Rabu, 18 Maret 2015

Parpol di Kemenkumham

Parpol di Kemenkumham

Margarito Kamis  ;  Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar FH, Universitas Khairun Ternate
KORAN SINDO, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Belum cukup 24 jam Yasonna Laoly menjadi menteri hukum dan HAM, Indonesia terguncang. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari dua kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang bersengketa diakui keabsahannya. Kini, Indonesia terguncang lagi dengan sebab yang sama. Kepengurusan Partai Golkar (PG) yang sedang bersengketa, justru salah satunya diakui keabsahannya oleh kementerian ini.

Apakah ini menjadi tabiat dasar kementerian ini atau pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), terus terang belum bisa disimpulkan secara definitif. Tetapi ini adalah sebuah perkara besar, karena nihilnya derajat koherensi konstitusionalisme.

Konstitusionalisme bukan perkara menang atau kalah, tetapi perkara pijakan hukum, berbasis nilai filosofi, yang dalam kasus Indonesia bersumber dari pembukaan UUD 1945. Soal ini, kalau dilukai, di mana pun, menghasilkan selain kehidupan bar-bar, juga otoriter.

Babak Otoriter

Merindukan demokrasi, bukan saja karena demokrasi itu menjanjikan pengakuan terhadap otonomi setiap orang sebagai makhluk mulia, dan merdeka, tetapi lebih dari itu. Dalam demokrasi, otonomi setiap orang terjanjikan eksistensinya, dan menjadi prasyarat harkat dan martabatnya setiap orang sebagai insan mulia terjamin pula eksistensinya.

Boleh jadi karena itulah, sehingga kecemasan George Washington dan John Adam, presiden pertama dan kedua Amerika itu terhadap efek buruk partai politik, tak cukup ampuh menahan gairah berpartai politik.

Tetapi boleh jadi juga, politik aliran telah muncul sejak, ambil misalnya saat George Washington dipilih menjadi presiden, sehingga Thomas Jefferson dan James Madison bergairah menghendaki berdirinya partai politik.

Dalam kasus Indonesia, Bung Syahrir jelas tidak mau republik yang masih mudah kala itu dicap fasis oleh sekutu. Cap fasis itu dalam keyakinannya hanya bisa ditiadakan bila dimungkinkan berdirinya partai-partai politik. Keyakinan itu diamini Bung Hatta. Itulah sekelumit kisah lahirnya partai politik di Republik Indonesia, yang kala itu masih berusia tidak lebih dari tiga bulan.

Itu sebabnya, kala Masyumi, sebuah partai politik yang dikenali Daniel S Lev, indonesianis hebat ini, sebagai partai dengan gairah konstitusionalisme tak tertandingi pada masanya dipalu-godamkan oleh rezim lama, ditangisi. Bukan sekadar sebagai kebangkrutan demokrasi dan kematian konstitusionalisme paling mengenaskan, tetapi lebih dari itu, peristiwa itu mengawali terkonsolidasinya demokrasi terpimpin, demokrasi bertuan penguasa.

Orde ini pun bangkrut pada 1966. Menariknya, Masyumi tak diberi hak hidup lagi, dan partai baru yang hendak didirikan Bung Hatta pun tak direstui penguasa baru ini. Mencengangkan, bermaksud mulia untuk menghidupkan konstitusionalisme, dengan cara melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen, ternyata berbelok.

Parmusi yang berkongres di Malang, dan telah menetapkan Moh Roem sebagai ketua umumnya, justru ditolak penguasa. Alasannya sederhana, Roem adalah salah satu eksponen hebat Masyumi. Konstitusionalisme terpimpin, untuk tak mengatakan feodal, masih terus berlanjut.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam kongresnya di Medan, yang berhasil menetapkan Megawati Soekarno Putri, anak Bung Karno sebagai ketua umumnya, ditolak penguasa. Caranya pun mengerikan untuk ukuran demokrasi, tetapi sah untuk ukuran rezim otoriter. Lahirlah PDI Perjuangan (PDIP), yang berhasil menugaskan kadernya menjadi presiden saat ini, dan salah satu kadernya diangkat memangku jabatan menteri hukum dan HAM.

Hentikan

Pasti bukan merupakan kelanjutan logis konstitusionalisme feodal, terpimpin khas orde lama, dan sukasuka, acak-kadul khas Orde Baru, sedang dihidupkan eksistensinya saat ini. Tetapi keadaan yang dialami PPP dan PG saat ini, menandai sebuah gerak naik nalar konstitusionalisme terpimpin dan otoriter itu.

Nalar ini pendek, tak bening, tentu tak logis. Nalar hukum otoriter memang tak mungkin mengenal maksud pembuat putusan. Pada halaman 133 Putusan Mahkamah Partai Golkar, dinyatakan ”5 Amar Putusan” Mengadili, dalam eksepsi; menerima eksepsi para Termohon dalam Perkara Nomor 02/PI-Golkatr/ II/2015 untuk sebagian.

Menyatakan permohonan para pemohon dalam perkara Nomor 02/PI-Golkar/II/2015 tidak dapat diterima. Dalam pokok perkara permohonan majelis Mahkamah Partai Golkar, amarnya berisi penegasan; oleh karena terdapat pendapat berbeda di antara anggota Majelis Mahkamah terhadap Pokok Permohonan, sehingga tidak tercapai kesatuan pendapat di dalam menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua Munas Partai Golkar IX.

Pendapat berbeda dimaksud masing-masing adalah Muladi dan HAS Natabaya mempunyai pendapat sebagai berikut. Inti pendapat keduanya mengakui tindakan yang diambil Aburizal Bakrie dan Idrus Marham menyelesaikan sengketa ini di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Tegas dinyatakan bahwa tindakan keduanya sesuai rekomendasi Mahkamah Partai tanggal 23 Desember 2014. Dalam amar ini juga, keduanya merekomendasikan empat hal. Setelah pendapat keduanya, barulah diuraikan pendapat dua anggota majelis lainnya.

Dalam kata-katanya sesudah pendapat Muladi dan HAS Natabaya dinyatakan pendapat berikutnya anggota Majelis Mahkamah Partai atas nama Djasri Marin dan Andi Mattalatta adalah sebagai berikut. Diuraikanlah pendapat keduanya. Pada akhir pendapat keduanya, dinyatakan (1) mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan seterusnya. (2) Meminta Mahkamah Partai memantau proses konsolidasi tersebut sampai tuntas pada Oktober 2016.

Bagaimana membaca amar itu? Sengketa keabsahan dua kongres yang berbeda tidak diputuskan hukumnya. Akibat hukumnya keadaan hukum semula— adanya sengketa&—tidak berubah. Sengketa jelas belum berakhir, karena tidak diputuskan hukumnya oleh Mahkamah Partai Golkar.

Sungguh tragis, Kemenkumham melalui suratnya Nomor M.HH.II.03-26, berperihal penjelasan tanggal 10 Maret 2015 meminta salah satu pihak yang bersengketa membentuk kepengurusan, dan melaporkannya kepada kementerian ini. Nalar surat itu menempatkan Kemenkumham sebagai atasan parpol, sekaligus pemerintahan sebagai pengurus partai.

Ikut mengatur kehidupan rumah tangga partai adalah ciri cara berpemerintahan khas negara otoriter. Kecuali dari tuhan, tidak ada satu pun ayat atau huruf dalam pasal 32 dan 33 dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol memberi kewenangan itu kepada menteri meminta pengurus partai menyusun kepengurusan dan melaporkannya kepada menteri.

Menyalahgunakan kewenangan, bahkan sewenang-wenang adalah kualifikasi paling tepat atas tindakan itu. Kesewenang-wenangan adalah perkara paling mengerikan dalam negara hukum demokratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar