Hukuman
Mati, Memupus Asa Pertobatan
Tri Agung Kristanto ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
11 Maret 2015
Tak ada yang menyangkal hukuman mati hingga kini masih
diberlakukan di negeri ini. Pro dan kontra yang menyertai setiap kali majelis
hakim memutuskan hukuman itu terhadap seorang terdakwa, atau ketika eksekusi
dijalankan, tidak pernah menghentikan pemberlakuan hukuman mati itu.
Sanksi paling keras bagi seseorang yang melakukan
kejahatan itu, dalam sistem hukum di Indonesia, diperkirakan muncul pertama
kali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan
pemerintahan Hindia Belanda tahun 1918, yang dikenal sebagai Wetboek van
Strafrecht (WvS). WvS merupakan perubahan dari Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands-Indie yang diundangkan dengan Staatblad Nomor 732 Tahun 1915
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melanjutkan
pemberlakuan hukuman mati dengan mengadopsi WvS menjadi KUHP, yang ditetapkan
sebagai UU Nomor 1 Tahun 1946. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
mencatat, UU ini hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Melalui UU No
73/1958, KUHP itu diberlakukan secara nasional.
Perubahan terhadap KUHP terus dilakukan, antara lain
melalui beberapa UU dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan
sebagian pasal dalam KUHP. Namun, hingga saat ini, aturan peninggalan Hindia
Belanda itu masih berlaku sebab rancangan UU KUHP yang disiapkan pemerintah
belum disepakati DPR dan pemerintah.
Dalam KUHP, ada sejumlah tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati, antara lain kejahatan terhadap keamanan negara (makar) dan
pembunuhan berencana. Selain KUHP, sejumlah UU juga memberlakukan hukuman
mati, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU
No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No 26/2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 22/1997 tentang Narkotika,
dan UU No 5/1997 tentang Psikotropika.
Kebanyakan terdakwa yang dijatuhi hukuman mati di negara
ini adalah karena melakukan perdagangan gelap narkotika atau psikotropika
(bandar), melakukan pembunuhan berencana, dan melakukan terorisme. Kejaksaan
Agung pada Desember 2014 merilis data, sebanyak 138 terpidana mati menanti
eksekusi. Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy
Purdijatno dalam berbagai kesempatan menyatakan, terpidana mati yang menanti
dieksekusi saat ini sebanyak 64 orang.
Terhadap terpidana mati dalam berbagai kasus, terutama
perkara peredaran gelap narkoba, Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap yang
tegas. Ia tidak mau berkompromi dan memberikan pengampunan (grasi). Pada
pertengahan Januari lalu, Kejaksaan Agung sudah mengeksekusi enam terpidana
mati kasus narkoba di Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan
Kabupaten Boyolali, Jateng.
Bulan Februari lalu, tetapi gagal dan kemungkinan
dilakukan pada Maret ini, sejumlah terpidana mati kasus narkoba dan
pembunuhan akan dieksekusi. Persiapan di Nusakambangan sudah dilakukan,
termasuk dengan mendatangkan keluarga terpidana mati itu atau wakil
pemerintah negara asal terpidana. Rencana eksekusi ini kembali menimbulkan
pro dan kontra di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Tahun 2014, tidak ada terpidana mati yang dieksekusi.
Namun, antara tahun 2000-2013, Kejaksaan Agung mencatat sebanyak 27 terpidana
mati menjalani hukuman di depan regu tembak.
Kesempatan bertobat
Pasal 2 UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan,
sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal ini
memberi jaminan kepada warga binaan pemasyarakatan, termasuk narapidana,
untuk bertobat dan kembali menjadi warga yang diterima masyarakatnya.
Terpidana mati pun adalah warga binaan yang berhak
memperoleh pembinaan dari lembaga pemasyarakatan, terutama untuk menyiapkan
diri menghadapi eksekusi. Mereka tak berhak memperoleh remisi (pengurangan
hukuman). Namun, sesuai UU No 22/2002, yang diubah dengan UU No 5/2010
tentang Grasi, terpidana mati berhak mengajukan pengampunan atau peniadaan
hukuman (grasi) kepada Presiden. Dengan UU No 5/2010, saat ini tidak ada lagi
terpidana mati yang harus berlama-lama menunggu pengajuan grasi karena mereka
diberi batas waktu maksimal setahun setelah putusannya berkekuatan hukum
tetap (inkracht).
Hendardi, Ketua SETARA Institute, lembaga swadaya
masyarakat yang peduli dengan hak asasi manusia (HAM), pada minggu lalu
menilai, kesigapan Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan terpidana mati
kasus narkoba dan kasus lain, ataupun semangat Kejaksaan Agung untuk
mengeksekusi mereka, adalah cara pemerintahan ini menutupi kelemahan kinerja
di bidang hukumnya. Hingga saat ini, ketegangan antara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Polri belum selesai. Pelemahan terhadap KPK pun masih
berlangsung.
Merasa gagah karena menolak grasi, seperti yang
disampaikan Jokowi dalam beberapa forum, jelas Hendardi, adalah kepongahan
yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan prestasi seorang Presiden.
Bahkan, keputusan itu akan semakin menyulitkan Indonesia untuk melakukan
pembelaan terhadap warganya yang kini terancam hukuman mati di sejumlah
negara. SETARA Institute mencatat ada 229 warga negara Indonesia yang saat
ini terancam hukuman mati di luar negeri.
Hukuman mati bagi pengedar narkoba memang diterima oleh
sebagian masyarakat karena besarnya bahaya narkoba bagi generasi sebuah
bangsa. Bagi terpidana mati perkara narkoba yang tak menunjukkan pertobatan
dan memperbaiki diri, seperti tetap terlibat mengendalikan peredaran gelap
narkoba dari balik jeruji, rasanya sebagian orang akan menyetujui apabila
terpidana itu segera dihukum mati. Dengan demikian, langkahnya tak diikuti
terpidana lain.
Namun, bagi terpidana mati yang sudah lama tak dieksekusi
dan menunjukkan perbaikan perilaku, rasanya tetap perlu diberi kesempatan
untuk memperbaiki diri. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tahun 2010
sempat mengajukan usulan pengampunan bagi terpidana mati atau seumur hidup
yang tua dan sakit-sakitan. Alasannya, kemanusiaan. Ketika itu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menyetujuinya.
Tahun 1999, Presiden BJ Habibie pun membuat kebijakan
mengubah hukuman mati yang diterima seseorang terpidana menjadi seumur hidup
dan terpidana seumur hidup diubah hukumannya menjadi penjara terbatas 20
tahun. Dengan kebijakan itu, Sirajuddin alias Pakde, terpidana seumur hidup
dalam kasus pembunuhan peragawati Dietje Budiasih Budimulyono pun bisa
mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Tentu saja pemberian grasi atau amnesti (meniadakan akibat
tindakan hukum) oleh Presiden tidak bisa sembarangan, harus dipilah dan
dicermati satu per satu sesuai dengan bobot perkara dan perilaku terpidana
dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Artinya, tidak elok pula penolakan grasi
dilakukan secara borongan, terlihat asal ditolak, tanpa melihat upaya
perbaikan diri yang dilakukan oleh seorang terpidana mati. Di antara
terpidana mati yang kini menanti eksekusi, mungkin saja ada yang sudah
memperbaiki diri dan menanti diberi kesempatan untuk berbakti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar