Kamis, 12 Maret 2015

Aliansi Peradaban Dunia

Aliansi Peradaban Dunia

Pramudito  ;  Mantan Diplomat; Pemerhati Masalah Internasional
REPUBLIKA, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada 9 Januari 2015 mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama akan mengukuhkan Islam Nusantara pada muktamarnya yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur, awal Agustus mendatang. Islam Nusantara yang tidak lagi membedakan antara Islam dan kebangsaan diharapkan bisa menjadi teladan dunia.

Sebelumnya, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta beberapa waktu lalu menghasilkan bersepakat meneguhkan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Dalam penutupan kongres, Presiden Jokowi menyatakan agar toleransi antarumat beragama yang sudah terjalin terus dipertahankan.

Apalagi, toleransi antarumat beragama di Indonesia mendapat apresiasi dari sejumlah negara. Bahkan, menurut Jokowi, para pemimpin negara lain pun mengatakan, toleransi di Indonesia bisa menjadi contoh.

Dari KUII ini dapat kita garis bawahi bahwa mayoritas umat Islam Indonesia beraliran moderat. Namun, moderat yang pasif. Mayoritas umat Islam umumnya hanya berpangku tangan atau wait and see bila terjadi ekstremisme sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, baik yang radikal maupun liberal. Sikap pasif ini secara berangsur harus diubah menjadi aktif, yakni berpartisipasi langsung untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi peningkatan hidup bertoleransi antarumat beragama di negeri Pancasila ini.

Aliansi

Sebenarnya di forum internasional, Indonesia telah berpartisipasi dalam gerakan deradikalisasi dunia. Salah satunya melalui forum yang disponsori PBB bernama United Nations Alliance for Civilization (UNAOC), suatu forum lintas budaya dan lintas agama. Dibentuk pada 2005, kegiatan forum sudah enam kali, yakni di Madrid, Istanbul, Rio de Janeiro, Doha, Wina, dan terakhir di Nusa Dua, Bali, pada akhir Agustus 2014. Forum ketujuh sejauh ini belum ada kejelasan akan diadakan di mana.

UNAOC dalam bahasa Indonesia disebut sebagai "Aliansi Peradaban" yang dibentuk Sekjen PBB waktu itu, Kofi Annan, dengan co-sponsor Spanyol dan Turki. Peran almarhum Ali Alatas, mantan menlu RI, cukup besar pada tahap awal pembentukan aliansi, terutama penyusunan konsep dasar.

Kofi Annan membentuk High Level Group UNAOC dan beranggotakan 20 tokoh berbagai negara dengan tugas mengkaji peradaban dunia serta merumuskan arah dan tujuan UNAOC. Sebagai anggota High Level Group satu-satunya yang mewakili Asia Tenggara, Ali Alatas waktu itu berusaha mengajukan buah pikirannya bahwa aliansi itu nantinya tidak hanya berfokus pada masalah Islam dan dunia Barat, tapi juga melibatkan seluruh peradaban di dunia tanpa kecuali. Hasil kajian "Kelompok Tinggi" itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Misi Aliansi.

Pembentukan Aliansi Peradaban 10 tahun lalu memang pada awalnya untuk "menjembatani dunia Islam dengan Barat". Namun, atas perjuangan Ali Alatas, aliansi akan menyentuh semua peradaban di dunia, bukan hanya dunia Islam dan Barat. Untuk itu, aliansi menetapkan empat pilar sebagai dasar pembahasan, yaitu yang terkait dengan dunia pendidikan, pengembangan anak muda, media, dan migrasi.

Memang tak dapat dimungkiri, faktor pendidikan dan kelompok muda terkait erat dengan karakter kelompok budaya dan juga jadi penentu arah tujuan suatu kelompok atau bangsa pada masa mendatang. Adalah anak muda yang umumnya cepat terbawa arus perubahan atau juga arus aliran tertentu, termasuk yang mengarah pada ekstremisme atau radikalisme.

Dalam kaitan ini dapat dicatat rekomendasi dari Forum VI di Bali, antara lain, pendidikan antaragama dalam kurikulum sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah sebagai upaya untuk lebih memahami antarindividu dari latar belakang budaya dan kepercayaan berbeda. Aliansi juga merekomendasikan para pemuda dunia untuk memiliki kegiatan yang berguna bagi masyarakat hingga terhindar dari sifat intoleransi dan ekstremisme.

Karena adanya keterkaitan dengan peran pemuda itulah maka sebelum Forum VI berlangsung diawali dengan pertemuan khusus antarpemuda. Pertemuan yang disebut Youth Event berlangsung pada 28-30 Agustus 2014 di Bali, diikuti sekitar 100 tokoh pemuda dari berbagai negara. Pertemuan mengeluarkan Rekomendasi Pemuda (Youth Recommendations) yang disebut mewakili keinginan atau harapan kaum muda kepada para pemimpin dunia untuk menegaskan kontribusi mereka bagi terciptanya Unity in Diversity (Persatuan dalam Keberagaman).

Rekomendasi Pemuda ini diusulkan seiring dengan dua dari empat pilar Aliansi, yaitu pendidikan dan pengembangan pemuda. Rekomendasi penting di antaranya meminta semua negara memasukkan masalah "kewarganegaraan global" dalam kurikulum sekolah pada semua tingkatan pendidikan dengan fokus utama pada pemahaman lintas budaya, penyelesaian masalah, resolusi konflik, dan pembangunan perdamaian.

Kiranya pembentukan Forum Aliansi peradaban memang tepat, yaitu saat situasi dunia sekarang semakin mengkhawatirkan dengan terbentuknya kelompok radikal di beberapa kawasan dunia yang bertindak hanya berdasarkan kehendak sendiri tanpa memedulikan kelompok atau orang lain yang tidak sehaluan.

Saya masih ingat ungkapan Menlu Marty Natalegawa ketika berpidato di Forum Aliansi VI di Bali, sebagaimana pernah ditekankan mantan menlu Ali Alatas bahwa "tidak ada istilah antara dunia Islam dan Barat, tapi yang ada adalah "antara ekstremisme dan moderatisme".

Forum VI Aliansi di Indonesia juga hal tepat mengingat keberagaman bangsa dan rakyat Indonesia, dengan pilihan forum, yaitu "Persatuan dalam Keberagaman" (Unity in Diversity: Celebrating Diversity for Common and Shared Values") yang diambil dari motto bangsa Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika". Fakta ini bahkan diakui oleh Wakil Tinggi PBB untuk UNAOC Nassir Abdulazizi Al-Nasser yang belajar banyak dari keberagaman bangsa Indonesia ini.

Pada akhirnya Forum VI mengadopsi Deklarasi Bali yang memuat pesan damai bagi dunia. Deklarasi antara lain menegaskan keberagaman budaya adalah kekayaan yang harus dihargai sebagai faktor penting untuk perdamaian. Dunia mempunyai tanggung jawab kolektif untuk memegang teguh prinsip human dignity, equality and equity pada tingkat global. Deklarasi juga memuat pengakuan adanya keragaman dan sifat budaya di dunia yang dapat berkontribusi pada kelanjutan pembangunan, serta penekanan pada hubungan antara nilai dan tujuan Aliansi dengan proses demokrasi. Deklarasi juga menegaskan implementasi nyata pada tingkat nasional, yaitu rekomendasi membuat strategi nasional guna melestarikan dialog antarbudaya masing-masing negara.

Sinergi

Sebenarnya selama ini Indonesia sudah berusaha berpartisipasi membangun dunia yang damai dalam menghadapi berbagai bentuk radikalisme. Adalah tidak adil bila radikalisme hanya ditujukan pada dunia atau suatu kelompok Islam. Sejarah dunia menunjukkan betapa beberapa abad lalu di Eropa juga meletus radikalisme antara Protestan dan Katolik. Juga radikalisme bahkan terorisme kaum Zionis Yahudi di tanah Palestina, ada juga radikalisme kaum Nazi Jerman yang menyulut Perang Dunia II. Semua harus kita pahami dengan kepala dingin.

Perjuangan diplomasi Indonesia dan juga upaya di dalam negeri terkait deradikalisasi harus bersinergi, tidak dapat berjalan sendiri. Apa yang menjadi kebijakan di dalam negeri haruslah paralel dengan kebijakan luar negeri dalam menghadapi radikalisme ini. Maka, amat penting bila kebijakan dan langkah negara dalam menangkal radikalisme harus selalu disebarluaskan agar rakyat Indonesia tidak lagi hanya bersikap pasif terhadap berbagai peristiwa penting nasional maupun internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar