Politik
Legislasi Samar-samar
Bayu Dwi Anggono ; Pengajar
Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember; Direktur Pusat
Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi)
|
DETIKNEWS,
06 Maret 2015
Diwarnai protes mahasiswa dan beberapa anggota DPR,
paripurna DPR Senin (9/2) mengesahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2015-2019. DPR, DPD dan Presiden menyepakati 159 RUU dengan 37 RUU menjadi
prioritas tahun 2015.
Pemilihan 159 RUU memunculkan tanda tanya, apakah memang
dibutuhkan untuk mendukung agenda prioritas negara seperti perlindungan warga
negara, pemerintahan bersih, pembangunan daerah, penegakan hukum bebas
korupsi, kesejahteraan rakyat, kemandirian ekonomi, dan penghormatan kebhinnekaan,
ataukah seperti Prolegnas periode-periode sebelumnya yang kental nuansa
memboroskan anggaran, target kurang realistis dan politik legislasi samar
samar.
Batasan Materi Undang-Undang
John Locke melalui karya Two Treaties on Civil Government (1690) mendalilkan kekuasaan
legislatif meskipun mendapat amanah dari rakyat untuk menjalankan fungsi
membentuk Undang-Undang, namun kekuasaan besar tersebut perlu dibatasi
melalui materi hukum yang dapat dibuatnya. Paham legislatif tidak dapat
membuat UU semau-maunya juga disampaikan Hamid S. Attamimi (1990) yaitu UU
bukanlah sekedar produk yang dihasilkan melalui prosedur yang diatur dalam
UUD tanpa memperdulikan materi pengaturan yang ada di dalamnya (het formele wets begrib). Sebagai
konsekuensi prinsip supremasi konstitusi yang mengakui hierarki peraturan
perundang-undangan, maka tidak semua materi pengaturan dapat dituangkan
menjadi UU sekalipun pembentuknya menghendaki, melainkan materi UU memiliki
batasan (het materiele wets begrip).
Disayangkan pemikiran kedua tokoh tersebut belum menjadi
pegangan para pembentuk UU di Indonesia. DPR pasca Perubahan UUD 1945
menganggap Prolegnas sebagai 'toko serba ada' yaitu banyak RUU meskipun tidak
memiliki politik legislasi yang jelas dan tidak memenuhi kualifikasi sebagai
materi muatan UU karena lebih tepat diatur dengan peraturan
perundang-undangan di bawah UU tetap dibentuk menjadi UU. Tanpa bermaksud
memandang remeh, contoh UU berkualifikasi demikian diantaranya adalah UU
12/2010 tentang Gerakan Pramuka, dan UU 20/2013 tentang Pendidikan
Kedokteran.
Paham semua materi pengaturan dapat menjadi UU semakin
mendapat tempat ketika Pasal 10 ayat (1) huruf e UU 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebelumnya UU 10/2004) menyebutkan
materi muatan yang harus diatur dengan UU salah satunya adalah ‘pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat’. Ketentuan ini telah membuka lebar
penafsiran dan rentan disalahgunakan yaitu suatu RUU dapat masuk Prolegnas
jika ada kelompok masyarakat mengusulkannya ke DPR, DPD atau Presiden,
walaupun RUU tersebut tergolongkan bukan materi muatan UU.
Bukan Negara Undang-Undang
Belajar dari kegagalan mencapai target sebagaimana DPR
periode sebelumnya yaitu DPR 1999-2004 menetapkan 300 RUU dengan capaian 175
UU (58%), DPR 2004-2009 menetapkan 284 RUU dengan capaian 193 UU (68%), DPR
2009-2014 menetapkan 247 RUU dengan capaian 126 UU (51%), DPR periode ini
terlihat ingin menyusun Prolegnas yang lebih realistis. Menurut Badan
Legislasi (Baleg), penetapan 159 RUU merupakan hasil perasan dari 324 RUU
yang diseleksi dengan cara mencari kesamaan judul, substansi, dan urgensi
sebuah RUU.
Secara kuantitatif jumlah 159 RUU memang lebih sedikit
dibandingkan Prolegnas periode sebelumnya, namun secara kualitatif masih
mengandung potensi permasalahan sebagai berikut:
Pertama, RUU yang dari segi materi muatannya tidak
seharusnya diatur dengan UU dan lebih tepat diatur dengan peraturan
perundang-undangan dibawah UU, diantaranya: RUU Ketahanan Keluarga, RUU
Ekonomi Kreatif, RUU Kepalangmerahan, RUU Sistem Perbukuan, RUU Kedaulatan
Pangan, RUU Radio Televisi Republik Indonesia, RUU Tabungan Haji, dan RUU
Tabungan Perumahan rakyat.
Kedua, mengingat sudah terdapat UU yang mengatur pokok
materi tertentu, maka materi RUU ini lebih tepat dijadikan materi peraturan
pelaksanaan (PP atau Perpres), diantaranya: RUU BUMD, RUU Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah, RUU Pengembangan Pembangunan Daerah Kepulauan, RUU
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, ke empat RUU ini pokok-pokoknya
sudah diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan mengenai
BUMD jelas-jelas diperintahkan oleh Pasal 331 dan 343 UU Pemerintahan Daerah
diatur lebih lanjut dengan PP. Berikutnya RUU Perbidanan, RUU Praktik
Kefarmasian, dan RUU Pembinaan, Pengembangan, dan Pengawasan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, ke tiga RUU ini
pokok-pokoknya sudah diatur dalam UU 36/3009 tentang Kesehatan dan UU 36/2014
tentang Tenaga Kesehatan.
Ketiga, RUU yang sulit dibayangkan substansi dan luas
jangkauan pengaturannya, diantaranya: RUU Etika Penyelenggara Negara/RUU
Etika Lembaga Perwakilan, RUU Partisipasi Masyarakat, RUU Penghinaan Dalam
Persidangan (contempt of court),
RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, RUU Geologi, RUU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, dan RUU Praktik Pekerjaan sosial.
Keempat, RUU yang apabila penyusunannya tidak memperhatikan
ketentuan HAM dalam konstitusi dan terlalu condong pada kepentingan kelompok
tertentu berpotensi melanggar hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya,
serta penghormatan kebhinnekaan, diantaranya: RUU Rahasia Negara, RUU
Keamanan Nasional, RUU Pertembakauan, RUU Perlindungan Umat Beragama, RUU
Kebudayaan, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, RUU Pengelolaan Sumber
Daya Alam, RUU Sistem Pengupahan, dan RUU Perekonomian Nasional.
UU tidak hanya membutuhkan biaya saat dibentuk, yang oleh
Baleg disebutkan biaya 1 UU tahun 2014 adalah Rp 4-7 miliar, angka Rp 7
miliar jika disertai studi banding ke luar negeri. UU juga membutuhkan biaya
penegakan, terutama jika mengamanatkan pembentukan lembaga/perangkat baru,
serta alokasi APBN tertentu untuk bidang tersebut.
Untuk mencegah pemborosan anggaran akibat pembentukan UU
yang tidak diperlukan dibutuhkan politik legislasi yang jelas dan mendukung
agenda prioritas pembangunan. Perwujudannya membutuhkan perubahan pemahaman
oleh DPR, DPD dan Presiden bahwa Negara Hukum bukanlah Negara Undang-Undang
yang beranggapan bahwa UU adalah panacea (obat semua penyakit). Selain UU,
untuk menciptakan kehidupan tertib dan teratur dapat melalui peraturan perundang-undangan
lainnya maupun alternatif non hukum.
Politik legislasi yang berdaya guna akan menjadikan
Indonesia negara hukum yang mensejahterahkan.
Oleh karena itu diharapkan DPR, DPD dan Presiden meninjau kembali Prolegnas
2015-2019. Untuk memilih RUU dapat digunakan kriteria: kesesuaian dengan
materi muatan UU, adanya bukti kuat tentang dibutuhkannya UU, dilakukan
evaluasi untuk menentukan pengaturan apa yang tidak bekerja dari peraturan
perundang-undangan yang ada, dan memperluas kesempatan pemberian pendapat
pihak-pihak terkait atas RUU yang diusulkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar