Gejolak pencarian jati diri
bertalian erat dengan upaya remaja merumuskan ideologi dan nilai yang bakal
dia genggam sebagai modal kedewasaan.
Agama dan pendidikan
potensial memberikan ruang bagi tumbuhnya filsafat hidup untuk remaja. Dengan
syarat, agama, pendidikan, dan sekolah yang merupakan sumber nilai itu tidak
hadir dalam wajahnya yang penuh ancaman dan larangan. Boleh jadi, ekspresi
remaja dengan pacaran merupakan upaya anak-anak kita melarikan diri dari
jumudnya dunia sekolah dan kampus ketika kedua lembaga pendidikan itu hanya
fokus mencetak murid-mahasiswa yang siap diterima di industri, generasi
konsumtif, dan pengekor budaya tanpa sikap kritis.
Humanisme persekolahan dan
perguruan tinggi diwujudkan dengan jalan membuka sumbatan relasi vertikal
pengajar-pelajar, menanamkan dialog sebagai kultur, dan serta komunitas
belajar sebagai habitus. Kita mesti menjadikan remaja sebagai sahabat bagi
ketiga sumber nilai itu. Pendidikan dapat dijadikan media untuk mengolah daya
kritis remaja, mengajari mereka arti tanggung jawab ketika memutuskan melakukan
perbuatan tertentu. Pertanyaan tentang apa itu pacaran mesti diarusutamakan
dalam rangka mencari falsafah nilai, yang relevan dengan budaya kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar