Memberi
Arah RUU Perlindungan Umat Beragama
Rumadi Ahmad ; Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior
the WAHID Institute
|
KORAN
SINDO, 11 Maret 2015
Rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk
memasukkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB)
ke DPR untuk menjadi Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015 tertunda.
Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai inisiator RUU
tersebut punya waktu lebih panjang untuk menyusunnya. Sejauh yang penulis
pantau, Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah melakukan
serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun hingga
kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik Naskah
Akademik maupun draf RUU-nya.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin mengemukakan, RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang
dianggap paling krusial. Lima hal tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran
keagamaan di luar enam agama yang resmi diakui (Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Konghucu).
Hal ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung
memunculkan konflik. Pengikut agama di luar yang enam itu merasa, pemerintah
kurang menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi mengamanahkan
perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2. Soal
pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak
lembaga.
Tidak hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena
terkait dengan tata ruang; 3) Isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat
agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya dengan berbagai cara. Karena itu
perlu ada aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di ruang publik.
Demikian pula cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu
kekerasan terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka
intoleransi.
Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit
dan mudah menuduh pihak lain sebagai musuh. Di luar lima hal tersebut
sebenarnya ada persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan
dalam RUU PUB, yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebercian (hate speech)
terhadap pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama.
Hal-hal tersebut, idealnya harus dirumuskan peta
persoalannya agar regulasi yang akan disusun tidak salah arah, atau justru
menjadi sarana legitimasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit
awal penyusunan RUU PUB ini. Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu
persoalan di setiap isu. Namun, tentu bukan di sini karena ruangan yang
terbatas.
Arah Penyusunan RUU PUB
Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah
memberi arah yang tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini
harus diarahkan untuk beberapa tujuan sebagai berikut. Pertama, memastikan
bahwa semua warga negara, apapun agama dan keyakinannya harus diperlakukan
secara adil dan setara.
Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga
negara dengan berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat
perlindungan dan pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU
PUB harus bisa menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan
keyakinan.
Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama
dan keyakinan sebagai persoalan yang harus dibebaskan dari diskriminasi. UU
ini hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis dimana agama tidak menjadi
bagian di dalamnya.
Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70
tahun merdeka Indonesia belum terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan
keyakinan. Di satu sisi negara sudah memberi pemenuhan yang melimpah untuk
menjalankan agama dan keyakinannya, namun di pihak lain ada kelompok
masyarakat yang hak eksistensialnya masih dipersoalkan.
Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan
kepada warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi
penyesatan dan kriminalisasi. Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan.
Prinsip pokok ini harus dipegang teguh oleh perumus RUU ini agar tidak
terombang-ambing dengan berbagai pendapat.
Selama ini sering terjadi kriminalisasi keyakinan
keagamaan karena dianggap sebagai kelompok sesat, bahkan dianggap melakukan
penistaan agama. Ketiga, terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan
tuduhan penistaan agama tidak bisa diarahkan pada keyakinan keagamaan dan
orang-orang yang mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbeda dengan
mainstream.
Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada tindakan atau
ucapan bernada kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena
keyakinan yang berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru
sebaliknya. Orang-orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan
dikriminalisasi, sementara orang-orang yang jelas-jelas memberikan ancaman
dengan ucapan kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan hukum.
Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa kenakan kepada
orang-orang yang memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina
dan melecehkan keyakinan keagamaan seseorang. Keempat, RUU PUB harus mampu
membuka ruang toleransi seluas-luasnya atas berbagai keanekaragaman dan
perbedaan. Hal ini penting ditegaskan karena banyak aturanaturan kehidupan
keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam
masyarakat.
Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak
kekerasan dan intoleransi yang beberapa tahun terkahir ini banyak terjadi.
Yang penulis maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi
yang mampu memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan
berbagai bentuk ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan
kelompok-kelompok intoleran untuk melegitimasi tindakan intoleransinya.
Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara
penyiaran agama harus diletakkan dalam konteks ini. Sedetail apapun tentang
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun
2006yangdidalamnya mengatur tata cara pendirian tempat ibadah, tapi karena
ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan banyak
persoalan di lapangan.
Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur
dalam Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur
kompetisi merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam
kehidupan beragama. Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil
dari perluasan arena toleransi tersebut disertai dengan penegakan hukum yang
konsisten.
Angka intoleransi yang tinggi beberapa tahun terakhir
merupakan buah dari regulasi yang mempersempit ruang toleransi dan penegakan
hukum yang jauh dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan keagamaan.
Kelima,RUU PUB harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi
keagamaan yang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan
sekedar mengkompilasi berbagai regulasi keagamaan kemudian dinaikkan
statusnya menjadi undang-undang.
Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam
putusan Mhkamah Konstitusi NO. 140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik
penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui
perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan agama baik pada lingkup formil
perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil
yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik
seperti yang sekarang ini sering terjadi.
Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan
ke arah ini, penulis yakin Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia
internasional, dan situasi kehidupan beragama kita semakin baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar