Kamis, 12 Maret 2015

Human Capital Indonesia

Human Capital Indonesia

Moh Nasih  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis;
Wakil Rektor II Universitas Airlangga
JAWA POS, 11 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

MASYARAKAT Ekonomi ASEAN (MEA) mulai berjalan Januari 2015. Pelan-pelan pasar bebas ASEAN mulai berlangsung. Tidak ada lagi pasar domestik. Yang justru segera kita jalani adalah pasar tunggal dan pasar bebas ASEAN.

Dari segi jumlah, penduduk Indonesia memang paling besar jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Ditambah bonus demografi, jumlah penduduk usia produktif Indonesia tidak tertandingi.

Sayangnya, kualitas penduduk Indonesia belum sekelas jumlahnya. Indeks human capital Indonesia baru di posisi 3,03 dari maksimal nilai 9 yang mungkin diperoleh. Nilai tersebut cukup rendah untuk negara Indonesia yang besar ini.

Dengan indeks human capital di posisi 3,03, Indonesia tidak hanya masih sangat rendah. Jika dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 3,60 dan Malaysia yang mencapai 4,30 pun, human capital masih lebih rendah. Jangan dibandingkan dengan Singapura yang human capital-nya sudah mencapai 6,02. Jangan pula dibandingkan dengan Jepang yang indeks human capital-nya sudah mencapai 6,21 atau dua kali lipat lebih indeks human capital Indonesia.

Terkait Kondisi Sosial Ekonomi

Rendahnya indeks human capital Indonesia terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi bangsa. Memang, menurut Global Competitiveness Index Ranking 2014–2015, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke-38 (GCI 2013–2014) menjadi peringkat ke-34 (GCI 2014–2015). Peningkatan daya saing itu memberikan kontribusi untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi 5,8 persen per tahun sejak 2004 (WEF, 2014).

Perekonomian Indonesia saat ini juga dipandang memiliki daya tahan yang lebih baik sehingga mampu melewati gejolak keuangan global seperti krisis keuangan 2008–2009.

Tetapi, menurut laporan World Bank (2014), masih terdapat risiko yang disebabkan pertumbuhan yang tidak cukup inklusif. Yakni, manfaat dan kesempatan yang tersedia tidak terdistribusi dengan merata kepada seluruh penduduk Indonesia.

Mulai 1999 hingga 2012, tingkat kemiskinan memang berkurang separo dari 24 persen menjadi 12 persen. Namun, pada 2012, sekitar 65 juta penduduk masih hidup di antara garis kemiskinan nasional dan 50 persen di atas garis itu. Bersama-sama dengan penduduk miskin, kelompok tersebut masih sangat rentan terhadap peningkatan harga bahan pangan, permasalahan kesehatan yang tak terduga, serta bencana alam.

Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian juga masih rendah. Memindahkan pekerja dari sektor pertanian ke jasa tingkat rendah (perdagangan ritel, kulakan, dan perorangan; jasa sosial; serta konstruksi) secara rata-rata mengakibatkan peningkatan produktivitas dua kali lipat. Pergerakan itu, pada dekade lalu, menjadi pendorong utama pengentasan kemiskinan. Tujuh belas di antara 20 juta pekerjaan yang tercipta pada 2001–2011 berada di sektor jasa-jasa dan sebagian besar berada di sektor jasa tingkat rendah.

Saat ini, lebih dari 50 persen bekerja di sektor pertanian dan jasa tingkat rendah. Masalah lain yang kita hadapi adalah, pertama, defisit neraca sejak triwulan IV 2011 hingga saat ini. Kedua, kinerja ekspor masih bergantung pada komoditas berbasis sumber daya alam (tanpa tambahan nilai) dengan komposisi 50 persen merupakan primary products dan 49 persen manufacture products.

Ketiga, utang luar negeri swasta yang menggunung yang hingga September 2014 mencapai angka USD 159,348 juta. Keempat, Indonesia juga harus menghadapi berbagai tantangan global dan regional (megatrends). Misalnya, Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA/MEA) 2015. Selain itu, inovasi teknologi yang sangat cepat; perlambatan ekonomi Tiongkok, Eropa, dan Jepang; serta pelemahan harga komoditas.

Mempercepat Evolusi

Menghadapi tantangan yang amat berat itu, tidak ada jalan lain, Indonesia harus terus-menerus melakukan evolusi yang dipercepat terhadap pengembangan human capital.

Manusia adalah pusat pemecahan masalah. Human capital adalah pemicu sekaligus navigator. Permasalahan yang ada tidak cukup dihadapi secara konvensional sebagaimana yang selama ini telah dilakukan.

Jepang, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan telah melakukan percepatan evolusi pengembangan human capital sekian puluh tahun lalu. Korea Selatan, misalnya, pada 1950, adalah negara miskin. Gross domestic product (GDP) per kapita pada akhir Perang Korea kurang dari USD 800.

Dalam waktu kurang dari 40 tahun, GDP per kapita Korea Selatan meningkat hampir sepuluh kali menjadi USD 7.235. Keberhasilan ekonomi Korea Selatan dapat diraih berkat tersedianya tenaga kerja terdidik dan mempunyai kompetensi sehingga meningkatkan produktivitas.

Indonesia dapat melakukan langkah yang kurang lebih sama. Beberapa langkah yang perlu mendapat perhatian lebih adalah, pertama, memberikan perhatian serius terhadap pembangunan pendidikan dengan meningkatkan public expenditure on education yang masih rendah.

Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan untuk memperoleh tenaga kerja terdidik atau skilled labor serta employee training yang memadai, baik jumlah maupun kualitas; berkompeten; dan mempunyai daya saing tinggi.

Ketiga, mendorong inovasi dan pengembangan teknologi melalui penyediaan dana serta anggaran yang cukup bagi kegiatan research and development (R&D), khususnya R&D yang menghasilkan teknologi maupun produk yang bernilai ekonomis. Termasuk, pemerintah bersedia membeli teknologi yang dihasilkan untuk disebarluaskan penggunaannya kepada masyarakat. Lantas, membeli dan memproduksi produk-produk baru hasil penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar