Selasa, 17 Maret 2015

Remaja, Pacaran, dan Pendidikan

Remaja, Pacaran, dan Pendidikan

Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center, Semarang
MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PUBLIK beberapa waktu lalu sempat kaget dengan beredarnya buku anggitan Toge Aprilianto, Saatnya Aku Belajar Pacaran, yang menjadi buku how to dalam kegiatan pa caran. Di Facebook, beberapa waktu lalu Toge menulis status permintaan maaf, akan menarik peredaran buku, dan mengganti ongkos bagi pihak yang sudah membelinya. Yang mengejutkan, buku itu ternyata beredar sejak 2010 (Tempo.co, 7/2). Artinya, kita kecolongan lima tahun sejak buku tersebut terbit. Selama lima tahun, berapa banyak remaja yang telah membaca buku itu dan mempraktikkan isinya?

Buku itu dianggap cabul karena menampilkan kata-kata yang vulgar, ‘melegitimasi’ ML (making love) dalam pacaran. Kebutuhan biologis itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, naluri manusia akil balig. Bagi kita yang dekat dengan dunia remaja, sebetulnya tak perlu kaget mendengar atau melihat kelakuan dan gaya pacaran anak muda saat ini. Media massa telah menjawabnya dengan berita. Obrolan kaki lima pun menambahi dengan rumor, isu, dan persaksian pribadi para pelaku pacaran.

Terbit atau tidak buku itu, remaja dan pacaran adalah serupa dua keping koin yang tak bisa dipisahkan. Sepertinya tidak lengkap kita membincangkan dunia pendidikan, sekolah, dan kampus tanpa menghadirkan pacaran sebagai bagian integral remaja yang mencari ilmu demi merenda masa depan yang cerah. Tidak jarang pula, itu membahas soal pacaran lebih menarik ketimbang bicara tugas sekolah dan makalah.

Pergeseran Istilah

Sejak beberapa tahun lalu, saya sering mendengar kaum muda-mudi mengganti istilah ‘pacaran’ dengan ‘mbojo’. Dalam bahasa Jawa slang, mbojo ialah kegiatan bersuami istri, dengan segala konsekuensinya. Memanggil kekasih atau pacar dengan papa-mama, papi-mami, dan abi-umi (biar terkesan islami?) kerap terdengar di telinga. Saya tak bisa membayangkan apa yang dilakukan muda-mudi yang menahbiskan pacaran dengan mbojo itu.

Perasaan menyukai lawan jenis merupakan naluriah manusia. Sangat dilematis menghadapi remaja hari ini yang menganggap pacaran sebagai legitimasi masa muda. Hal tersebut diperkuat dengan budaya massa, film, sinetron, lagu, dan majalah, yang akrab dengan tema cinta muda-mudi. Kultur pacaran ini diikuti ritus Hari Valentine dan tahun baru yang diisi dengan kencan. Kita pun pernah akrab dengan istilah pacaran islami, untuk menyebut model pacaran yang tetap berada dalam bingkai-bingkai keislaman meskipun pandangan itu banyak ditolak sebagian umat Islam sendiri, yang menganggap tidak ada pacaran dalam Islam. Kelompok itu pun dengan tegas mengharamkan pacaran karena menjadi pintu masuk seks pranikah.

Pacaran saat ini ‘berterima’ sebagai ‘budaya’ remaja yang sedang menapak usia dewasa. Itu menjadi gelombang tsunami kebudayaan yang menyerang remaja kota ataupun desa. Pacaran disulap tak ubahnya simbol modernitas remaja. Remaja dan orangtua yang menolak pacaran dianggap orang kolot, tak cocok hidup di zaman milenium ini. Di beberapa kampung dan rumah indekos, saya kerap mendapat informasi bahwa jam malam pada Senin sampai Jumat adalah pukul 21.00, sedangkan pada malam Minggu, jam malamnya pukul 22.00. Dapat dilihat bahwa masyarakat pun mengafirmasi malam Minggu sebagai malam yang lazim untuk muda-mudi berkencan.

Permasalahan utama dari pacaran ialah ekspresi dalam pacaran, misalnya memegang tangan, berciuman, sampai berhubungan seks yang di anggap tabu. Agama dan norma sosial kita tidak menerima itu sebagai tindakan yang sah dilakukan orang yang belum menikah. Remaja yang ketakutan melakukannya dianggap cacat moral. Dengan kata lain, pacaran tanpa ekspresi tersebut sebetulnya tidak memiliki masalah yang berarti karena tidak ubahnya seperti pertemanan di antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Namun, bisakah orang yang berpacaran bersih dari ekspresi negatif itu?

Secara sosial, perlahan masyarakat mulai terbiasa melihat muda-mudi yang mojok berduaan, menganggapnya sebagai keniscayaan zaman. Tindakan preventif yang dilakukan berbagai pihak belum efektif mencegahnya karena tempat kencan pun jadi lahan bisnis yang menggiurkan. Artinya, ada dua respons masyarakat yang bertolak belakang. Hal itu akan membuat kita semakin kesulitan mencegah ekses negatif pacaran.

Pendidikan jadi benteng

Agama masih diyakini sebagai tameng terkuat untuk menghindarkan remaja dari seks pranikah. Dengan nilai dan doktrin sucinya, agama menyuguhkan dosa dan siksa bagi pelaku perzinaan, bahkan mereka yang mendekati zina. Sayangnya, pengajaran agama dengan model ‘ancaman’ itu jadi kurang menarik karena menghadirkan agama secara hitam-putih.

Sementara itu, pada sisi yang lain, remaja merasa kian ‘emoh’ dengan agama, sebagai bagian proses ‘pendewasaan diri’.

Hasrat remaja bertalian dengan kehendak untuk bebas dari pelbagai ikatan; keluarga, rumah, masyarakat, agama, dan Tuhan! Terlebih bagi remaja yang mengalami ketidakharmonisan orangtua, atau rumah bukan lagi sebagai tempat yang meneduhkan. Pacaran dianggap sebagai ruang pelarian dari kungkungan norma-norma yang berjalan hierarkis itu.

Pendidikan dan sekolah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun program yang dapat mengakomodasi aktivitas positif bagi remaja. Guru berperan sebagai penuntun dan perumus nilai yang baik untuk remaja. Di situlah, falsafah kehidupan mulai ditanamkan pada remaja sebagai nilai yang menjadi basis pikiran, tindakan, dan respons atas keadaan di sekitarnya. J Riberu (Prisma, No 9/1985) menyebutkan bahwa remaja membutuhkan filsafat hidup pribadi yang didapatkan dari pengalaman hidupnya. Gejolak pencarian jati diri bertalian erat dengan upaya remaja merumuskan ideologi dan nilai yang bakal dia genggam sebagai modal kedewasaan.

Agama dan pendidikan potensial memberikan ruang bagi tumbuhnya filsafat hidup untuk remaja. Dengan syarat, agama, pendidikan, dan sekolah yang merupakan sumber nilai itu tidak hadir dalam wajahnya yang penuh ancaman dan larangan. Boleh jadi, ekspresi remaja dengan pacaran merupakan upaya anak-anak kita melarikan diri dari jumudnya dunia sekolah dan kampus ketika kedua lembaga pendidikan itu hanya fokus mencetak murid-mahasiswa yang siap diterima di industri, generasi konsumtif, dan pengekor budaya tanpa sikap kritis.

Humanisme persekolahan dan perguruan tinggi diwujudkan dengan jalan membuka sumbatan relasi vertikal pengajar-pelajar, menanamkan dialog sebagai kultur, dan serta komunitas belajar sebagai habitus. Kita mesti menjadikan remaja sebagai sahabat bagi ketiga sumber nilai itu. Pendidikan dapat dijadikan media untuk mengolah daya kritis remaja, mengajari mereka arti tanggung jawab ketika memutuskan melakukan perbuatan tertentu. Pertanyaan tentang apa itu pacaran mesti diarusutamakan dalam rangka mencari falsafah nilai, yang relevan dengan budaya kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar