Kamis, 12 Maret 2015

Parpol “Mengemis” APBN?

Parpol “Mengemis” APBN?

Ali Rif’an  ;  Research Associate Poltracking,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
JAWA POS, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

WACANA yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo soal pendanaan partai politik (parpol) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) cukup mengagetkan. Di tengah semangat efisiensi untuk menekan anggaran hajatan politik seperti tecermin dalam penyeragaman waktu pilkada, gagasan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menuai bias.

Tak tanggung-tanggung, setiap parpol diusulkan mendapat suntikan dana dari APBN Rp 1 triliun tiap tahun. Jika misalnya ada sepuluh parpol, dana yang dialokasikan dari APBN bisa mencapai Rp 10 triliun (Jawa Pos, 9/3). Tak heran jika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid dalam akun Twitter-nya berkomentar, ”Tjahjo Kumolo usul supaya partai dapat anggaran Rp 1 triliun per tahun. NU dan Muhammadiyah juga perlu dapat anggaran sebesar itu.”

Salah satu alasan pendanaan parpol melalui APBN adalah untuk menekan angka korupsi pejabat publik dari parpol. Pasalnya, selama ini, praktik yang terjadi, pendanaan parpol dibebankan kepada politisi yang telah menjadi pejabat publik, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mereka menjadi ”ATM” bagi parpol.

Dampaknya, karena harus menyetor ke kas partai, banyak di antara politisi yang telah duduk di jabatan strategis berlomba-lomba memburu rente dengan cara yang kadang menabrak aturan sehingga harus berurusan dengan penegak hukum. Karena itulah, muncul istilah ”mafia anggaran” ataupun ”dana siluman” dalam setiap pembahasan APBN/APBD.

Tak pelak, praktik semacam itu berkorelasi dengan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada September 2014 bahwa dalam rentang 2005–2014, setidaknya ada 3.169 anggota DPRD yang tersangkut korupsi. Sebelumnya, pada Januari 2014, Kemendagri juga menyebutkan bahwa 318 kepala daerah tersangkut korupsi.

Logika itulah yang kemudian digunakan Mendagri Tjahjo Kumolo untuk mewacanakan bahwa sebaiknya pendanaan partai ditanggung negara. Bila partai memiliki dana yang cukup, politisi yang telah menjadi pejabat publik tak perlu repot-repot mengais uang dari APBN. Alasan itu sekilas memang masuk akal. Tapi, didanainya parpol dari APBN tak menjamin praktik korupsi oleh pejabat publik lenyap.

Sebab, dalam pandangan Richard S. Katz (2007), politisi yang telah menjadi pejabat publik, selain bertanggung jawab memberikan iuran untuk kas partai, juga mencari benteng untuk mampu merawat sekaligus mempertahankan kekuasaan yang sudah digenggamnya. Tentu untuk mempertahankan kekuasaan itu, seperti rencana maju lagi menjadi anggota DPRD ataupun kepala daerah, dibutuhkan political cost (biaya politik) yang tidak sedikit. Di situlah politisi akan tetap memburu rente.

Kerena itu, di tengah minimnya transparansi keuangan partai selama ini, suntikan dana Rp 1 triliun tiap tahun justru dapat menimbulkan masalah. Uang tersebut mungkin saja hanya akan menjadi bancakan elite-elite politik. Apalagi, ada kecenderungan pemilik saham partai-partai saat ini tunggal dan kerap menjalankan politik dinasti.

Seperti diulas dalam Jati Diri Jawa Pos (9/3), sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah bagi parpol untuk memperbaiki citra sebelum ”mengemis” dana operasi dari APBN. Kader-kader yang terjerat korupsi, perebutan kepengurusan, perpecahan internal, hingga politik dinasti masih lekat dengan kehidupan parpol di tanah air. Pendek kata, potret parpol kita masih mencerminkan perebutan kekuasaan yang tidak santun. Tentu dengan potret demikian, masyarakat tidak akan rela menyerahkan triliunan rupiah uang dari APBN untuk menghidupi lembaga politik semacam itu.

Apalagi, parpol-parpol selama ini belum berhasil memikat rakyat. Masih terjadi alienasi antara parpol dan rakyat. Hal itu terlihat dari hasil survei Poltracking 2013 bahwa hanya 19 persen rakyat Indonesia yang merasa dekat dengan parpol. Sisanya, 81 persen, mengaku tidak memiliki kedekatan dengan partai politik mana pun.

Bukan hanya itu, hasil survei itu juga menunjukkan bahwa menurut pendapat publik, perbaikan yang harus dilakukan parpol antara lain adalah membangun kepedulian dengan rakyat (46,1 persen), parpol harus bersih (33 persen), parpol harus demokratis (9,9 persen), serta parpol harus terbuka dan akuntabel (6,1 persen). Sisanya; yakni 4,6 persen; mengaku tidak tahu dan tidak menjawab.

Untuk itu, gagasan pendanaan parpol oleh APBN harus dikaji secara matang sebelum benar-benar dilaksanakan. Jika mudaratnya jauh lebih besar ketimbang maslahatnya, sebaiknya gagasan tersebut tidak direalisasikan. Sebab, selain akan memanjakan parpol, gagasan itu dapat mencederai hati rakyat.

Di tengah rendahnya kinerja pejabat publik dari kalangan parpol, tidak elok rasanya bila mereka justru mendapat suntikan dana. Begitu pula di tengah gaduhnya atmosfer politik akibat konflik internal yang tak kunjung selesai, suntikan dana sebesar itu rasa-rasanya tidak tepat. Biarkan parpol memperbaiki citra masing-masing terlebih dahulu.

Bila memang terpaksa dana itu harus digelontorkan, harus ada kriteria yang jelas parpol seperti apa yang berhak mendapat suntikan dari kas negara tersebut. Hanya parpol-parpol yang mampu membangun kepedulian dengan rakyat, bersih, demokratis, transparan, dan akuntabel yang berhak atas sumbangan dari APBN. Itu pun harus melalui pengawasan yang superketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar