Rp
1 Triliun untuk Parpol
Delianur ; Wakil Sekjen
DPP PAN Demisioner
|
REPUBLIKA,
13 Maret 2015
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang juga pengurus partai
politik mengusulkan ide yang mengejutkan publik: negara membiayai partai
politik. Di tengah imaji partai politik yang buruk serta kinerja anggota
parlemen yang jauh dari harapan, isu ini hanya menimbulkan antipati publik.
Apalagi, Mendagri mengusulkan angka fantastis: Rp 1 triliun.
Begitu fantastisnya angka itu sampai ada yang kaget dan heran dengan menyebut
angka Rp 1 miliar. Jadi, bagi masyarakat, angka Rp 1 miliar saja sangatlah
besar, apalagi Rp 1 triliun.
Dalam beberapa hal, usulan Mendagri bisa dipahami. Biaya
operasional partai tidaklah kecil. Agenda konsolidasi partai, program kerja
partai, konsolidasi dengan konstituen atau biaya lobi-lobi politik
membutuhkan dana sangat besar, terlebih kalau sudah mendekati masa kampanye.
Dengan sistem demokrasi liberal, partai dihadapkan pada
demokrasi politik yang sangat padat modal. Biaya politik tidak bisa ditutupi
iuran anggota, apalagi partisipasi masyarakat.
Karenanya, dalam satu sisi bisa dipahami mengapa Mendagri
memunculkan ide ini. Bila operasional partai dibiayai negara, partai dan
anggota parlemen sudah tak punya dalih lagi menggerogoti uang negara untuk
membiayai kegiatan politik. Partai politik beserta anggota parlemen tinggal
fokus memikirkan tugasnya mengelola perpolitikan nasional yang sehat.
Apalagi mungkin Rp 1 triliun dibanding total APBN yang hampir
mencapai Rp 2.000 triliun tentu bukanlah angka yang besar secara persentase.
Lalu, bila melihat ke negara lain, partai politik dibiayai uang negara adalah
hal lumrah. Banyak negara yang menerapkan model ini.
Hal lain yang mungkin belum diketahui publik, selama ini partai
juga sudah mendapat pembiayaan APBN. Disalurkan melalui Mendagri, dihitung
berdasarkan jumlah perolehan suara pada pemilu Rp 128 per suara, per partai,
per tahun. Jadi, kalau ada partai mendapat 10 juta suara pada pemilu
legislatif, maka mereka akan mendapatkan dana sekitar Rp 1,28 miliar per
tahun. Angka ini ternyata belum cukup sehingga mesti ditambah menjadi Rp 1
triliun oleh Mendagri.
Pada sisi usulan Mendagri bisa dipahami. Tetapi usulan Mendagri
ini melabrak prinsip paling dasar setiap orang dalam melakukan kejahatan.
Seperti yang dipopulerkan sebuah televisi swasta, kejahatan selalu muncul
karena ada niat dan kesempatan.
Niat adalah hal paling mendalam dari diri setiap orang. Niat
selalu muncul begitu saja, merespons segala yang ada. Niat itu kapasitas pribadi.
Niat baik muncul dari karakter baik, niat buruk muncul dari karakter buruk.
Dan setiap orang selalu memiliki dimensi baik dan buruk pada dirinya. Manakah
yang dominan, sangat dipengaruhi oleh daya tahan dirinya dan terpaan dimensi
eksternal.
Mendagri menutup mata bila permasalahan besar partai politik
kita adalah kapasitas kader yang berawal dari tidak adanya proses rekrutmen
kader. Karena tiadanya proses rekrutmen yang jelas, partai politik pada
akhirnya diisi para oportunis yang melihat partai sebagai pintu dan titik
strategis meraup keuntungan. Partai sedikit diisi oleh orang-orang yang
memikirkan dan concern masalah
kebangsaan dan arah bangsa ini mau dibawa ke mana.
Partai politik sampai sekarang belum melakukan rekrutmen kader
partai yang sistematis, berjenjang, dan terukur. Aktivis politik sangat mudah
mendirikan partai untuk kepentingan diri dan kelompoknya pada satu saat, tapi
abai membangun partai untuk kepentingan jangka panjang bangsa ini. Tak aneh
bila agenda rekrutmen kader partai tidak jadi masalah serius. Terlebih di
tengah demokrasi liberal padat modal, siapa pun bisa menjadi anggota partai
politik selama mempunyai uang dan popularitas.
Partai politik tidak memerlukan kader yang concern dan paham
dinamika bangsa ini. Karenanya tak aneh bila ketika seorang pesohor terpilih
menjadi anggota parlemen, dia gagap ketika ditanya tujuannya di DPR itu apa.
Karenanya pembenahan partai politik mesti dimulai dari
pembenahan kader partai. Bila partai bertugas menciptakan sistem kaderisasi
yang sesuai kondisi dan tujuan partai masing-masing, pemerintah bertugas
untuk menyiapkan kandidat kader-kader partai yang mumpuni. Modal itu sudah
ada. Karena di negeri ini tak sedikit banyak anak muda yang mengumpulkan
dirinya dalam banyak komunitas kreatif yang terorganisasi untuk menunjukkan
ekspresi kepedulian terhadap negara ini. Negara hanya tinggal mengayomi dan
memfasilitasi mereka supaya bisa berkembang.
Uang Rp 1 triliun, bila sekarang ada 10 partai berarti menjadi
Rp 10 triliun, akan menjadi uang yang sangat fantastis bila digunakan
pemerintah untuk mengembangkan kapasitas anak-anak muda kita dalam konteks
kebangsaan dan kenegaraan.
Negara mesti mempersiapkan mereka sebagai cikal bakal kader
bangsa yang mandiri dan independen. Kelompok-kelompok muda itu harus
dijadikan kelompok yang kritis dan independen, jauh dari kooptasi parpol atau
kader partai yang hanya berpatokan karena hanya satu nasab dalam
berorganisasi. Mereka harus didorong lebih mandiri, independen, berkarakter,
dan dibuat pemahaman bila mereka itu dihidupi oleh negara dengan uang rakyat
untuk memikirkan negara. Bukan dibiayai oleh kakak-kakak mereka yang
mempunyai keterkaitan satu organisasi.
Bila hal ini sudah dilakukan pemerintah, setelah itu
berlomba-lombalah partai merekrut mereka sebagai kader. Karena mereka
dipersiapkan negara, anak-anak muda itu ketika berpartai pun wujud dari
perhatian terhadap negara. Bukan karena alasan patronase ataupun politik
balas budi terhadap orang-orang yang sudah membantu atau menghidupinya selama
ini.
Parpol kita memang dalam keadaan kritis. Bila tidak ditangani
serius dan mendalam, krisis ini akan berimbas pada krisis pengelolaan politik
nasional. Tetapi kita membuthkan solusi jangka panjang, bukan temporal. Bukan
panacea yang hanya menyembuhkan luka sesaat atau bukan antibiotik yang mesti
ditambah dosisnya ketika penyakit itu muncul kembali.
Penyiapan kader politik yang andal, berkarakter serta rekrutmen
kader parpol adalah solusi jangka panjang yang mesti dilakuan segera dalam
menyelesaikan kronis parpol kita. Rp 1 triliun hanya akan menjadi panacea,
penyembuh sakit sesaat. Dia juga hanya akan menjadi antibiotik yang mesti
ditambah dosisnya ketika kita menghadapi masalah yang sama. Kita ingat
bagaimana tabiat dasar manusia. Ketika dia diberi satu gunung emas, dia
selalu mencari gunung emas yang kedua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar