Human
Capital Indonesia
Moh Nasih ; Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis;
Wakil Rektor II Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 11 Maret 2015
MASYARAKAT Ekonomi ASEAN (MEA) mulai berjalan Januari
2015. Pelan-pelan pasar bebas ASEAN mulai berlangsung. Tidak ada lagi pasar
domestik. Yang justru segera kita jalani adalah pasar tunggal dan pasar bebas
ASEAN.
Dari segi jumlah, penduduk Indonesia memang paling besar
jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Ditambah bonus
demografi, jumlah penduduk usia produktif Indonesia tidak tertandingi.
Sayangnya, kualitas penduduk Indonesia belum sekelas
jumlahnya. Indeks human capital Indonesia baru di posisi 3,03 dari maksimal
nilai 9 yang mungkin diperoleh. Nilai tersebut cukup rendah untuk negara
Indonesia yang besar ini.
Dengan indeks human capital di posisi 3,03, Indonesia
tidak hanya masih sangat rendah. Jika dibandingkan dengan Filipina yang
mencapai 3,60 dan Malaysia yang mencapai 4,30 pun, human capital masih lebih
rendah. Jangan dibandingkan dengan Singapura yang human capital-nya sudah
mencapai 6,02. Jangan pula dibandingkan dengan Jepang yang indeks human
capital-nya sudah mencapai 6,21 atau dua kali lipat lebih indeks human
capital Indonesia.
Terkait Kondisi Sosial Ekonomi
Rendahnya indeks human capital Indonesia terkait erat
dengan kondisi sosial ekonomi bangsa. Memang, menurut Global Competitiveness Index Ranking 2014–2015, daya saing
Indonesia meningkat dari peringkat ke-38 (GCI 2013–2014) menjadi peringkat
ke-34 (GCI 2014–2015). Peningkatan daya saing itu memberikan kontribusi untuk
mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi 5,8 persen per tahun sejak 2004
(WEF, 2014).
Perekonomian Indonesia saat ini juga dipandang memiliki
daya tahan yang lebih baik sehingga mampu melewati gejolak keuangan global
seperti krisis keuangan 2008–2009.
Tetapi, menurut laporan World Bank (2014), masih terdapat
risiko yang disebabkan pertumbuhan yang tidak cukup inklusif. Yakni, manfaat
dan kesempatan yang tersedia tidak terdistribusi dengan merata kepada seluruh
penduduk Indonesia.
Mulai 1999 hingga 2012, tingkat kemiskinan memang
berkurang separo dari 24 persen menjadi 12 persen. Namun, pada 2012, sekitar
65 juta penduduk masih hidup di antara garis kemiskinan nasional dan 50
persen di atas garis itu. Bersama-sama dengan penduduk miskin, kelompok
tersebut masih sangat rentan terhadap peningkatan harga bahan pangan,
permasalahan kesehatan yang tak terduga, serta bencana alam.
Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian juga masih
rendah. Memindahkan pekerja dari sektor pertanian ke jasa tingkat rendah
(perdagangan ritel, kulakan, dan perorangan; jasa sosial; serta konstruksi)
secara rata-rata mengakibatkan peningkatan produktivitas dua kali lipat.
Pergerakan itu, pada dekade lalu, menjadi pendorong utama pengentasan
kemiskinan. Tujuh belas di antara 20 juta pekerjaan yang tercipta pada
2001–2011 berada di sektor jasa-jasa dan sebagian besar berada di sektor jasa
tingkat rendah.
Saat ini, lebih dari 50 persen bekerja di sektor pertanian
dan jasa tingkat rendah. Masalah lain yang kita hadapi adalah, pertama,
defisit neraca sejak triwulan IV 2011 hingga saat ini. Kedua, kinerja ekspor
masih bergantung pada komoditas berbasis sumber daya alam (tanpa tambahan
nilai) dengan komposisi 50 persen merupakan primary products dan 49 persen
manufacture products.
Ketiga, utang luar negeri swasta yang menggunung yang
hingga September 2014 mencapai angka USD 159,348 juta. Keempat, Indonesia
juga harus menghadapi berbagai tantangan global dan regional (megatrends). Misalnya, Komunitas
Ekonomi ASEAN (KEA/MEA) 2015. Selain itu, inovasi teknologi yang sangat
cepat; perlambatan ekonomi Tiongkok, Eropa, dan Jepang; serta pelemahan harga
komoditas.
Mempercepat Evolusi
Menghadapi tantangan yang amat berat itu, tidak ada jalan
lain, Indonesia harus terus-menerus melakukan evolusi yang dipercepat
terhadap pengembangan human capital.
Manusia adalah pusat pemecahan masalah. Human capital
adalah pemicu sekaligus navigator. Permasalahan yang ada tidak cukup dihadapi
secara konvensional sebagaimana yang selama ini telah dilakukan.
Jepang, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan telah
melakukan percepatan evolusi pengembangan human capital sekian puluh tahun
lalu. Korea Selatan, misalnya, pada 1950, adalah negara miskin. Gross
domestic product (GDP) per kapita pada akhir Perang Korea kurang dari USD
800.
Dalam waktu kurang dari 40 tahun, GDP per kapita Korea
Selatan meningkat hampir sepuluh kali menjadi USD 7.235. Keberhasilan ekonomi
Korea Selatan dapat diraih berkat tersedianya tenaga kerja terdidik dan
mempunyai kompetensi sehingga meningkatkan produktivitas.
Indonesia dapat melakukan langkah yang kurang lebih sama.
Beberapa langkah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah, pertama,
memberikan perhatian serius terhadap pembangunan pendidikan dengan
meningkatkan public expenditure on education yang masih rendah.
Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
program pendidikan dan pelatihan untuk memperoleh tenaga kerja terdidik atau
skilled labor serta employee training yang memadai, baik jumlah maupun
kualitas; berkompeten; dan mempunyai daya saing tinggi.
Ketiga, mendorong inovasi dan pengembangan teknologi
melalui penyediaan dana serta anggaran yang cukup bagi kegiatan research and
development (R&D), khususnya R&D yang menghasilkan teknologi maupun
produk yang bernilai ekonomis. Termasuk, pemerintah bersedia membeli
teknologi yang dihasilkan untuk disebarluaskan penggunaannya kepada
masyarakat. Lantas, membeli dan memproduksi produk-produk baru hasil penelitian.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar