Rabu, 11 Maret 2015

Kuda Troya Jokowi

Kuda Troya Jokowi

Dahnil Anzar Simanjuntak  ;  Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
REPUBLIKA, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ketika maju menjadi calon presiden Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo adalah calon presiden yang dianggap paling sedikit dosa sejarahnya. Tokoh baru, menunjukkan komitmen transparansi dan akuntabilitas yang terang.
Setidaknya saat itu Joko Widodo sukses menampilkan diri sebagai politisi yang bersih dan memiliki komitmen tinggi terhadap agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, dengan gagah dan percaya diri Joko Widodo menandatangani pakta integritas calon presiden bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang salah satu isi klausul dari pakta integritas itu adalah "membentuk pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi dan mengangkat men teri dan pejabat publik lainnya yang bersih dan bebas dari korupsi". Maka, dukungan dari para aktivis antikorupsi dan kelompok sipil lainnya pun mengalir tumpah kepada Joko Widodo.

Selang dilantik, tanda-tanda Joko Widodo melanggar "baiat" beliau sebagai presiden yang akan mendorong pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Mereka yang dianggap oleh publik tidak bersih bahkan sudah diperingatkan oleh KPK dan PPATK, tetap menjadi menteri Melanggar "baiat" sebagai imam pemerintahan yang bersih dan antikorupsi pun berlanjut, melalui pengusulan calon tunggal kapolri Komjen Budi Gunawan.

Padahal, sebelumnya KPK sudah "mewanti-wanti" bahwa Budi Gunawan terkait dengan kepemilikan "rekening gendut" dan "gratifikasi".

KPK kemudian mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan. Bersembunyi di balik asas hu kum praduga tak bersalah (presumption of innocence), DPR setuju dengan penunjukan Budi Gunawan dan meminta presiden segera melantik. Tapi, suara publik sebaliknya.

Masyarakat sipil beramai-ramai mendukung KPK untuk melajutkan kasus gratifikasi Budi Gunawan dan Presiden tidak melantik yang bersangkutan.
Silang sengkarut pun dimulai, dengan penangkapan yang tidak lazim oleh Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto, wakil ketua KPK, yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Perlawanan publik semakin kencang dan membesar.

Bareskrim Polri pun semakin berani melakukan kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang lain, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain.
Komjen Budi Gunawan menggugat praperadilan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Dan, gugatan terse- but dikabulkan oleh hakim tunggal, Sarpin. Namun, tekanan publik yang begitu kuat ternyata didengar Presiden Joko Widodo. Beliau membatalkan penunjukan Budi Gunawan sebagai kapolri, dan mengusulkan Komjen Badrodin Haiti.

Bersamaan dengan dibatalkannya Budi Gunawan sebagai calon kapolri, Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan kepres pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pimpinan KPK dan mengeluarkan perppu pengangkatan plt pimpinan KPK yang baru, yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP.

Keputusan tersebut dipuji oleh beberapa tokoh berintegritas namun naif, juga dipuja-puji oleh banyak masyara kat awam sebagai win-win solution yang apik meskipun terkesan lambat. Tetapi Presiden Joko Widodo sudah membuat keputusan yang tepat serta menentramkan.

Sikap serupa tidak ditunjukkan oleh aktivis korupsi dan kelompok masyarakat sipil yang sejak awal mengawal KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Kekhawatiran memuncah. Era kegelapan pemberantasan korupsi sudah di depan, sayangnya banyak publik tidak sadar.

Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dibiarkan menjadi martir, kriminalisasi terhadap mereka sama sekali tidak disentuh Presiden.

Ketidaknyaman karyawan dan penyidik KPK tersirat mudah dilihat, mereka tahu persis rekam jejak tiga orang yang diangkat sebagai plt KPK oleh Presiden Joko Widodo tersebut, terutama dua nama yakni Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji. Keduanya diyakini tidak akan menguatkan tetapi justru melemahkan KPK.

Membaca kebijakan Presiden Joko Widodo berkaitan dengan silang sengkarut KPK-Polri, ingatan saya langsung kepada Perang Troya yang sangat terkenal dalam mitologi Yunani. Perang Troya berlangsung sepuluh tahun, antara pasukan Sparta dan Troya. Pertempuran bertahun-tahun ternyata belum bisa membuat pasukan Yunani mampu menjebol benteng Troya yang sangat kuat.
Pasukan Yunani depresi. Namun, Odysseus melahirkan ide brilian. Pasukan Yunani membangun sebuah kuda kayu raksasa yang diisi beberapa prajurit.
Pasukan Yunani kemudian meninggalkan kuda kayu itu kemudian berpura-pura pergi meninggalkan Troya. Pasukan Troya beranggapan pasukan Yunani mundur dan telah menyerah.

Pasukan Troya membawa kuda kayu ke dalam kota dan merayakan kemenangan. Malam harinya, ketika pesta kemenangan orang-orang Troya usai, dan tertidur lelap, para prajurit yang bersembunyi di dalam kuda keluar dan membuka gerbang Kota Troya sehingga pasukan Yunani dengan mudah masuk ke benteng. Pasukan Yunani dengan mudah menghancurkan Kota Troya.

Hari-hari ini, publik bisa melihat tontonan bagaimana Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki melalui pernyataan dan tindakannya bukan memperkuat KPK tetapi justru menegasikan dan memperlemah semangat juang perlawanan korupsi KPK. Seperti mempersilahkan kepolisian melanjutkan proses hukum terhadap penyidik KPK yang diduga memiliki senjata api tanpa izin, dan akan segera merekrut 50 penyidik baru untuk KPK dari kepolisian. Dan terakhir, mengalihkan kasus Budi Gunawan kepada kejaksaan dan Bareskrim.

Kuda Troya Presiden Joko Widodo sukses melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi. Publik tanpa sadar bergembira di awal ketika Presiden membatalkan Budi Gunawan sebagai kapolri, dan merasa menang. Sejatinya muslihat kuda troya diperankan dengan apik oleh sang Presiden. Era kegelapan pemberantasan korupsi justru dibawa oleh Presiden yang didukung oleh masyarakat sipil antikorupsi.

Nasi telah jadi bubur, dan publik Indonesia tidak boleh lelah mengingatkan Presiden Joko Widodo. Publik harus terus melawan, jangan biarkan karyawan-karyawan KPK di sana menjadi patriot perlawanan terhadap korupsi sendiri. Kita harus berjamaah melawan korupsi yang telah dilakukan secara berjamaah pula.. Karena masalah utama perlambatan pembangunan dan kesejahteraan Indonesia hari ini adalah korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar