Kamis, 12 Maret 2015

RAPBD dan Check and Balances

RAPBD dan Check and Balances

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Kontroversi seputar penyusunan RAPBD DKI Jakarta merupakan pembelajaran bagi publik mengenai arti penting APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Versi Gubernur DKI, pada setiap pos penganggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdapat dugaan meminjam terminologi Wamenkeu Mardiasmo “dana siluman” yang tiba-tiba nongol dalam Rancangan APBD yang diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri. Konon, terdapat selisih dana Rp 12,1 triliun dalam RAPBD yang diajukan melalui e-budgeting dengan yang disetujui dalam rapat paripurna DRPD.

Hal itulah yang kemudian mendorong Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit RAPBD 2015. Tak boleh diingkari bahwa dalam mekanisme penyusunan RAPBD dalam perspektif UU Keuangan Negara dan PP No 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengharuskan adanya tiga fase penting, yaitu proses perencanaan partisipatif, proses politik di DPRD, dan proses teknokratik.

Pertama, dalam proses perencanaan partisipatif, penyusunan RAPBD harus melewati mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (arena eksekutif) maupun arena penjaringan aspirasi masyarakat (arena DPRD) untuk menyerap seluas-luasnya kebutuhan rakyat DKI.

Melalui dua jalur proses penyerapan aspirasi rakyat tersebut dapat dibangun kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang kemudian dijabarkan melalui perumusan detail RAPBD dan pada akhirnya bermuara pada pengesahan RAPBD dalam rapat paripurna DPRD. Kedua, proses politik di DPRD merupakan ranah legitimasi politik yang merupakan wujud kedaulatan rakyat.

Maka kewenangan DPRD dalam pengesahan RAPBD ke depan lebih baik difokuskan pada wilayah strategis proses penganggaran daerah. Artinya, agar tak timbul dugaan maupun fitnah mengenai keterlibatan (oknum) anggota DPRD maupun SKPD dalam manipulasi anggaran daerah, DPRD perlu membatasi keterlibatannya hanya sebatas pembahasan di komisi dan di rapat paripurna saja.

Demikian pula pengawasan DPRD cukup dibatasi pada level kebijakan daerah yang difokuskan pada pertanggungjawaban Gubernur. DPRD tak perlu memasuki wilayah satuan tiga (SKPD) dalam pelaksanaan pengawasan anggaran. Ketiga, proses teknokratik penganggaran daerah perlu diserahkan sepenuhnya kepada eksekutif baik dalam penyusunan draf RAPBD sampai pada mekanisme alokasinya dalam kebijakan pembiayaan program maupun kegiatan.

Meskipun tak terkait langsung dengan kewenangan Banggar di DPRD, ada baiknya inspirasi yang diperoleh dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI No 35/PUU-XI/2013 yang membatasi keterlibatan Badan Anggaran (Banggar) DPR terhadap mekanisme penyusunan anggaran yang tak boleh lagi sampai pada satuan III kementerian (satker) bisa dijadikan pembelajaran untuk mencegah jerat politik uang terhadap para anggota DPRD.

Performance Budgeting

Sejatinya, selama ini melalui paket UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah dilakukan reformasi birokrasi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah, yaitu mengubah sistem keuangan tradisional menjadi sistem anggaran kinerja (performance budgeting). Sistem tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan pendekatan incremental dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban dalam setiap input yang dialokasikan.

Melalui reformasi keuangan negara tersebut, sistem penyusuan anggaran harus disusun dengan pendekatan atau sistem anggaran kinerja (performance budgeting), dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekadar pada inputm tetapi juga pada output dan outcome. Penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran kinerja harus dilakukan melalui proses penyusunan yang bersifat partisipatif (bottom-up) melalui perencanaan anggaran berbasis kinerja yang menggunakan parameter kemanfaatan (outcome) dari setiap mata anggaran yang disusun.

Dengan demikian, sangat mudah untuk menelusuri adanya kecurangan dalam penyusunan maupun pengalokasian anggaran. Keuangan negara yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat hal-hal sebagai berikut: (1) sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (2) standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; serta (3) bagian pendapatan keuangan negara yang membiayai administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan.

Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah tersebut, dikembangkan standar analisis belanja, tolok ukur kinerja, dan standar biaya. Dengan digunakannya sistem anggaran berbasis kinerja saat ini, sungguh merupakan langkah yang sangat ceroboh dan gegabah jika ada oknumoknum di lingkungan SKPD maupun DPRD DKI Jakarta yang berani menyisipkan mata anggaran yang dalam penyusunannya tak bertitik tolak dari parameter anggaran kinerja di atas.

Apalagi dengan telah dimulainya penerapan sistem ebudgeting di lingkungan pemerintahan, termasuk di DKI Jakarta, pola penyisipan mata anggaran semacam itu cepat ataupun lambat pasti bisa terlacak. Prinsip pengeluaran negara/daerah dalam sistem anggaran berbasis kinerja ditopang oleh prinsip-prinsip akuntabilitas dan value of money, kejujuran dalam penataan keuangan negara/daerah, transparansi dan pengendalian.

Cara kerja tak profesional dalam penyusunan dan penggunaan anggaran baik oleh legislatif maupun eksekutif telah mengingkari semangat reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah yang diusung UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara serta PP No 58 Tahun 2005 yang dilaksanakan melalui Permendagri No 13 Tahun 2006 jis Permendagri No 59 Tahun 2007 dan Permendagri No 21 Tahun 2011.

Pesan penting dari “buruk rupa” draf APBD DKI Jakarta jika dikaitkan dengan inspirasi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No 35/PUU-XI/2013 adalah bahwa perlunya purifikasi fungsi kelembagaan dalam konstelasi sistem checks and balances. Eksekutif perlu dibatasi pada wilayah teknokratik APBD saja, tak perlu terlalu jauh mencampuri wilayah legislasi dan politik anggaran.

Sebaliknya DPRD juga perlu membatasi diri sebatas pada wilayah politik anggaran baik dalam proses penyusunan APBD, pengesahan melalui rapat paripurna sampai pada alokasinya. UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya juga telah mengamanatkan agar pemerintah lebih menempatkan diri sebagai administrator dan tak perlu terlalu dalam memasuki arena politik legislasi maupun politik anggaran.

Demikian pula UU Aparatur Sipil Negara dengan tegas mengembalikan fungsi aparatur sipil negara sebagai pelayan publik, jangan menjadi birokrat yang berpolitik. Pembahasan anggaran di DPRD merupakan arena politik yang tak boleh menyeret aparatur sipil negara ”bermain api” di arena politik.

Baik eksekutif maupun legislatif di DKI perlu menahan diri agar sama-sama dapat mengingat dengan baik bahwa kursi-kursi dan fasilitas yang mereka nikmati dibayar oleh rakyat dan harus dikembalikan melalui pengabdian terbaik bagi rakyat. Siklus banjir DKI tak akan berhenti hanya dengan memperdebatkan APBD!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar