Provokasi
Netanyahu
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2015
Minggu lalu terjadi sebuah peristiwa ganjil dalam sejarah
sistem politik di Amerika Serikat (AS) dan mungkin juga di dunia. Kepala
pemerintahan Israel, Benyamin Netanyahu, memberikan pidato di depan Kongres
AS tanpa melewati protokol diplomatik dari GedungPutih.
Netanyahu datang atas undangan dari Ketua DPR (House of
Representative) yang berasal dari Partai Republikan John Boehner dan
berpidato di hadapan Kongres. Isi pidato Netanyahu adalah ajakan agar
masyarakat Amerika menolak dialog damai antara Iran dan AS. Ia ingin
meyakinkan publik bahwa perundingan tersebut adalah usaha yang sia-sia dan
akan memberikan peluang bagi Iran untuk mengembangkan teknologi senjata
nuklirnya.
Ia juga mengkritik kerja Badan Atom Internasional yang
dianggap tidak dapat mendeteksi kelihaian Iran dalam menyembunyikan maksud
sesungguhnya dari rekayasa program nuklir Iran. Presiden AS Barack Obama
mencemooh pidato Netanyahu sebagai tidak menyediakan alternatif apa pun untuk
membangun komunikasi dengan Teheran.
Obama sendiri menyatakan tidak mau bertemu dengan
Netanyahu yang dalam minggu ini telah diprotes melalui serangkaian unjuk rasa
di dalam negeri. Kunjungan Netanyahu ke Washington DC itu sendiri adalah
bagian dari langkah diplomatiknya untuk mengganggu perundingan nuklir yang
sedang dilakukan Menteri Luar Negeri John Kerry dan mitranya dari Iran,
Mohammed Javad Zarif.
Jika selama ini dalam perundingan isu Iran John Kerry
memberikan update perkembangan kepada Israel, kali ini kebiasaan tersebut
tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan mengganggu proses perundingan. Hal
ini tentu membuat Israel naik pitam karena mereka dibiarkan “dalam gelap” dan
hanya bisa menebak-nebak apa isi dari perundingan AS-Iran.
Perundingan nuklir Iran dengan P5+1 setelah terpilihnya
Hassan Rouhani sebagai presiden Iran adalah proses yang panjang dan
melelahkan. P5+1 adalah kelompok negara yang membuka jalur diplomasi dengan
Iran atas isu program nuklirnya, yakni 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan
PBB plus Jerman. Banyak orang yang awalnya pesimistis bahwa Rouhani akan
membawa Iran mendekat kepada dunia Barat karena kekuatan Dewan Ulama yang
masih menjadi penentu arah modernisasi Iran.
Kesangsian ini sedikit demi sedikit berkurang dengan
konsistennya Iran dan enam negara besar lain untuk mendiskusikan masa depan
teknologi nuklir Iran. Meski demikian, di lain sisi, banyak pihak, khususnya
Israel, yang menganggap perundingan tersebut hanya tarik-ulur Iran saja untuk
secara diamdiam meningkatkan teknologi pengayaan uranium mereka.
Dalam pidatonya di depan Kongres AS, Netanyahu ingin
meyakinkan Kongres bahwa kesepakatan AS-Iran adalah kesepakatan yang sangat
buruk dan itu sebabnya harus ditolak. Netanyahu berharap akan muncul
kesadaran Iran adalah ancaman yang lebih besar bagi dunia dibandingkan ancaman
dari NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Isi pidatonya itu juga
ditujukankepada negara-negara Arab Sunni dan Timur Tengah, mulai dari Arab
Saudi hingga Mesir, yang saat ini juga memandang curiga perundingan Iran
dengan P5+1.
Negara-negara Arab Sunni di Timur Tengah saat ini melihat
meluasnya pengaruh Iran ke Irak, Suriah, Lebanon dan saat ini di Yaman
sebagai suatu ancaman. Alasan ini juga yang menjadi penyebab penanganan NIIS
yang setengah hati meskipun NIIS telah menelan korban ribuan orang, termasuk
para relawan kemanusiaan dari negara-negara Barat yang bekerja di sana.
Dibandingkan dengan
bantuan yang diberikan kepada para pejuang yang melawan Rezim Assad, bantuan
untuk perlawanan NIIS terbilang tidak penuh. Rasa khawatir ini yang juga
dieksploitasi Netanyahu untuk mengadu domba negara-negara di Timur Tengah,
khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam pidatonya di hadapan 435 anggota
parlemen yang terdiri atas 245 dari Partai Republik dan 188 dari Partai
Demokrat, Netanyahu mengatakan bahwa Iran dan NIIS adalah setali tiga uang.
Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa peperangan yang
terjadi di lapangan adalah perang antara NIIS dengan Iran sehingga membantu
memerangi NIIS tidak berarti lantas mendorong Iran menjadi teman. Provokasi
ini tentu ditujukan kepada negara-negara Timur Tengah yang menjadi aliansi AS
saat ini.
Netanyahu memanfaatkanrasakhawatirnegara- negara tersebut
terkait dengan ide AS untuk memasukkan Iran sebagai kawan aliansi di kawasan
Timur Tengah. Israel mencoba membangun dinding pemisah ideologi yang lebih
lebar dan tinggi antara muslim Sunni dan muslim Syiah. Hal ini dilakukan
karena beberapa hari sebelumnya, John Kerry telah melakukan safari politik ke
negara-negara Timur Tengah untuk mendiseminasi hasil perundingan dengan Iran.
Padahal ketika John Kerry bertemu dengan Raja Salman dari
Arab Saudi dan menteri luar negeri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi,
dan Uni Emirat Arab, ia telah menegaskan bahwa perundingan AS tidak akan
membuat Iran berpeluang menggunakannya senjata pemusnah massal. Ia juga
menegaskan komitmen AS untuk mencegah ekspansi Iran di Timur Tengah.
Kekhawatiran Netanyahu cukup beralasan setelah Yordania
melakukan penyerangan dan komitmen untuk memberantas NIIS setelah pilot
mereka dibakar hidup-hidup. Demikian pula dengan Mesir yangmemberikan respons
keras terhadap NIIS setelah 21 warganya yang beragama Kristen dipenggal
hidup-hidup.
Israel menjadi khawatir bahwa negara-negara Arab yang
sebelumnya masih setengah hati memerangi NIIS menjadi motor untuk
menghancurkan NIIS sehingga artinya juga secara politik memberi peluang
pengaruh pada Iran untuk berkembang. Sepak terjang Israel dan polarisasi
politik Sunni-Syiah di Timur Tengah tampaknya memperberat perundingan Iran
dan kelompok P5+1.
Provokasi Netanyahu jelas telah menjauhkan proses
perdamaian. Pidatonya di Kongres AS juga bukan kebetulan karena dari sisi
waktu pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen untuk menyelesaikan
perundingan di akhir bulan Maret ini. Pidato itu juga bukan kebetulan karena
dalam beberapa minggu terakhir Netanyahu telah mendapat serangan politik dari
lawan politik baik di dalam maupun di luar partainya.
Terakhir ia didemo 40.000 orang di Rabin Square, Tel Aviv,
minggu lalu. Bagi Iran, perundingan nuklir ini memiliki implikasi ekonomi
penting terkait dengan rencana untuk menghapuskan sanksi ekonomi yang
telahmembuat ekonomi mereka terpuruk dalam lima tahun terakhir. Di dalam
negeri, Iran sendiri pun mendapatkan banyak tekanan kepada Rouhani terkait
dengan perundingan nuklir ini.
Oleh sebab itu, dalam perundingan, Iran menghendaki
pencabutan sejumlah sanksi yang efeknya dapat langsung dirasakan masyarakat
seperti pembukaan rekening Iran di pasar Eropa dan Asia agar negara-negara
lain dapat segera membeli minyak dari Iran. Bagi Indonesia, sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar, kita patut mewaspadai gagasan-gagasan yang mirip
dengan ide Netanyahu, yakni gagasan yang bertujuan memecah belah persaudaraan
antarumat Islam yang demokratis dan moderat. Jangan sampai kecurigaan
menghentikan langkah menuju perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar