Kamis, 12 Maret 2015

Hukuman Mati, Memupus Asa Pertobatan

Hukuman Mati, Memupus Asa Pertobatan

Tri Agung Kristanto  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tak ada yang menyangkal hukuman mati hingga kini masih diberlakukan di negeri ini. Pro dan kontra yang menyertai setiap kali majelis hakim memutuskan hukuman itu terhadap seorang terdakwa, atau ketika eksekusi dijalankan, tidak pernah menghentikan pemberlakuan hukuman mati itu.

Sanksi paling keras bagi seseorang yang melakukan kejahatan itu, dalam sistem hukum di Indonesia, diperkirakan muncul pertama kali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan pemerintahan Hindia Belanda tahun 1918, yang dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht (WvS). WvS merupakan perubahan dari Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie yang diundangkan dengan Staatblad Nomor 732 Tahun 1915

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melanjutkan pemberlakuan hukuman mati dengan mengadopsi WvS menjadi KUHP, yang ditetapkan sebagai UU Nomor 1 Tahun 1946. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencatat, UU ini hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Melalui UU No 73/1958, KUHP itu diberlakukan secara nasional.

Perubahan terhadap KUHP terus dilakukan, antara lain melalui beberapa UU dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan sebagian pasal dalam KUHP. Namun, hingga saat ini, aturan peninggalan Hindia Belanda itu masih berlaku sebab rancangan UU KUHP yang disiapkan pemerintah belum disepakati DPR dan pemerintah.

Dalam KUHP, ada sejumlah tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, antara lain kejahatan terhadap keamanan negara (makar) dan pembunuhan berencana. Selain KUHP, sejumlah UU juga memberlakukan hukuman mati, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 22/1997 tentang Narkotika, dan UU No 5/1997 tentang Psikotropika.

Kebanyakan terdakwa yang dijatuhi hukuman mati di negara ini adalah karena melakukan perdagangan gelap narkotika atau psikotropika (bandar), melakukan pembunuhan berencana, dan melakukan terorisme. Kejaksaan Agung pada Desember 2014 merilis data, sebanyak 138 terpidana mati menanti eksekusi. Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno dalam berbagai kesempatan menyatakan, terpidana mati yang menanti dieksekusi saat ini sebanyak 64 orang.

Terhadap terpidana mati dalam berbagai kasus, terutama perkara peredaran gelap narkoba, Presiden Joko Widodo menunjukkan sikap yang tegas. Ia tidak mau berkompromi dan memberikan pengampunan (grasi). Pada pertengahan Januari lalu, Kejaksaan Agung sudah mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkoba di Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan Kabupaten Boyolali, Jateng.

Bulan Februari lalu, tetapi gagal dan kemungkinan dilakukan pada Maret ini, sejumlah terpidana mati kasus narkoba dan pembunuhan akan dieksekusi. Persiapan di Nusakambangan sudah dilakukan, termasuk dengan mendatangkan keluarga terpidana mati itu atau wakil pemerintah negara asal terpidana. Rencana eksekusi ini kembali menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri ataupun di luar negeri.

Tahun 2014, tidak ada terpidana mati yang dieksekusi. Namun, antara tahun 2000-2013, Kejaksaan Agung mencatat sebanyak 27 terpidana mati menjalani hukuman di depan regu tembak.

Kesempatan bertobat

Pasal 2 UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan, sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal ini memberi jaminan kepada warga binaan pemasyarakatan, termasuk narapidana, untuk bertobat dan kembali menjadi warga yang diterima masyarakatnya.

Terpidana mati pun adalah warga binaan yang berhak memperoleh pembinaan dari lembaga pemasyarakatan, terutama untuk menyiapkan diri menghadapi eksekusi. Mereka tak berhak memperoleh remisi (pengurangan hukuman). Namun, sesuai UU No 22/2002, yang diubah dengan UU No 5/2010 tentang Grasi, terpidana mati berhak mengajukan pengampunan atau peniadaan hukuman (grasi) kepada Presiden. Dengan UU No 5/2010, saat ini tidak ada lagi terpidana mati yang harus berlama-lama menunggu pengajuan grasi karena mereka diberi batas waktu maksimal setahun setelah putusannya berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Hendardi, Ketua SETARA Institute, lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan hak asasi manusia (HAM), pada minggu lalu menilai, kesigapan Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan terpidana mati kasus narkoba dan kasus lain, ataupun semangat Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi mereka, adalah cara pemerintahan ini menutupi kelemahan kinerja di bidang hukumnya. Hingga saat ini, ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri belum selesai. Pelemahan terhadap KPK pun masih berlangsung.

Merasa gagah karena menolak grasi, seperti yang disampaikan Jokowi dalam beberapa forum, jelas Hendardi, adalah kepongahan yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan prestasi seorang Presiden. Bahkan, keputusan itu akan semakin menyulitkan Indonesia untuk melakukan pembelaan terhadap warganya yang kini terancam hukuman mati di sejumlah negara. SETARA Institute mencatat ada 229 warga negara Indonesia yang saat ini terancam hukuman mati di luar negeri.

Hukuman mati bagi pengedar narkoba memang diterima oleh sebagian masyarakat karena besarnya bahaya narkoba bagi generasi sebuah bangsa. Bagi terpidana mati perkara narkoba yang tak menunjukkan pertobatan dan memperbaiki diri, seperti tetap terlibat mengendalikan peredaran gelap narkoba dari balik jeruji, rasanya sebagian orang akan menyetujui apabila terpidana itu segera dihukum mati. Dengan demikian, langkahnya tak diikuti terpidana lain.

Namun, bagi terpidana mati yang sudah lama tak dieksekusi dan menunjukkan perbaikan perilaku, rasanya tetap perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tahun 2010 sempat mengajukan usulan pengampunan bagi terpidana mati atau seumur hidup yang tua dan sakit-sakitan. Alasannya, kemanusiaan. Ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujuinya.

Tahun 1999, Presiden BJ Habibie pun membuat kebijakan mengubah hukuman mati yang diterima seseorang terpidana menjadi seumur hidup dan terpidana seumur hidup diubah hukumannya menjadi penjara terbatas 20 tahun. Dengan kebijakan itu, Sirajuddin alias Pakde, terpidana seumur hidup dalam kasus pembunuhan peragawati Dietje Budiasih Budimulyono pun bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Tentu saja pemberian grasi atau amnesti (meniadakan akibat tindakan hukum) oleh Presiden tidak bisa sembarangan, harus dipilah dan dicermati satu per satu sesuai dengan bobot perkara dan perilaku terpidana dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Artinya, tidak elok pula penolakan grasi dilakukan secara borongan, terlihat asal ditolak, tanpa melihat upaya perbaikan diri yang dilakukan oleh seorang terpidana mati. Di antara terpidana mati yang kini menanti eksekusi, mungkin saja ada yang sudah memperbaiki diri dan menanti diberi kesempatan untuk berbakti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar