Kamis, 12 Maret 2015

Rasionalitas Investasi Prasekolah

Rasionalitas Investasi Prasekolah

Elfindri  ;  Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
KORAN SINDO, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Salah satu karya ekonom James Heckman (2008) yang memudahkan beliau meraih hadiah Nobel Ekonomi adalah pembuktian bahwa investasi manusia semasa dini memberikan pengembalian terbesar dibandingkan investasi untuk semasa sekolah dan pada masa pasar kerja. Di antaranya investasi masa prasekolah, baik untuk perbaikan kesehatan, gizi maupun pendidikan prasekolah.

Luput dari Ukuran

Semenjak tahun 2000, konsensus PBB dalam mengukur dampak pembangunan terhadap dimensi pembangunan manusia salah satunya adalah dengan mengamati capaian akses pendidikan dasar dan penuntasan buta aksara penduduk dewasa. Capaian itu kelihatannya hampir bisa diraih Indonesia pada 2015 mengingat angka partisipasi pendidikan usia 7-12 tahun telah mendekati 98%, sekitar 2% lagi anak-anak usia sekolah dasar masih perlu kerja keras agar mereka dapat mengecap pendidikan.

Capaian demikian merupakan prestasi tersendiri selama pembangunan 10 tahun terakhir walaupun tidak bisa diabaikan bahwa persoalan yang masih tersisa adalah menyelesaikan agenda akses pada pendidikan yang bermutu serta menyapu habis penduduk dewasa yang masih buta aksara. Tapi kita lupa mengingat bukti empiris yang ditemukan James Heckman bahwa investasi pendidikan pada masa prasekolah memberikan pengembalian yang lebih besar dibandingkan dengan investasi pendidikan usia sekolah.

Temuan ini memberikan sinyal bahwa secara rasional, negara dapat menjadikan pendidikan prasekolah sedemikian rupa sehingga anak-anak usia 4-6 tahun juga memperoleh haknya secara universal untuk mengecappendidikanprasekolah sekalipun di negara kita undang-undang tidak mewajibkannya.

Oleh karenanya, ketika Millennium Development Goals (MDGs) selesai tahun 2015, kemudian dilanjutkan dengan usulan pengukuran baru terhadap pembangunan manusia melalui Multifactors Poverty Index (MPI), akses penduduk untuk dapat pendidikan prasekolah akan lebih relevan digunakan sebagai ukuran dari upaya-upaya pembangunan pada masa yang akan datang mengingat korelasi yang jelas antara akses universal prasekolah dengan produktivitas kerja ketika mereka sudah menjadi tenaga kerja. Kita lalai akan sinyal empiris itu yang membuat capaian pendidikan prasekolah di negara kita masih jauh panggang dari api.

Akses Prasekolah

Cukup mudah menelusuri bagaimana performance pendidikan prasekolah di Indonesia. Data Susenas tahun 2012 dapat mengungkapkan bagaimana capaian dari akses pendidikan yang dimaksud. Secara internasional, rata-rata lama tahun anak memperoleh pendidikan sebelum memasuki jenjang pendidikan formal mulai dari yang terendah di negara-negara Sub-Sahara, selama 0,3 tahun, kemudian di negara-negara Amerika Latin, selama 1,6 tahun, sampai di negara-negara Eropa daratan selama 3,2 tahun. Artinya anakanak yang lahir dan besar di Eropa daratan sudah mengecap pendidikan prasekolah mulai usia 3 sampai 4 tahun. Dengan arti kata di negara maju, universal pendidikan tidak saja ditujukan pada usia wajib belajar sebagaimana yang diberlakukan di Indonesia, tetapi justru ditarik pada usia lebih awal lagi.

Norma akses pendidikan yang diterapkan di negara maju sejalan dengan temuan yang dihasilkan James Heckman di atas. Kita tengok capaian akses pendidikan prasekolah di Indonesia. Data Susenas tahun 2012 memperlihatkan, dari 14,4 juta anak berusia 4-6 tahun, baru sekitar 52% dari mereka yang mendapatkan pendidikan prasekolah.

Dengan arti kata jika saja negara menargetkan 75% dari akses pendidikan prasekolah, sebanyak 5,7 juta-5,8 juta anak setiap tahun mesti diberi akses yang mudah untuk mereka memperoleh pendidikan prasekolah. Dengan target itu saja, kapasitas jumlah sekolah PAUD mesti ditingkatkan sekitar 23% poin lagi. Itu jumlah sekolah dan keperluan guru PAUD yang tidak sedikit.

Dengan berpedoman pada angka-angka itu, penyediaan guru TK yang bermutu, kepala sekolah TK PAUD, kurikulum PAUD adalah rangkaian komponen pendidikan prasekolah yang mesti direncanakan secara terintegrasi. Sebanyak itu pula semestinya proses pemahaman yang juga mesti diberikan kepada orang tua mereka tentang pentingnya pendidikan prasekolah beserta komponen-komponennya.

Mengingat masih banyak model yang bisa dikembangkan untuk memberikan pendidikan anak prasekolah, sebesar 78% mengecap pendidikan pada sekolah taman kanak-kanak (TK) atau sejenisnya. Belum banyak yang mengembangkan model akses prasekolah berupa kelompok bermain, pasca-PAUD, tempat penitipan anak, home schooling, dan alternatif model lain. Dengan memahami begitu pentingnya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan PAUD, arah investasi pendidikan pada masa yang akan datang tidak kalah pentingnya ditujukan pada pencapaian pemerataan akses pendidikan prasekolah yang bermutu.

Satu PAUD Satu Desa

Jika ingin menggenjot capaian investasi prasekolah pada capaian di atas 75%, perlu upaya yang sangat intensif dilakukan pemerintah daerah. Pertama, menjamin agar keterlibatan masyarakat dalam menyediakan pendidikan PAUD, termasuk penyediaan tempat pendidikan, guru, dan proses pembelajaran.

Pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif agar penyediaan pendidikan prasekolah tersedia pada tiap desa. Kedua, saat bersamaan, pemodelan pendidikan PAUD mesti mengintegrasikan keperluan anak prasekolah dengan peningkatan pemahaman orang tua terhadap relevansi dan urgensi pendidikan prasekolah untuk anak-anak mereka.

Belakangan inisiatif untuk melibatkan orang tua dalam pendidikan prasekolah merupakan sebuah target baru dalam Direktorat Keayahbundaan dengan maksud untuk lebih meningkatkan nilai pemahaman orang tua terhadap arti penting pendidikan anak sekaligus meningkatkan akses orang tua terhadap pendidikan.

Ketiga, sudah saatnya model penyediaan pendidikan prasekolah tidak saja terpaku pada model pendidikan TK, tetapi terbuka luas untuk mengintegrasikannya dengan aktivitas-aktivitas lainnya yang ada dan berkembang di perdesaan. Mengingat tidak mudah menyediakan sarana pendidikan, model integrasi kegiatan keagamaan, arisan, pelayanan kesehatan ibu dan anak dapat dilakukan dengan pendidikan prasekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar