Parpol
di Kemenkumham
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar FH, Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 17 Maret 2015
Belum
cukup 24 jam Yasonna Laoly menjadi menteri hukum dan HAM, Indonesia
terguncang. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari dua kepengurusan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang bersengketa diakui keabsahannya.
Kini, Indonesia terguncang lagi dengan sebab yang sama. Kepengurusan Partai
Golkar (PG) yang sedang bersengketa, justru salah satunya diakui keabsahannya
oleh kementerian ini.
Apakah
ini menjadi tabiat dasar kementerian ini atau pemerintah Presiden Joko Widodo
(Jokowi), terus terang belum bisa disimpulkan secara definitif. Tetapi ini
adalah sebuah perkara besar, karena nihilnya derajat koherensi
konstitusionalisme.
Konstitusionalisme
bukan perkara menang atau kalah, tetapi perkara pijakan hukum, berbasis nilai
filosofi, yang dalam kasus Indonesia bersumber dari pembukaan UUD 1945. Soal
ini, kalau dilukai, di mana pun, menghasilkan selain kehidupan bar-bar, juga
otoriter.
Babak Otoriter
Merindukan
demokrasi, bukan saja karena demokrasi itu menjanjikan pengakuan terhadap
otonomi setiap orang sebagai makhluk mulia, dan merdeka, tetapi lebih dari
itu. Dalam demokrasi, otonomi setiap orang terjanjikan eksistensinya, dan
menjadi prasyarat harkat dan martabatnya setiap orang sebagai insan mulia
terjamin pula eksistensinya.
Boleh
jadi karena itulah, sehingga kecemasan George Washington dan John Adam,
presiden pertama dan kedua Amerika itu terhadap efek buruk partai politik,
tak cukup ampuh menahan gairah berpartai politik.
Tetapi
boleh jadi juga, politik aliran telah muncul sejak, ambil misalnya saat
George Washington dipilih menjadi presiden, sehingga Thomas Jefferson dan
James Madison bergairah menghendaki berdirinya partai politik.
Dalam
kasus Indonesia, Bung Syahrir jelas tidak mau republik yang masih mudah kala
itu dicap fasis oleh sekutu. Cap fasis itu dalam keyakinannya hanya bisa
ditiadakan bila dimungkinkan berdirinya partai-partai politik. Keyakinan itu
diamini Bung Hatta. Itulah sekelumit kisah lahirnya partai politik di
Republik Indonesia, yang kala itu masih berusia tidak lebih dari tiga bulan.
Itu
sebabnya, kala Masyumi, sebuah partai politik yang dikenali Daniel S Lev,
indonesianis hebat ini, sebagai partai dengan gairah konstitusionalisme tak
tertandingi pada masanya dipalu-godamkan oleh rezim lama, ditangisi. Bukan
sekadar sebagai kebangkrutan demokrasi dan kematian konstitusionalisme paling
mengenaskan, tetapi lebih dari itu, peristiwa itu mengawali terkonsolidasinya
demokrasi terpimpin, demokrasi bertuan penguasa.
Orde
ini pun bangkrut pada 1966. Menariknya, Masyumi tak diberi hak hidup lagi,
dan partai baru yang hendak didirikan Bung Hatta pun tak direstui penguasa
baru ini. Mencengangkan, bermaksud mulia untuk menghidupkan
konstitusionalisme, dengan cara melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen,
ternyata berbelok.
Parmusi
yang berkongres di Malang, dan telah menetapkan Moh Roem sebagai ketua
umumnya, justru ditolak penguasa. Alasannya sederhana, Roem adalah salah satu
eksponen hebat Masyumi. Konstitusionalisme terpimpin, untuk tak mengatakan
feodal, masih terus berlanjut.
Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam kongresnya di Medan, yang berhasil menetapkan
Megawati Soekarno Putri, anak Bung Karno sebagai ketua umumnya, ditolak
penguasa. Caranya pun mengerikan untuk ukuran demokrasi, tetapi sah untuk
ukuran rezim otoriter. Lahirlah PDI Perjuangan (PDIP), yang berhasil
menugaskan kadernya menjadi presiden saat ini, dan salah satu kadernya
diangkat memangku jabatan menteri hukum dan HAM.
Hentikan
Pasti
bukan merupakan kelanjutan logis konstitusionalisme feodal, terpimpin khas
orde lama, dan sukasuka, acak-kadul khas Orde Baru, sedang dihidupkan
eksistensinya saat ini. Tetapi keadaan yang dialami PPP dan PG saat ini,
menandai sebuah gerak naik nalar konstitusionalisme terpimpin dan otoriter
itu.
Nalar
ini pendek, tak bening, tentu tak logis. Nalar hukum otoriter memang tak
mungkin mengenal maksud pembuat putusan. Pada halaman 133 Putusan Mahkamah
Partai Golkar, dinyatakan ”5 Amar Putusan” Mengadili, dalam eksepsi; menerima
eksepsi para Termohon dalam Perkara Nomor 02/PI-Golkatr/ II/2015 untuk
sebagian.
Menyatakan
permohonan para pemohon dalam perkara Nomor 02/PI-Golkar/II/2015 tidak dapat
diterima. Dalam pokok perkara permohonan majelis Mahkamah Partai Golkar,
amarnya berisi penegasan; oleh karena terdapat pendapat berbeda di antara
anggota Majelis Mahkamah terhadap Pokok Permohonan, sehingga tidak tercapai
kesatuan pendapat di dalam menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua
Munas Partai Golkar IX.
Pendapat
berbeda dimaksud masing-masing adalah Muladi dan HAS Natabaya mempunyai
pendapat sebagai berikut. Inti pendapat keduanya mengakui tindakan yang
diambil Aburizal Bakrie dan Idrus Marham menyelesaikan sengketa ini di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Tegas
dinyatakan bahwa tindakan keduanya sesuai rekomendasi Mahkamah Partai tanggal
23 Desember 2014. Dalam amar ini juga, keduanya merekomendasikan empat hal.
Setelah pendapat keduanya, barulah diuraikan pendapat dua anggota majelis
lainnya.
Dalam
kata-katanya sesudah pendapat Muladi dan HAS Natabaya dinyatakan pendapat
berikutnya anggota Majelis Mahkamah Partai atas nama Djasri Marin dan Andi
Mattalatta adalah sebagai berikut. Diuraikanlah pendapat keduanya. Pada akhir
pendapat keduanya, dinyatakan (1) mengabulkan permohonan pemohon untuk
sebagian dan seterusnya. (2) Meminta Mahkamah Partai memantau proses
konsolidasi tersebut sampai tuntas pada Oktober 2016.
Bagaimana
membaca amar itu? Sengketa keabsahan dua kongres yang berbeda tidak diputuskan
hukumnya. Akibat hukumnya keadaan hukum semula— adanya sengketa&—tidak berubah. Sengketa jelas belum
berakhir, karena tidak diputuskan hukumnya oleh Mahkamah Partai Golkar.
Sungguh tragis, Kemenkumham melalui suratnya Nomor
M.HH.II.03-26, berperihal penjelasan tanggal 10 Maret 2015 meminta salah satu
pihak yang bersengketa membentuk kepengurusan, dan melaporkannya kepada
kementerian ini. Nalar surat itu menempatkan Kemenkumham sebagai atasan
parpol, sekaligus pemerintahan sebagai pengurus partai.
Ikut mengatur
kehidupan rumah tangga partai adalah ciri cara berpemerintahan khas negara
otoriter. Kecuali dari tuhan, tidak ada satu pun ayat atau huruf dalam pasal
32 dan 33 dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008
tentang Parpol memberi kewenangan itu kepada menteri meminta pengurus partai
menyusun kepengurusan dan melaporkannya kepada menteri.
Menyalahgunakan
kewenangan, bahkan sewenang-wenang adalah kualifikasi paling tepat atas
tindakan itu. Kesewenang-wenangan adalah perkara paling mengerikan dalam
negara hukum demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar