Regenerasi
Ulama
Yusron Razak ; Guru Besar
Sosiologi Agama dan Wakil Rektor III
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
13 Maret 2015
Tak lama lagi, Muhammadiyah akan bermuktamar yang ke-47. Bila
tak ada aral, perhelatan akbar ini akan berlangsung di Makassar pada 3-7
Agustus mendatang. Sudah barang tentu segenap warga Muhammadiyah, masyarakat
Indonesia, dan umat secara global pada umumnya akan bersuka cita menyambut
kedatangan momentum tersebut.
Muhammadiyah bukan hanya menjadi milik orang Muhammadiyah an sich, tapi juga segenap masyarakat
Indonesia dan bahkan umat sedunia. Keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh
Muhammadiyah betul-betul ditunggu untuk membangun, mengonsolidasikan kemajuan
Indonesia dan Islam pada umumnya.
Oleh sebab itu, muktamar bukanlah sekadar ritual perayaan lima
tahunan atau ajang memilih ketua umum yang baru. Namun, yang jauh lebih
penting dan strategis tinimbang agenda tersebut adalah membicarakan kondisi
objektif internal Muhammadiyah dan berbagai persoalan yang dihadapi
organisasi ini ke depan yang pasti jauh lebih kompleks dan menantang.
Peserta muktamar yang tak lain adalah para pengurus Muhammadiyah
sendiri perlu berbesar hati dan dengan seksama memiliki keberanian untuk
mengevaluasi gerak dan langkah organisasi, baik yang bersifat internal maupun
eksternal yang sejauh ini sudah diambil. Sehingga, ke depan, nilai manfaat
dari eksistensi dan kontribusi Muhammadiyah semakin bertambah besar bagi
upaya memajukan bangsa dan umat pada umumnya.
Salah satu prioritas utama yang saya kira harus menjadi
perhatian oleh Muhammadiyah saat ini adalah semakin langkanya ulama yang bisa
disumbangkan oleh Indonesia dan Muhammadiyah untuk komunitas Islam secara
global. Tokoh-tokoh ulama yang reputasinya diakui secara internasional selama
ini umumnya didominasi oleh ulama yang berasal dari kawasan Timur Tengah dan
Asia Selatan seperti Arab Saudi, Mesir, Aljazair, Maroko, India, Pakistan,
dan sebagainya. Karena kawasan tersebut terus dilanda konflik dan kekerasan
akibat geopolitik global, maka tak mengherankan bila kemudian suara Islam
yang keluar adalah Islam yang sedikit banyak cenderung konservatif dan kurang
berkemajuan.
Pada saat yang sama, ulama-ulama dari Indonesia belum banyak
yang berhasil muncul ke level internasional dan belum dianggap memiliki
otoritas untuk berbicara atas nama Islam. Sehingga, suara Islam yang moderat,
plural, dan berpaham kemajuan yang menjadi ciri khas dari Islam di kawasan
ini tidak terdengar dan tak terekspos. Setidaknya, ada dua argumen mengapa
ulama Indonesia itu belum muncul ke pentas global.
Pertama, secara psikologis, kawasan Asia Tenggara tidak dianggap
sebagai tempat lahirnya Islam. Asia Tenggara bukanlah pusat, melainkan
kawasan pinggiran. Hal ini diperkuat dengan anggapan bahwa Islam itu identik
dengan Arab, dan Arab adalah Islam itu sendiri.
Kedua, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah belum serius
menggarap pentingnya peningkatan kapasitas dan kaderisasi ulama. Yang terjadi
kemudian, sebagai sebuah negara yang populasi Muslimnya banyak, jumlah ulama
di Indonesia kini semakin langka. Sebagai sebuah organisasi Islam,
Muhammadiyah juga tak banyak memiliki ulama dan pemikir Islam karena
kegagalan dalam melakukan pembibitan dan regenerasi.
Harus diakui secara jujur bahwa pascagenerasi HAMKA, untuk
menyebut salah satunya, Muhammadiyah terbilang belum memiliki ulama yang
kualitasnya diakui oleh komunitas internasional. HAMKA adalah prototipe ulama
yang tidak biasa-biasa saja. Ia adalah ulama yang par excellence. Ulama yang
ucapan, fatwa, dan tulisan-tulisannya berpengaruh secara signifikan, bukan
hanya bagi kalangan Muslim di nusantara, tapi juga masyarakat Muslim di
seluruh dunia.
Kenyataan tersebut tentu saja sangat ironis. Mengingat secara
internal merupakan fakta sejarah yang tak bisa diabaikan bahwa organisasi
yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini merupakan organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah tidak hanya
bertanggung jawab, bergerak untuk melakukan pembaharuan dan memajukan pola
pikir masyarakat tentang agama, tapi juga bertekad membangun masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya sebagai tonggak bagi lahirnya peradaban yang Islami.
Persoalan krisis ulama semacam ini harus dipikirkan dan
dicarikan solusinya oleh Muhammadiyah. Sebab, bila diabaikan, hal ini akan
menjadi kendala bagi Muhammadiyah untuk mengembangkan diri serta untuk
memajukan Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam pandangan penulis, Muhammadiyah perlu secara benar dan
sistemik mencerak ulama yang sebagaimana diistilahkan oleh Muhammad Qassim
Zaman disebut sebagai "New
religious intellectual" atau ulama baru yang cendekia. Ini adalah
ulama yang dididik dan lahir dari perguruan tinggi atau universitas dan bukan
dilahirkan oleh sistem pendidikan Islam yang tradisional atau salafi semata.
Harapannya, tipe ulama ini mampu melihat sebuah persoalan dengan perspektif
yang luas dan dengan pendekatan yang ilmiah sejalan dengan perkembangan
keilmuan modern.
Tipe ulama yang harus dilahirkan oleh Muhammadiyah seperti ini
bukanlah ulama yang menafsirkan dan mengartikulasikan Islam dengan hanya
secara berulang-ulang melakukan pembacaan atas ijtihad fiqhiyah para ulama masa lalu (al-qira’ah al mutakarrirah) atau memberikan moral dan petunjuk
jalan bagi masyarakat semata. Melainkan ulama yang bisa menyelesaikan
persoalan yang dihadapi umat kekinian dan bahkan melakukan proyeksi dan
antisipasi mengenai kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang sebagai
konsekuensi dari modernitas dan perkembangan zaman.
Melihat aset Muhammadiyah, saya yakin program itu bisa
dijalankan. Salah satu jalannya dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan
yang dimiliki Muhammadiyah. Program kaderisasi ulama ini, misalnya,
disinergikan secara formal dan kelembagaan dimulai dari lembaga pendidikan
tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Didukung dengan sebuah sistem perkaderan yang apik, sistemik,
dan holistik, ulama-ulama besar di masa mendatang pasti bisa dilahirkan dari
rahim Muhammadiyah sebagai bentuk kontribusi dan pertanggungjawaban
Muhammadiyah untuk kemajuan dan peradaban Islam secara global di abad-abad
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar