Ahok,
DPRD, Etika, dan Prioritas
Bambang Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar,
Anggota Komisi III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2015
Membangun dan membenahi Jakarta atau menonton pertarungan
DPRD DKI versus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Jika kisruh
itu dipermanenkan hingga tahun 2017, Jakarta tidak bisa produktif dan sulit
mewujudkan suasana kondusif.
Warga Jakarta tentu lebih menginginkan Gubernur DKI dan
DPRD DKI fokus dan memprioritaskan pembangunan serta pembenahan kota yang
tampak sangat semrawut dewasa ini. Saat Gubernur DKI berperang kata-kata dan
saling tuduh dengan DPRD DKI, banyak ruas jalan di Ibu Kota berlubang dan
mengancam keselamatan pengendara motor.
Di sejumlah ruas jalan, lubang-lubang itu bahkan tak
tersentuh oleh kerja perbaikan jalan. Pada saat yang sama, warga Jakarta dan
sekitarnya juga diteror isu begal yang mengancam pengendara motor. Jumlah aksi
begal di wilayah DKI mungkin lebih rendah dibandingkan kota-kota penyangga.
Tapi rasa takut juga menyergap warga Ibu Kota. Dua masalah ini memerlukan
perhatian serius dan penanganan dari seluruh unsur dalam Musyawarah Pimpinan
Daerah (Muspida) DKI.
Di dalamnya ada Gubernur DKI, Ketua DPRD DKI, Kapolda
Metro Jaya, dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya. Beruntung bahwa untuk
mencegah aksi begal, Polda dan Pangdam Jaya berinisiatif melakukan operasi
guna menumbuhkan rasa aman bagi warga. Namun warga Ibu Kota tetap saja kecewa
karena Pemprov DKI seperti tak peduli dengan banyaknya ruas jalan yang rusak.
Faktor lain yang juga membuat warga Ibu Kota tidak nyaman
adalah kebisingan. Warga Jakarta sudah bosan dengan kebisingan yang rasanya
seperti tak berkesudahan. Sejak pemilihan presiden (pilpres) hingga periode
sengketa Pilpres 2014, kemudian berlanjut dengan kisruh Polri versus Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta nyaris tak pernah teduh dan tenang.
Ketika kebisingan akibat kisruh Polri versus KPK mulai
reda, justru Gubernur DKI dan DPRD DKI menyulut kebisingan baru. Sebagian
besar warga Jakarta benar-benar mulai muak menyaksikan berlarut-larutnya
disharmoni Gubernur DKI dan DPRD DKI. Muak karena dari aspek perilaku, baik
Gubernur DKI Jakarta maupun DPRD DKI sudah tidak punya etika lagi. Kedua kubu
tidak lagi memprioritaskan fungsi masing- masing sebagai pejabat publik di
Jakarta.
Publik melihat masing-masing ingin saling menjatuhkan.
Setiap hari, masing- masing melontarkan caci maki, saling hina dan saling
tuduh di ruang publik. Mereka tidak lagi menghargai dan menghormati harkat
dan martabatnya sebagai pejabat publik maupun sebagai pemimpin dan sosok
elite di Ibu Kota ini. Mereka menyulap dan menjadikan Jakarta sebagai
panggung untuk mempertontonkan rivalitas yang tak perlu.
Bukan fokus bekerja, mereka dilantik dan digaji untuk
sekadar berkelahi atau adu kuat. Untuk apa Jakarta memiliki gubernur dan DPRD
kalau dua instrumen kepemimpinan itu hanya fokus pada perang kata-kata,
saling ancam dan saling hina? Tentu saja perseteruan berkepanjangan antara
Gubernur DKI dan DPRD DKI menjadi contoh buruk tentang kepemimpinan dan tata
kelola Ibu Kota.
Jangan pernah ditiru. Persoalan bermuara pada penolakan
masing-masing terhadap pentingnya mengedepankan etika pejabat publik.
Sebagaimana bisa disimak selama ini, tak ada kesantunan dalam dialog terbuka
maupun ketika membuat dan mengeluarkan pernyataan.
Tak jarang pilihan kata-kata mereka sungguh tidak pantas.
Egois dan merasa paling benar sendiri. Orang lain selalu dan pasti salah.
Lebih parah lagi, senang menantang pihak lain, membuat pernyataan yang
bersifat mengancam, marah dan enggan untuk mengerti orang lain.
Disorientasi
Target Ahok yang ingin membenahi birokrasi dan tata kelola
Pemprov DKI memang patut diacungi jempol. Tapi gaya Ahok sebagaimana yang
dikenal selama ini belum tentu bisa diterima seluruh unsur di dalam birokrasi
Pemprov DKI. Tidak semua pegawai DKI bisa menerima jika diperlakukan sangat
keras dan kasarolehatasannya. Gaya yangdemikian belum tentu efektif untuk
mencapai target.
Dalam beberapa kesempatan, Ahok juga tampak kasar terhadap
DPRD DKI. Sikap yang demikian sudah barang tentu menimbulkan reaksi
perlawanan dari DPRD DKI. Sebaliknya DPRD DKI pun secara terbuka sering merendahkan
martabat Gubernur DKI. DPRD DKI memang wajib mengkritik atau mengecam
kebijakan Gubernur DKI. Tapi kritik dan kecaman itu tidak boleh mengurangi
penghormatan terhadap institusi kegubernuran DKI.
Tidak semua persoalan harus diobral ke ruang publik. Dalam
konteks etika pejabat publik, ada masalah yang bisa diselesaikan melalui
dialog dan lobi di ruang tertutup. Semangat inilah yang tampaknya tidak
dimiliki lagi oleh Gubernur DKI dan DPRD DKI saat ini. Idealnya, semua
masalah diketahui publik. Tapi, jika hanya menimbulkan keresahan atau
kebisingan, tetap saja publik yang dirugikan.
Kasus anggaran siluman di APBD DKI tahun 2015 tidak perlu
menimbulkan kebisingan jika Gubernur DKI dan pimpinan DPRD DKI mau berdialog
dan bersepakat mencoret proyek-proyek yang tidak tercantum dalam e-budgeting.
Tapi, kalau kemudian Kemendagri bisa menerima dua versi APBD DKI tahun 2015,
itu jadi pertanda bahwa tidak ada dialog dan Gubernur DKI serta DPRD DKI
memang sengaja memperuncing rivalitas di antara mereka.
Lantas, apa yang didapat warga Jakarta? Tak lain dari
kebisingan yang sesungguhnya tak perlu. Karena rivalitas itu terus
dikembangkan dan melebar tak keruan, Gubernur DKI dan DPRD DKI pun seperti
terjangkit virus disorientasi karena tak tahu lagi mana yang prioritas dalam
konteks membangun dan membenahi Jakarta. Masingmasing hanya fokus pada
pendirian tentang siapa salah-siapa benar.
Mereka lupa bahwa sesuai dengan jabatan dan fungsi
masing-masing, Gubernur DKI dan DPRD DKI harus memprioritaskan pembangunan
dan pembenahan kota serta pelayanan kepada warga Jakarta. Kisruh Gubernur DKI
dengan DPRD DKI yang terus berkembang mulai menimbulkan kegelisahan di
sebagian masyarakat. Kisruh di Jakarta ini seperti mengeskalasi disharmoni
yang terjadi antara Presiden Joko Widodo dengan sebagian kekuatan di DPR RI
selepas pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai
kapolri.
Di DPR ada upaya untuk mengegolkan pelaksanaan hak angket,
sementara DPRD DKI pun sedang berupaya memuluskan penggunaan hak angket
terkait dengan kontroversi APBD DKI tahun 2015. Penggunaan hak angket menjadi
opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan yang ditabrak
Gubernur DKI.
Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan
perundang-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2008, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2014, UU No 17 Tahun 2004, dan
UU No 17 Tahun 2003. Menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak
berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat
kelurahan sampai provinsi dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan
Daerah (Bappeda), melainkan dari hasil tim ahli (Tim 20) yang tidak kompeten
menurut aturan yang berlaku.
DPRD DKI pantas
marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh dibahas DPRD
DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD DKI.
Penggunaan hak angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena
perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke
dalam kasus hukum karena manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa
Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI.
DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar
diserahkan secara sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri atau
tanpa persetujuan DPRD DKI. Hak angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI
memiliki dasar dan alasan yang kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan
data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah selanjutnya yang akan ditempuh
legislatif berujung pada proses pemakzulan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar