Rabu, 18 Maret 2015

Pernak-pernik Golkar

Pernak-pernik Golkar

Ikrar Nusa Bhakti  ;  Sastrawan, Tinggal di Depok
KOMPAS, 18 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Suhardiman, satu-satunya tokoh pendiri kelompok induk organisasi—populer lewat singkatannya: Kino—yang menjadi cikal bakal Golongan Karya yang masih hidup, pasti amat sedih melihat kondisi Partai Golkar saat ini. Betapa tidak. Sejarah politik Partai Golkar merupakan sejarah yang panjang.

Golkar lahir dari suatu situasi politik yang mencekam pada era akhir Orde Lama dan awal Orde Baru. Di tengah hubungan segitiga sama sisi antara Presiden Soekarno di titik puncak, Partai Komunis Indonesia (PKI) di kaki kiri, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di kaki kanan, tiga kolonel TNI AD pada era akhir Demokrasi Terpimpin berupaya keras agar jangan sampai PKI menjadi kekuatan dominan dalam politik Indonesia.

Caranya, pertama, di satu sisi TNI AD melalui Kolonel Suhardiman berupaya mencegah dilaksanakannya pemilihan umum pada era itu guna mencegah PKI memenangi pemilu, yaitu dengan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) agar menjadikan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Kedua, di sisi lain, tiga kolonel TNI AD yang di antaranya pernah menjadi ajudan Bung Karno, membentuk organisasi massa untuk mengimbangi tumbuh dan berkembangannya ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI.

Tiga organisasi itu adalah Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) di bawah Kolonel Isman, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) di bawah Kolonel Soegandhi, dan Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) yang kemudian berubah menjadi Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia di bawah Kolonel Suhardiman. Tiga ormas itulah yang menjadi cikal bakal Golongan Karya.

Tumbuhnya Golkar tak terlepas dari peranan Bung Karno yang memberikan kesempatan- kesempatan ekonomi dan politik yang begitu luas kepada—dalam konsepsi Bung Karno—golongan fungsional ABRI dan non ABRI. Bung Karno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo, kabinet hasil pemilu demokratis pertama pada 1955, dan membentuk Kabinet Ahli (Zaken Kabinet). Kabinet Ahli ini terdiri atas campuran antara anggota partai dan golongan fungsional sipil dan militer yang dipimpin oleh Ir Haji Djuanda pada 9 April 1957 dan berakhir pada 10 Juli 1959.

Pembentukan Zaken Kabinet pada 1957 adalah tonggak sejarah penting dalam sejarah Indonesia yang memberi ruang kepada militer untuk berpolitik. Pada 1957 pula militer menjadi kekuatan dominan dalam pengorganisasian negara setelah Bung Karno menyatakan negara dalam keadaan darurat akibat perang saudara yang disebabkan munculnya pemberontakan di daerah, seperti PRRI, Permesta, Kahar Muzakkar, dan Republik Maluku Selatan. Pada 1957 pula Bung Karno memberikan konsesi ekonomi kepada TNI AD dengan menempatkan kolonel-kolonel pada perusahaan-perusahaan asing Belanda yang dinasionalisasi.

Singkat cerita, kekuasaan Bung Karno mulai terkikis sejak ia menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dan PKI dibubarkan oleh pemegang mandat Supersemar, Mayor Jenderal Soeharto, sehari setelahnya. Soeharto kemudian menjadi pejabat Presiden pada 1968, setelah dua pidato Bung Karno, Nawaksara, ditolak oleh MPRS. Soeharto pun membutuhkan satu kekuatan politik alternatif terhadap partai-partai politik untuk menopang legitimasi kekuasaannya, dan kemudian lahirlah Golkar yang meluas bukan saja dari tiga Kino tersebut, melainkan gabungan asosiasi politik dari beragam golongan.

Golkar, riwayatmu kini

Di era Orde Baru, Golkar selalu berjaya pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992—dan terakhir 1997—karena ditopang oleh birokrasi sipil dan kekuatan militer, khususnya TNI AD. Golkar menjadi the ruling party, kalau tidak dapat dikatakan sebagai the ruler’s party, meski Golkar sendiri tidak mau disebut partai politik karena konotasi parpol amat buruk akibat deparpolisasi dan depolitisasi oleh penguasa Orde Baru.

Seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, tiadanya induk semang, seperti Soeharto dan berakhirnya dwifungsi ABRI serta munculnya netralitas birokrasi sipil dalam politik, menjadikan Golkar—yang sejak awal reformasi bernama Partai Golkar—harus berjuang sendiri setara dengan partai-partai politik lain yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Secara lambat, tetapi pasti, Partai Golkar juga mengalami pembusukan dari dalam dirinya sendiri ketika sebagian elite politiknya—baik karena kalah bersaing untuk menjadi ketua umum Partai Golkar atau karena ingin eksis dalam politik—keluar dan membentuk partai sendiri.

Sempalan Partai Golkar pun bermunculan. Berawal dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang dipimpin Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dipimpin Jenderal (Purn) Wiranto, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di bawah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Partai Demokrat di bawah Susilo Bambang Yudhoyono, sampai ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pimpinan Surya Paloh.

Meski begitu, Partai Golkar tetap eksis sebagai partai pemenang pertama atau kedua pemilu legislatif di Indonesia. Sampai 2014, Golkar juga selalu menjadi bagian dari partai pendukung pemerintah. Namun, Partai Golkar tidak pernah berhasil menjadikan calon presiden yang didukungnya terpilih pada setiap pemilu presiden langsung. Wiranto gagal pada Pilpres 2004, Jusuf Kalla gagal pada Pilpres 2009, dan yang sangat menyakitkan, Aburizal Bakrie bahkan gagal menjadi capres pada 2014!

Konflik internal di Partai Golkar sejak 2014 merupakan yang terburuk dalam sejarah partai beringin ini karena memunculkan dua kubu kepemimpinan sebagai hasil dari dua musyawarah nasional yang berbeda, yaitu hasil Munas Bali di bawah Aburizal Bakrie (ARB) dan Munas Jakarta di bawah Agung Laksono.

Meminjam teori klasik kelas dan elite dari Gaetano Mosca yang menekankan karakteristik sosiologis dan personal, kelas penguasa (the ruling class) yang ada di Partai Golkar—yang terdiri atas para elite dan sub-elite yang berada di bawah kepemimpinan ARB—merasa diri mereka memiliki superioritas intelektual, moral, material dan memiliki pengaruh kuat pada para elite lokal Golkar. Sebaliknya, kubu Agung Laksono yang dukungannya lebih kecil merasa memiliki legalitas hukum karena keberadaannya diputuskan oleh dua dari empat hakim Mahkamah Partai Golkar dan diberi angin segar untuk diakui oleh negara asalkan kepengurusannya mengakomodasi kelompok elite Golkar kubu ARB.

Kegamangan politik

Bila kita mendekatinya dari aspek psikologi dan superioritas intelektual para elite, meminjam teori elite klasik dari Vilfredo Pareto, para pendukung ARB juga masih merasa sebagai the governing elites yang berhadapan dengan non-governing elites di tubuh Partai Golkar. Mereka sulit menerima bahwa sirkulasi elite atau kelas penguasa di tubuh Partai Golkar bisa saja terjadi. Elite dan sub-elite pendukung ARB juga sulit menerima kenyataan bahwa posisi politik mereka dapat berubah dari elite atau kelas penguasa menjadi elite atau kelas yang tidak berkuasa di Partai Golkar.

Partai Golkar juga mengalami kegamangan politik dari the ruling party menjadi partai oposisi atau penyeimbang. Gaya berpolitik parlementer pun muncul kembali saat mereka berupaya untuk mendapatkan dukungan teman-teman sekoalisinya di Koalisi Merah Putih (KMP) melalui upaya pengajuan hak angket terhadap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Padahal, dalam sistem presidensial tidak dikenal hak angket terhadap menteri yang adalah pembantu presiden.

Kelompok ARB benar bahwa di era reformasi dan demokrasi ini tidak boleh lagi ada intervensi pemerintah terhadap partai-partai politik, seperti yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP dan PDI. Namun, intervensi politik tidak mungkin terjadi bila semua elite di Partai Golkar, the ruling class ataupun kelas yang diperintah (the ruled class) dapat menyelesaikan konflik internalnya sendiri.

Inilah ujian terberat bagi Partai Golkar: apakah pelembagaan politik dan demokrasi internal sudah merasuk ke diri para elite Golkar, ataukah Golkar justru menjadi partai pariah yang legitimasi kepemimpinannya bergantung pada pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar