RAPBD
dan Check and Balances
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2015
Kontroversi seputar penyusunan RAPBD DKI Jakarta merupakan
pembelajaran bagi publik mengenai arti penting APBD dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Versi Gubernur DKI, pada setiap pos penganggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdapat dugaan
meminjam terminologi Wamenkeu Mardiasmo “dana siluman” yang tiba-tiba nongol
dalam Rancangan APBD yang diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri. Konon,
terdapat selisih dana Rp 12,1 triliun dalam RAPBD yang diajukan melalui e-budgeting
dengan yang disetujui dalam rapat paripurna DRPD.
Hal itulah yang kemudian mendorong Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan mengaudit RAPBD 2015. Tak boleh diingkari bahwa
dalam mekanisme penyusunan RAPBD dalam perspektif UU Keuangan Negara dan PP
No 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengharuskan
adanya tiga fase penting, yaitu proses perencanaan partisipatif, proses
politik di DPRD, dan proses teknokratik.
Pertama, dalam proses perencanaan partisipatif, penyusunan
RAPBD harus melewati mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah
(arena eksekutif) maupun arena penjaringan aspirasi masyarakat (arena DPRD)
untuk menyerap seluas-luasnya kebutuhan rakyat DKI.
Melalui dua jalur proses penyerapan aspirasi rakyat tersebut
dapat dibangun kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif dalam
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang
kemudian dijabarkan melalui perumusan detail RAPBD dan pada akhirnya bermuara
pada pengesahan RAPBD dalam rapat paripurna DPRD. Kedua, proses politik di
DPRD merupakan ranah legitimasi politik yang merupakan wujud kedaulatan
rakyat.
Maka kewenangan DPRD dalam pengesahan RAPBD ke depan lebih
baik difokuskan pada wilayah strategis proses penganggaran daerah. Artinya,
agar tak timbul dugaan maupun fitnah mengenai keterlibatan (oknum) anggota
DPRD maupun SKPD dalam manipulasi anggaran daerah, DPRD perlu membatasi
keterlibatannya hanya sebatas pembahasan di komisi dan di rapat paripurna
saja.
Demikian pula pengawasan DPRD cukup dibatasi pada level
kebijakan daerah yang difokuskan pada pertanggungjawaban Gubernur. DPRD tak
perlu memasuki wilayah satuan tiga (SKPD) dalam pelaksanaan pengawasan
anggaran. Ketiga, proses teknokratik penganggaran daerah perlu diserahkan
sepenuhnya kepada eksekutif baik dalam penyusunan draf RAPBD sampai pada
mekanisme alokasinya dalam kebijakan pembiayaan program maupun kegiatan.
Meskipun tak terkait langsung dengan kewenangan Banggar di
DPRD, ada baiknya inspirasi yang diperoleh dari Putusan Mahkamah Konstitusi
RI No 35/PUU-XI/2013 yang membatasi keterlibatan Badan Anggaran (Banggar) DPR
terhadap mekanisme penyusunan anggaran yang tak boleh lagi sampai pada satuan
III kementerian (satker) bisa dijadikan pembelajaran untuk mencegah jerat
politik uang terhadap para anggota DPRD.
Performance Budgeting
Sejatinya, selama ini melalui paket UU No 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara telah dilakukan reformasi birokrasi dalam pengelolaan
keuangan negara dan daerah, yaitu mengubah sistem keuangan tradisional
menjadi sistem anggaran kinerja (performance
budgeting). Sistem tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan
pendekatan incremental dan line item dengan penekanan pada
pertanggungjawaban dalam setiap input yang dialokasikan.
Melalui reformasi keuangan negara tersebut, sistem
penyusuan anggaran harus disusun dengan pendekatan atau sistem anggaran
kinerja (performance budgeting),
dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekadar pada inputm tetapi juga
pada output dan outcome. Penyusunan anggaran dengan
menggunakan sistem anggaran kinerja harus dilakukan melalui proses penyusunan
yang bersifat partisipatif (bottom-up)
melalui perencanaan anggaran berbasis kinerja yang menggunakan parameter
kemanfaatan (outcome) dari setiap
mata anggaran yang disusun.
Dengan demikian, sangat mudah untuk menelusuri adanya
kecurangan dalam penyusunan maupun pengalokasian anggaran. Keuangan negara
yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat hal-hal sebagai berikut: (1)
sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (2) standar pelayanan yang
diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan;
serta (3) bagian pendapatan keuangan negara yang membiayai administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan.
Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah tersebut,
dikembangkan standar analisis belanja, tolok ukur kinerja, dan standar biaya.
Dengan digunakannya sistem anggaran berbasis kinerja saat ini, sungguh
merupakan langkah yang sangat ceroboh dan gegabah jika ada oknumoknum di
lingkungan SKPD maupun DPRD DKI Jakarta yang berani menyisipkan mata anggaran
yang dalam penyusunannya tak bertitik tolak dari parameter anggaran kinerja
di atas.
Apalagi dengan telah dimulainya penerapan sistem ebudgeting
di lingkungan pemerintahan, termasuk di DKI Jakarta, pola penyisipan mata
anggaran semacam itu cepat ataupun lambat pasti bisa terlacak. Prinsip
pengeluaran negara/daerah dalam sistem anggaran berbasis kinerja ditopang
oleh prinsip-prinsip akuntabilitas dan value
of money, kejujuran dalam penataan keuangan negara/daerah, transparansi
dan pengendalian.
Cara kerja tak profesional dalam penyusunan dan penggunaan
anggaran baik oleh legislatif maupun eksekutif telah mengingkari semangat
reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah yang diusung UU Keuangan Negara
dan UU Perbendaharaan Negara serta PP No 58 Tahun 2005 yang dilaksanakan melalui
Permendagri No 13 Tahun 2006 jis Permendagri No 59 Tahun 2007 dan Permendagri
No 21 Tahun 2011.
Pesan penting dari “buruk rupa” draf APBD DKI Jakarta jika
dikaitkan dengan inspirasi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI
No 35/PUU-XI/2013 adalah bahwa perlunya purifikasi fungsi kelembagaan dalam
konstelasi sistem checks and balances. Eksekutif perlu dibatasi pada wilayah
teknokratik APBD saja, tak perlu terlalu jauh mencampuri wilayah legislasi
dan politik anggaran.
Sebaliknya DPRD juga perlu membatasi diri sebatas pada
wilayah politik anggaran baik dalam proses penyusunan APBD, pengesahan
melalui rapat paripurna sampai pada alokasinya. UU No 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan sejatinya juga telah mengamanatkan agar pemerintah
lebih menempatkan diri sebagai administrator dan tak perlu terlalu dalam
memasuki arena politik legislasi maupun politik anggaran.
Demikian pula UU Aparatur Sipil Negara dengan tegas
mengembalikan fungsi aparatur sipil negara sebagai pelayan publik, jangan
menjadi birokrat yang berpolitik. Pembahasan anggaran di DPRD merupakan arena
politik yang tak boleh menyeret aparatur sipil negara ”bermain api” di arena
politik.
Baik eksekutif maupun legislatif di DKI perlu menahan diri
agar sama-sama dapat mengingat dengan baik bahwa kursi-kursi dan fasilitas
yang mereka nikmati dibayar oleh rakyat dan harus dikembalikan melalui
pengabdian terbaik bagi rakyat. Siklus banjir DKI tak akan berhenti hanya
dengan memperdebatkan APBD! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar