Parpol
“Mengemis” APBN?
Ali Rif’an ; Research
Associate Poltracking,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 11 Maret 2015
WACANA yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
soal pendanaan partai politik (parpol) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) cukup mengagetkan. Di tengah semangat efisiensi untuk menekan
anggaran hajatan politik seperti tecermin dalam penyeragaman waktu pilkada,
gagasan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menuai
bias.
Tak tanggung-tanggung, setiap parpol diusulkan mendapat
suntikan dana dari APBN Rp 1 triliun tiap tahun. Jika misalnya ada sepuluh
parpol, dana yang dialokasikan dari APBN bisa mencapai Rp 10 triliun (Jawa
Pos, 9/3). Tak heran jika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid dalam
akun Twitter-nya berkomentar, ”Tjahjo Kumolo usul supaya partai dapat
anggaran Rp 1 triliun per tahun. NU dan Muhammadiyah juga perlu dapat
anggaran sebesar itu.”
Salah satu alasan pendanaan parpol melalui APBN adalah untuk
menekan angka korupsi pejabat publik dari parpol. Pasalnya, selama ini,
praktik yang terjadi, pendanaan parpol dibebankan kepada politisi yang telah
menjadi pejabat publik, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mereka
menjadi ”ATM” bagi parpol.
Dampaknya, karena harus menyetor ke kas partai, banyak di
antara politisi yang telah duduk di jabatan strategis berlomba-lomba memburu
rente dengan cara yang kadang menabrak aturan sehingga harus berurusan dengan
penegak hukum. Karena itulah, muncul istilah ”mafia anggaran” ataupun ”dana
siluman” dalam setiap pembahasan APBN/APBD.
Tak pelak, praktik semacam itu berkorelasi dengan data
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada September 2014 bahwa dalam rentang
2005–2014, setidaknya ada 3.169 anggota DPRD yang tersangkut korupsi.
Sebelumnya, pada Januari 2014, Kemendagri juga menyebutkan bahwa 318 kepala
daerah tersangkut korupsi.
Logika itulah yang kemudian digunakan Mendagri Tjahjo
Kumolo untuk mewacanakan bahwa sebaiknya pendanaan partai ditanggung negara.
Bila partai memiliki dana yang cukup, politisi yang telah menjadi pejabat
publik tak perlu repot-repot mengais uang dari APBN. Alasan itu sekilas
memang masuk akal. Tapi, didanainya parpol dari APBN tak menjamin praktik
korupsi oleh pejabat publik lenyap.
Sebab, dalam pandangan Richard S. Katz (2007), politisi
yang telah menjadi pejabat publik, selain bertanggung jawab memberikan iuran
untuk kas partai, juga mencari benteng untuk mampu merawat sekaligus
mempertahankan kekuasaan yang sudah digenggamnya. Tentu untuk mempertahankan
kekuasaan itu, seperti rencana maju lagi menjadi anggota DPRD ataupun kepala
daerah, dibutuhkan political cost
(biaya politik) yang tidak sedikit. Di situlah politisi akan tetap memburu
rente.
Kerena itu, di tengah minimnya transparansi keuangan
partai selama ini, suntikan dana Rp 1 triliun tiap tahun justru dapat
menimbulkan masalah. Uang tersebut mungkin saja hanya akan menjadi bancakan
elite-elite politik. Apalagi, ada kecenderungan pemilik saham partai-partai
saat ini tunggal dan kerap menjalankan politik dinasti.
Seperti diulas dalam Jati Diri Jawa Pos (9/3), sebenarnya
masih banyak pekerjaan rumah bagi parpol untuk memperbaiki citra sebelum
”mengemis” dana operasi dari APBN. Kader-kader yang terjerat korupsi,
perebutan kepengurusan, perpecahan internal, hingga politik dinasti masih
lekat dengan kehidupan parpol di tanah air. Pendek kata, potret parpol kita
masih mencerminkan perebutan kekuasaan yang tidak santun. Tentu dengan potret
demikian, masyarakat tidak akan rela menyerahkan triliunan rupiah uang dari
APBN untuk menghidupi lembaga politik semacam itu.
Apalagi, parpol-parpol selama ini belum berhasil memikat
rakyat. Masih terjadi alienasi antara parpol dan rakyat. Hal itu terlihat
dari hasil survei Poltracking 2013 bahwa hanya 19 persen rakyat Indonesia
yang merasa dekat dengan parpol. Sisanya, 81 persen, mengaku tidak memiliki
kedekatan dengan partai politik mana pun.
Bukan hanya itu, hasil survei itu juga menunjukkan bahwa
menurut pendapat publik, perbaikan yang harus dilakukan parpol antara lain
adalah membangun kepedulian dengan rakyat (46,1 persen), parpol harus bersih
(33 persen), parpol harus demokratis (9,9 persen), serta parpol harus terbuka
dan akuntabel (6,1 persen). Sisanya; yakni 4,6 persen; mengaku tidak tahu dan
tidak menjawab.
Untuk itu, gagasan pendanaan parpol oleh APBN harus dikaji
secara matang sebelum benar-benar dilaksanakan. Jika mudaratnya jauh lebih
besar ketimbang maslahatnya, sebaiknya gagasan tersebut tidak direalisasikan.
Sebab, selain akan memanjakan parpol, gagasan itu dapat mencederai hati
rakyat.
Di tengah rendahnya kinerja pejabat publik dari kalangan
parpol, tidak elok rasanya bila mereka justru mendapat suntikan dana. Begitu
pula di tengah gaduhnya atmosfer politik akibat konflik internal yang tak
kunjung selesai, suntikan dana sebesar itu rasa-rasanya tidak tepat. Biarkan
parpol memperbaiki citra masing-masing terlebih dahulu.
Bila memang terpaksa dana itu harus digelontorkan, harus
ada kriteria yang jelas parpol seperti apa yang berhak mendapat suntikan dari
kas negara tersebut. Hanya parpol-parpol yang mampu membangun kepedulian
dengan rakyat, bersih, demokratis, transparan, dan akuntabel yang berhak atas
sumbangan dari APBN. Itu pun harus melalui pengawasan yang superketat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar