Pembatasan
Dana Kampanye Pilkada
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum
Tata Negara Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2015
SISTEM pemilu maupun pilkada yang
diterapkan dalam satu dekade terakhir telah membuka kesempatan teramat luas
untuk membiaknya persaingan tak berbatas dalam meraup suara konstituen. Tidak
hanya sekadar mempertandingkan kekuatan pengaruh, sumber daya sosial, dan
jaringan politik, tetapi juga memperlombakan seberapa besar kekuatan uang
yang dimiliki.
Bahkan, yang disebut terakhir tersebut diyakini banyak pelaku
politik sebagai faktor penentu kemenangan dalam pemilu. Sekalipun tak selalu
demikian, setidaknya proses pemilu telah dihiasi praktik politik uang yang
demikian masif.
Sebuah kenyataan yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan
pemilu sebagai prosedural sistem politik demokrasi di republik ini. Uang
seakan menegasikan suara rakyat yang sesungguhnya tak dapat diimbali hanya
dengan selembar uang kertas bergambar dwitunggal proklamator.
Bagi sebagian kelompok yang
frustrasi dengan keadaan, mereka cenderung berbalik badan dengan mengusulkan
perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD.
Sementara kelompok lainnya berkeyakinan bahwa pilihan sikap demikian tetap
saja tidak mampu menjawab persoalan politik uang.Jalan keluarnya bukan
mengubah sistem, melainkan membenahi kelemahan dalam sistem pemilihan
langsung yang saat ini masih dipertahankan. Lajunya praktik politik uang
dalam pilkada, sesungguhnya dapat diperlambat atau bahkan dihilangkan melalui
berbagai langkah. Salah satunya dengan menelurkan kebijakan pembatasan dana
kampanye.
Belum memadai
Untuk pertama kali, kebijakan
pembatasan dana kampanye telah diintroduksi ke dalam UU No 1/2015. Dalam UU
ini, pengaturan dana kampanye tidak lagi hanya sekadar membatasi jumlah
sumbangan dana kampanye yang dapat diterima peserta pilkada, tetapi juga
memuat rumusan tentang pembatasan dana kampanye. Dalam Pasal 74 ayat (9) UU
No 1 2015 dinyatakan, Pembatasan Dana Kampanye Pemilihan ditetapkan oleh KPU
Provinsi dan KPU Ka bupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah penduduk,
cakupan atau luas wilayah, dan standar biaya daerah.
Ketentuan tersebut setidaknya
memiliki sejumlah dampak positif. Pertama, kontes pilkada diyakini akan
berjalan lebih sehat.Sebab, persaingan tidak lagi mengedepankan banyaknya
modal uang, tetapi seberapa besar pengaruh yang dimiliki dalam merayu pemilih
untuk memilihnya. Sekalipun calon kepala daerah memiliki uang dalam jumlah tak
terbatas, tetapi yang bersangkutan tidak dapat menggunakannya melebihi yang
ditentukan.
Kedua, siapa pun yang akan menjadi
calon kepala daerah agar ia dikenal, maka yang bersangkutan dipaksa untuk
bertanam investasi sosial dan politik jauh sebelum pilkada dilaksanakan. Hal
itu mesti dilakukan karena ia tidak lagi dapat mengandalkan baliho dan
publikasi media dengan uang banyak yang dimilikinya.
Ketiga, pembatasan dana
kampanye akan mendorong setiap calon lebih kreatif untuk mendekati pemilih,
dibanding hanya sekedar membagi-bagikan uang receh. Pada saat yang sama,
masyarakat pemilih pun akan dididik untuk tidak lagi berpikir pragmatis dalam
menentukan pilihan. Dengan begitu besarnya dampak positif yang akan diterima,
pengaturan tentang pembatasan dana kampanye layak diacungi jempol.
Hal yang disayangkan ialah
pembatasan dana kampanye sebagaimana dimuat dalam UU No 1/2015 justru tidak
diiringi dengan ketentuan sanksi bagi peserta pilkada yang melanggar. Karena
itu, semestinya pembentuk UU juga menetapkan sanksi pembatalan sebagai calon
bagi pasangan calon kepala daerah yang menggunakan dana kampanye melebihi
batas ketentuan.Tanpa saksi, ketentuan pembatasan dana kampanye dikhawatirkan
hanya sekadar menjadi norma basa-basi semata.
Berharap untuk diubahnya UU No 1/2015
dalam rangka memperbaiki ketentuan tersebut, tentunya bukan pekerjaan
gampang.Lebih-lebih lagi, perubahan UU dimaksud baru saja disahkan dua minggu
lalu. Selain itu, waktu penyelenggaraan pilkada 2015 pun sudah semakin dekat.
Oleh karena itu, harapan menutupi lubang hukum tersebut tidak dapat
disandarkan pada perubahan UU, tetapi mesti ditumpangkan kepada peraturan
KPU. Jadi, melalui peraturan terkait dengan panduan penyelenggaraan pilkada
yang akan ditetapkan, KPU mesti mengintroduksi formulasi pembatasan dana
kampanye berikut dengan sanksi yang dapat dikenakan bagi peserta pilkada yang
melanggarnya.
Tersebab hanya akan dimuat dalam
peraturan KPU, tentunya sanksi yang dapat diterapkan pun amat terbatas. KPU
hanya dapat mengatur sanksi tertentu saja, seperti penurunan alat peraga
kampanye di tempat tertentu, melarang calon mengikuti kampanye untuk beberapa
jenis kegiatan kampanye, atau pelanggaran tersebut diumumkan kepada publik
melalui media massa. Sanksi yang lebih berat dari itu, seperti pembatalan
sebagai peserta pilkada tentunya tidak dapat diterapkan sebab UU No 1/2015
secara limitatif telah menentukan jenis pelanggaran apa saja yang dapat
dikenai sanksi pembatalan sebagai peserta.
Prinsip pembatasan
Terkait dengan pembatasan dana
kampanye, UU hanya memberi panduan bahwa pembatasan dilakukan dengan
mempertimbangkan jumlah penduduk, cakupan atau luas wilayah, dan standar
biaya daerah.Sementara pengaturan pembatasan lebih lanjut sepenuhnya
diserahkan kepada KPU untuk menentukannya.
Oleh karena itu, agar pola
pembatasan dana kampanye yang akan ditetapkan KPU daerah memiliki
keseragaman, hal ini perlu diatur lebih jelas dalam peraturan KPU. Dalam
peraturan dimaksud, beberapa prinsip berikut perlu dipertimbangkan untuk
diacu. Pertama, efisiensi dan efektivitas penggunaan dana kampanye. Dalam hal
ini, pembatasan dana kampanye ditentukan berbasis setiap item kegiatan
kampanye. Kedua, KPU menentukan rincian item kegiatan kampanye yang dibiayai
negara dan yang dibiayai setiap pasangan calon.
Sehubungan dengan itu, laporan
dana kampanye penyelenggaraan pilkada dalam 10 tahun terakhir dapat dijadikan
panduan untuk memformulasikan pembatasan dana kampanye. Dalam konteks ini,
KPU daerah tinggal menentukan berapa besaran biaya setiap kegiatan kampanye
sesuai standar biaya daerah masing-masing. Ketiga, dana untuk sejumlah item
kegiatan kampanye yang dibiayai negara melalui APBN/APBD dihitung sebagai
dana kampanye tiap-tiap calon. Oleh karena itu, dana tersebut mesti
dikonversi ketika menentukan batasan dana kampanye. Keempat, formulasi
pembatasan dana kampanye yang dirumuskan harus mampu menutup atau setidaknya
mengurangi upaya manipulasi penggunaan dana kampanye melebihi ambang batas
yang ditentukan.
Dengan adanya pembatasan dana
kampanye yang diatur secara jelas dan tegas melalui peraturan KPU,
kekhawatiran bahwa pilkada hanya ajang pertarungan orang-orang beruang
tentunya dapat ditepis.Lagi pula, jalan demikian juga merupakan langkah KPU
untuk mendedikasikan perannya dalam mewujudkan penyelenggaraan pilkada yang
jujur dan adil tanpa politik uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar