Kamis, 12 Maret 2015

Memberi Arah RUU Perlindungan Umat Beragama

Memberi Arah RUU Perlindungan Umat Beragama

Rumadi Ahmad  ;  Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior the WAHID Institute
KORAN SINDO, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk memasukkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR untuk menjadi Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015 tertunda.

Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai inisiator RUU tersebut punya waktu lebih panjang untuk menyusunnya. Sejauh yang penulis pantau, Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah melakukan serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun hingga kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik Naskah Akademik maupun draf RUU-nya.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan, RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang dianggap paling krusial. Lima hal tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran keagamaan di luar enam agama yang resmi diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu).

Hal ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung memunculkan konflik. Pengikut agama di luar yang enam itu merasa, pemerintah kurang menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi mengamanahkan perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2. Soal pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak lembaga.

Tidak hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena terkait dengan tata ruang; 3) Isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya dengan berbagai cara. Karena itu perlu ada aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di ruang publik. Demikian pula cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu kekerasan terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka intoleransi.

Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit dan mudah menuduh pihak lain sebagai musuh. Di luar lima hal tersebut sebenarnya ada persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU PUB, yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebercian (hate speech) terhadap pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama.

Hal-hal tersebut, idealnya harus dirumuskan peta persoalannya agar regulasi yang akan disusun tidak salah arah, atau justru menjadi sarana legitimasi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit awal penyusunan RUU PUB ini. Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu persoalan di setiap isu. Namun, tentu bukan di sini karena ruangan yang terbatas.

Arah Penyusunan RUU PUB

Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah memberi arah yang tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini harus diarahkan untuk beberapa tujuan sebagai berikut. Pertama, memastikan bahwa semua warga negara, apapun agama dan keyakinannya harus diperlakukan secara adil dan setara.

Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga negara dengan berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat perlindungan dan pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU PUB harus bisa menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan keyakinan.

Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama dan keyakinan sebagai persoalan yang harus dibebaskan dari diskriminasi. UU ini hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis dimana agama tidak menjadi bagian di dalamnya.

Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70 tahun merdeka Indonesia belum terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Di satu sisi negara sudah memberi pemenuhan yang melimpah untuk menjalankan agama dan keyakinannya, namun di pihak lain ada kelompok masyarakat yang hak eksistensialnya masih dipersoalkan.

Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi penyesatan dan kriminalisasi. Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan. Prinsip pokok ini harus dipegang teguh oleh perumus RUU ini agar tidak terombang-ambing dengan berbagai pendapat.

Selama ini sering terjadi kriminalisasi keyakinan keagamaan karena dianggap sebagai kelompok sesat, bahkan dianggap melakukan penistaan agama. Ketiga, terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama tidak bisa diarahkan pada keyakinan keagamaan dan orang-orang yang mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbeda dengan mainstream.

Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada tindakan atau ucapan bernada kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena keyakinan yang berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan dikriminalisasi, sementara orang-orang yang jelas-jelas memberikan ancaman dengan ucapan kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan hukum.

Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa kenakan kepada orang-orang yang memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina dan melecehkan keyakinan keagamaan seseorang. Keempat, RUU PUB harus mampu membuka ruang toleransi seluas-luasnya atas berbagai keanekaragaman dan perbedaan. Hal ini penting ditegaskan karena banyak aturanaturan kehidupan keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam masyarakat.

Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak kekerasan dan intoleransi yang beberapa tahun terkahir ini banyak terjadi. Yang penulis maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi yang mampu memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan berbagai bentuk ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan kelompok-kelompok intoleran untuk melegitimasi tindakan intoleransinya.

Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara penyiaran agama harus diletakkan dalam konteks ini. Sedetail apapun tentang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun 2006yangdidalamnya mengatur tata cara pendirian tempat ibadah, tapi karena ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan banyak persoalan di lapangan.

Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur kompetisi merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam kehidupan beragama. Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil dari perluasan arena toleransi tersebut disertai dengan penegakan hukum yang konsisten.

Angka intoleransi yang tinggi beberapa tahun terakhir merupakan buah dari regulasi yang mempersempit ruang toleransi dan penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan keagamaan. Kelima,RUU PUB harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi keagamaan yang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar mengkompilasi berbagai regulasi keagamaan kemudian dinaikkan statusnya menjadi undang-undang.

Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam putusan Mhkamah Konstitusi NO. 140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan agama baik pada lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik seperti yang sekarang ini sering terjadi.

Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan ke arah ini, penulis yakin Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia internasional, dan situasi kehidupan beragama kita semakin baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar