Etika
dalam Masalah
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
18 Maret 2015
Tahun
1961, saat diadili di Jerusalem, seusai ditangkap di pinggiran Buenos Aires
pada 11 Mei 1960, Adolf Eichmann bersikukuh tidak bersalah atas pembantaian
lebih dari 6 juta orang Yahudi oleh Nazi. Ia menolak adanya motif personal.
Eichmann
hanyalah arsitek dari "solusi final" mekanisme Hitler mengatasi
masalah Yahudi (Arendt, 1963; Harel,
1975). Hannah Arendt (1963)-filsuf modern Jerman berdarah Yahudi yang
meliput langsung persidangan Eichmann-menyimpulkan ini sebagai BanalitÄt des
BÖsen, banalitas kejahatan. Ada desepsi diri yang total sehingga kejahatan
terasa sesuatu yang netral, di dalamnya tak ada pengakuan dan penyesalan.
Mengapa
umumnya koruptor tersenyum di layar kaca seperti pemain sinetron dadakan?
Kaum moralis klasik berkesimpulan, mereka mengalami penumpulan sensibilitas
moral secara konstan yang berdampak pada hilangnya rasa malu secara permanen.
Benarkah semudah itu?
Dari
pengalaman Eichmann, kita mengerti tanggung jawab atas tindakan politik
selalu menjadi perdebatan. Apakah pegawai rendahan Gayus Tambunan dalam
megakorupsi pajak cukup bertanggung jawab sendiri atau semestinya secara
kolektif? Apakah Prasetyo, M Taufik,
dan semua anggota DPRD DKI Jakarta digerakkan oleh motivasi personal atau
kolektif untuk menggalang hak angket atas Basuki Tjahaja Purnama? Apakah Rp
12,1 triliun yang diduga dana siluman wujud dari ambisi personal atau sistem?
Masalah
etika jabatan selalu melahirkan dua bentuk tanggung jawab: personal dan
kolektif. Diminusi tanggung jawab pribadi biasa terjadi dalam konteks abuse
of power dengan alasan "atas perintah atasan" dan untuk
"kebaikan bersama" sistem.
Korupsi politik modern tak pernah bersifat tunggal. Ia selalu
merupakan kerja kolektif sebagai modus vivendi, cara sistem bertahan hidup.
Tidak usah heran mengapa politisi kaya melakukan korupsi atau bekas tokoh
agama menjadi arsitek korupsi sistemik.
Tak
bisa dimungkiri, ada instink individual dalam melakukan kejahatan. Selalu ada
porsi ambisi pribadi di dalam korupsi besar. Hanya saja, porsi itu tidak bisa
bekerja tanpa dorongan dan penguatan oleh ambisi kolektif.
Stimulasi
penjara dalam eksperimen Philip Zimbardo (1971) memberikan konfirmasi yang
baik: bahwa dalam kondisi terkunci, terikat oleh hubungan otoriter yang
hierarkal, imposisi aturan, dan relasi
kekuasaan yang tak setara, manusia bertindak secara tertentu. Eksperimen yang
seharusnya dua minggu, dihentikan pada hari keenam karena adanya kebrutalan
psikologis dan fisik yang menyentuh ambang batas. Para mahasiswa yang
terlibat eksperimen terkejut melihat video selama mereka dalam penjara.
Studi
ini menegaskan, sistem yang kuat dan hierarki posisi yang tegas membentuk
tindakan seseorang. Tesis ini penting untuk memahami bahwa moralitas personal
tak begitu punya korelasi langsung dengan tindakan korupsi. Pelaku langsung
korupsi politik adalah onderdil dari mesin korupsi yang melibatkan banyak
tangan, posisi, dan peran. Maka, memberantas korupsi secara menyeluruh
seharusnya dengan menghancurkan logika dasar dan sistem kerja dari korupsi,
bukan hanya dengan memborgol tangan-tangan kelihatan.
Orientasi etis
Ada
dua orientasi dalam etika, yaitu orientasi deontologis dan orientasi
teleologis (Cooper, 2012).
Orientasi deontologis fokus pada penegakan prinsip etis, seperti keadilan,
kebebasan, dan kebenaran. Orientasi teleologis memikirkan konsekuensi
lanjutan dari penegakan prinsip etis tersebut. Kaum utilitarian kebanyakan
menganut alur ini.
Dalam
konteks ini, kita bisa menemukan akar kemelut DPRD DKI Jakarta dan Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama. Pertama, korupsi sistemik sudah menjadi modus
vivendi, cara bertahan hidup, dari kelompok politik. Di dalamnya individu
mengalami desepsi diri secara total. Koruptor tak merasa korupsi. Maka tak
ada penyesalan. Malah, mereka semakin
galak. Inilah ekspresi lain dari pengalaman Eichmann soal banalitas
kejahatan.
Kedua,
masalah etika jabatan. Dalam sistem yang korup, prinsip etis hanyalah naskah,
bukan tindakan. Terjadi krisis kesadaran teleologis dalam mengaitkan tindakan
politik dengan kebaikan umum. Tindakan politik tak lebih dari sekadar
"perintah sistem" sehingga ketika sistem "memerintahkan"
korupsi melalui kebijakan, setiap unsur yang ada di dalam sistem akan bekerja
dengan baik. Maka, tidak aneh kalau SKPD sejalan dengan DPRD dalam rapat soal
anggaran!
Konflik
menjadi tajam karena Basuki melihat masalah sebagai masalah, sementara
lawannya sama sekali tak melihat masalah. Ini bukan soal kepura-puraan.
Mereka bekerja dengan logika kolektif yang terbangun secara tak sadar
sehingga mereka pun tidak sadar bahwa itu masalah.
Komunikasi
adalah solusi paling murah, tetapi paling menyesatkan. Politik yang seperti
ini tidak pernah bisa diselesaikan dengan dialog. Di permukaan, ini memang
konflik dua kamar: eksekutif vs legislatif. Namun, di balik layar, ini perang
kekuatan politik: kekuatan yang memproduksi korupsi sistemik dan kekuatan
yang melawannya. Islah itu pendekatan moral konvensional, sementara ini
kejahatan non-konvensional.
Penegakan
hukum adalah solusi yang ideal. Biarkan KPK bekerja menyelidiki potensi
korupsi dalam APBD yang diajukan DPRD. Pembuktian itu tidak hanya menentukan
salah-benar, tetapi juga memberi efek terapi jangka panjang: bahwa modus
korupsi sistemik melalui kebijakan terbongkar. Pelaku dalam konteks
lain, akan berpikir ulang untuk melakukan praktik serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar