Aliansi
Peradaban Dunia
Pramudito ; Mantan
Diplomat; Pemerhati Masalah Internasional
|
REPUBLIKA,
11 Maret 2015
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pada 9 Januari 2015
mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama akan mengukuhkan Islam Nusantara pada muktamarnya
yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur, awal Agustus mendatang. Islam Nusantara
yang tidak lagi membedakan antara Islam dan kebangsaan diharapkan bisa
menjadi teladan dunia.
Sebelumnya, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di
Yogyakarta beberapa waktu lalu menghasilkan bersepakat meneguhkan komitmen
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
Pancasila. Dalam penutupan kongres, Presiden Jokowi menyatakan agar toleransi
antarumat beragama yang sudah terjalin terus dipertahankan.
Apalagi, toleransi antarumat beragama di Indonesia
mendapat apresiasi dari sejumlah negara. Bahkan, menurut Jokowi, para
pemimpin negara lain pun mengatakan, toleransi di Indonesia bisa menjadi
contoh.
Dari KUII ini dapat kita garis bawahi bahwa mayoritas umat
Islam Indonesia beraliran moderat. Namun, moderat yang pasif. Mayoritas umat
Islam umumnya hanya berpangku tangan atau wait and see bila terjadi
ekstremisme sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, baik yang radikal
maupun liberal. Sikap pasif ini secara berangsur harus diubah menjadi aktif,
yakni berpartisipasi langsung untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi
peningkatan hidup bertoleransi antarumat beragama di negeri Pancasila ini.
Aliansi
Sebenarnya di forum internasional, Indonesia telah
berpartisipasi dalam gerakan deradikalisasi dunia. Salah satunya melalui
forum yang disponsori PBB bernama United
Nations Alliance for Civilization (UNAOC), suatu forum lintas budaya dan
lintas agama. Dibentuk pada 2005, kegiatan forum sudah enam kali, yakni di
Madrid, Istanbul, Rio de Janeiro, Doha, Wina, dan terakhir di Nusa Dua, Bali,
pada akhir Agustus 2014. Forum ketujuh sejauh ini belum ada kejelasan akan
diadakan di mana.
UNAOC dalam bahasa Indonesia disebut sebagai "Aliansi
Peradaban" yang dibentuk Sekjen PBB waktu itu, Kofi Annan, dengan
co-sponsor Spanyol dan Turki. Peran almarhum Ali Alatas, mantan menlu RI,
cukup besar pada tahap awal pembentukan aliansi, terutama penyusunan konsep
dasar.
Kofi Annan membentuk High
Level Group UNAOC dan beranggotakan 20 tokoh berbagai negara dengan tugas
mengkaji peradaban dunia serta merumuskan arah dan tujuan UNAOC. Sebagai
anggota High Level Group
satu-satunya yang mewakili Asia Tenggara, Ali Alatas waktu itu berusaha
mengajukan buah pikirannya bahwa aliansi itu nantinya tidak hanya berfokus
pada masalah Islam dan dunia Barat, tapi juga melibatkan seluruh peradaban di
dunia tanpa kecuali. Hasil kajian "Kelompok Tinggi" itulah yang
kemudian ditetapkan sebagai Misi Aliansi.
Pembentukan Aliansi Peradaban 10 tahun lalu memang pada
awalnya untuk "menjembatani dunia Islam dengan Barat". Namun, atas
perjuangan Ali Alatas, aliansi akan menyentuh semua peradaban di dunia, bukan
hanya dunia Islam dan Barat. Untuk itu, aliansi menetapkan empat pilar sebagai
dasar pembahasan, yaitu yang terkait dengan dunia pendidikan, pengembangan
anak muda, media, dan migrasi.
Memang tak dapat dimungkiri, faktor pendidikan dan
kelompok muda terkait erat dengan karakter kelompok budaya dan juga jadi
penentu arah tujuan suatu kelompok atau bangsa pada masa mendatang. Adalah
anak muda yang umumnya cepat terbawa arus perubahan atau juga arus aliran
tertentu, termasuk yang mengarah pada ekstremisme atau radikalisme.
Dalam kaitan ini dapat dicatat rekomendasi dari Forum VI
di Bali, antara lain, pendidikan antaragama dalam kurikulum sekolah tingkat
dasar dan tingkat menengah sebagai upaya untuk lebih memahami antarindividu
dari latar belakang budaya dan kepercayaan berbeda. Aliansi juga
merekomendasikan para pemuda dunia untuk memiliki kegiatan yang berguna bagi
masyarakat hingga terhindar dari sifat intoleransi dan ekstremisme.
Karena adanya keterkaitan dengan peran pemuda itulah maka
sebelum Forum VI berlangsung diawali dengan pertemuan khusus antarpemuda.
Pertemuan yang disebut Youth Event
berlangsung pada 28-30 Agustus 2014 di Bali, diikuti sekitar 100 tokoh pemuda
dari berbagai negara. Pertemuan mengeluarkan Rekomendasi Pemuda (Youth Recommendations) yang disebut
mewakili keinginan atau harapan kaum muda kepada para pemimpin dunia untuk
menegaskan kontribusi mereka bagi terciptanya Unity in Diversity (Persatuan dalam Keberagaman).
Rekomendasi Pemuda ini diusulkan seiring dengan dua dari
empat pilar Aliansi, yaitu pendidikan dan pengembangan pemuda. Rekomendasi
penting di antaranya meminta semua negara memasukkan masalah
"kewarganegaraan global" dalam kurikulum sekolah pada semua
tingkatan pendidikan dengan fokus utama pada pemahaman lintas budaya,
penyelesaian masalah, resolusi konflik, dan pembangunan perdamaian.
Kiranya pembentukan Forum Aliansi peradaban memang tepat,
yaitu saat situasi dunia sekarang semakin mengkhawatirkan dengan terbentuknya
kelompok radikal di beberapa kawasan dunia yang bertindak hanya berdasarkan
kehendak sendiri tanpa memedulikan kelompok atau orang lain yang tidak
sehaluan.
Saya masih ingat ungkapan Menlu Marty Natalegawa ketika
berpidato di Forum Aliansi VI di Bali, sebagaimana pernah ditekankan mantan
menlu Ali Alatas bahwa "tidak ada istilah antara dunia Islam dan Barat,
tapi yang ada adalah "antara ekstremisme dan moderatisme".
Forum VI Aliansi di Indonesia juga hal tepat mengingat
keberagaman bangsa dan rakyat Indonesia, dengan pilihan forum, yaitu
"Persatuan dalam Keberagaman" (Unity
in Diversity: Celebrating Diversity for Common and Shared Values")
yang diambil dari motto bangsa Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika".
Fakta ini bahkan diakui oleh Wakil Tinggi PBB untuk UNAOC Nassir Abdulazizi
Al-Nasser yang belajar banyak dari keberagaman bangsa Indonesia ini.
Pada akhirnya Forum VI mengadopsi Deklarasi Bali yang
memuat pesan damai bagi dunia. Deklarasi antara lain menegaskan keberagaman
budaya adalah kekayaan yang harus dihargai sebagai faktor penting untuk
perdamaian. Dunia mempunyai tanggung jawab kolektif untuk memegang teguh
prinsip human dignity, equality and equity pada tingkat global. Deklarasi
juga memuat pengakuan adanya keragaman dan sifat budaya di dunia yang dapat
berkontribusi pada kelanjutan pembangunan, serta penekanan pada hubungan
antara nilai dan tujuan Aliansi dengan proses demokrasi. Deklarasi juga
menegaskan implementasi nyata pada tingkat nasional, yaitu rekomendasi
membuat strategi nasional guna melestarikan dialog antarbudaya masing-masing
negara.
Sinergi
Sebenarnya selama ini Indonesia sudah berusaha
berpartisipasi membangun dunia yang damai dalam menghadapi berbagai bentuk
radikalisme. Adalah tidak adil bila radikalisme hanya ditujukan pada dunia
atau suatu kelompok Islam. Sejarah dunia menunjukkan betapa beberapa abad
lalu di Eropa juga meletus radikalisme antara Protestan dan Katolik. Juga
radikalisme bahkan terorisme kaum Zionis Yahudi di tanah Palestina, ada juga
radikalisme kaum Nazi Jerman yang menyulut Perang Dunia II. Semua harus kita
pahami dengan kepala dingin.
Perjuangan diplomasi Indonesia dan juga upaya di dalam
negeri terkait deradikalisasi harus bersinergi, tidak dapat berjalan sendiri.
Apa yang menjadi kebijakan di dalam negeri haruslah paralel dengan kebijakan
luar negeri dalam menghadapi radikalisme ini. Maka, amat penting bila
kebijakan dan langkah negara dalam menangkal radikalisme harus selalu
disebarluaskan agar rakyat Indonesia tidak lagi hanya bersikap pasif terhadap
berbagai peristiwa penting nasional maupun internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar