Krisis
Mental di Negeri Para Begal
Handi Sapta Mukti ; Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah
Sosial & Lingkungan
|
KORAN
SINDO, 17 Maret 2015
Kata
”begal” tampak sangat populer dalam beberapa bulan belakangan ini. Entah dari
mana munculnya tiba-tiba para begal merajalela hampir di seluruh penjuru kota
dan bahkan hingga ke penjuru negeri.
Para
begal ini kebanyakan mengincar pengendara sepeda motor sebagai targetnya,
mereka beroperasi siang dan malam hari. Mereka tidak segan-segan melukai,
bahkan membunuh korbannya dalam menjalankan aksinya. Tindakan mereka yang
sudah di luar batas telah memancing amarah masyarakat karena minimnya aparat
atau terlambatnya kedatangan aparat pada suatu kejadian menjadikan para begal
meregang nyawa di tangan masyarakat yang menangkapnya, ada yang dibakar
hidup- hidup, ada pula yang dikeroyok hingga tewas.
Itulah
hukum sosial yang harus diterima para begal yang memang sudah sangat
keterlaluan itu. Fakta yang cukup mengejutkan adalah sebagian dari begal atau
sering diplesetkan sebagai berandalan galau ini ternyata masih berusia
belasan tahun dan masih dalam usia sekolah, sungguh memprihatinkan.
Fenomena
begal ini sebenarnya merupakan hal yang sangat lumrah terjadi karena telah
lama para pemimpin negeri ini juga mempertontonkan tindakan dan mentalitas
begal. Coba saja lihat para koruptor itu, bukankah tindakan mereka yang
merampas uang negara bisa dikatakan sebagai begal? Mereka mempermainkan uang
negara melalui manipulasi anggaran dan proyek.
Jadi
sangat tepat kalau mereka disebut sebagai begal anggaran dan begal proyek. Di
aparat penegak hukum banyak sekali begal kasus, ada begal keamanan, begal
perizinan, dan belakangan muncul juga begal politik atau salah satu sahabat
saya menyebutnya sebagai begal demokrasi. Ini khususnya terkait dengan dua
kasus terakhir yang menimpa partai berlambang Kakbah dan beringin.
Para
tokoh di dua partai tersebut terlihat saling membegal antara satu dan lainnya
demi membela kepentingan kelompoknya tanpa memperhatikan dan bahkan tidak
malu dengan konstituen dan pendukungnya. Jika pemimpin suatu partai saja
mempunyai mentalitas begal, siapa pula rakyat yang mau memilihnya? Mungkin
para begal juga yang akan menjadi pendukungnya.
Seperti
tidak mau ketinggalan, begal-membegal pun terjadi antarlembaga dan aparat
pemerintah, ada saling begal antara kepolisian dan KPK, juga antara DPRD dan
pemerintah daerah. Yang muda sudah tidak punya rasa hormat kepada yang tua,
yang tua juga sudah tidak bisa bersikap bijaksana, dan yang berpendidikan
sudah tidak lagi menunjukkan intelektualitasnya.
Inilah
yang disebut sebagai kelompok begal kerah putih karena penampilan mereka
lebih keren dan intelek dibanding begal motor. Jika begal jalanan
dikejar-kejar aparat keamanan untuk dihukum dan ditindak bahkan sebagian
tewas dihakimi massa, begal kerah putih pun dikejar, namun tidak untuk
ditindak dan dihukum, melainkan untuk diajak bernegosiasi sebelum kasusnya
dibuka untuk diproses.
Maklum
para begal kerah putih ini bukan membegal satu atau dua motor yang harganya
jutaan rupiah, tetapi mereka membegal keuangan negara yang nilainya bisa
puluhan hingga ratusan miliar rupiah sehingga cukup menggiurkan bagi para begal
kasus yang ada di lembaga penegak hukum dan keamanan untuk mendapatkan bagian
dari hasil begal mereka.
Maka
itu, bertemulah para begal untuk berundingdanbernegosiasiagar suatu kasus
dapat diatur dan hasilnya bisa meringankan. Sungguh memprihatinkan hidup di
negara begal, bahkan kita pun secara sadar atau tidak harus mengikuti aturan
main para begal.
Yang
menentang arus dianggap gila dan tidak sopan karena begal di negeri para
begal mempunyai sikap yang ramah dan beretika pada penampakan luarnya dan
mereka dicintai sebagian rakyatnya. Mereka dengan mudah memutar balikan fakta
dengan hukum dan perundang-undangan yang mereka kuasai untuk kepentingan
mereka sendiri.
Dalam
istilah asing ada istilah ”children
see, children do”, artinya anak-anak akan selalu melihat kemudian
mencontoh dan menirukan segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya. Kalau
dalam peribahasa Indonesia, air hujan jatuhnya di pelimbahan juga, artinya
tidak akan ke mana-mana, bagaimana orang tua itulah anaknya, bagaimana
pemimpinnya akan seperti itulah rakyat dan pengikutnya.
Sangat
sederhana, apalagi hal seperti itu sudah berlangsung lama, berulang hingga
menjadi suatu kebiasaan dan bahkan menjadi budaya. Jadi, tidaklah aneh jika
para pemimpin sudah tidak punya rasa malu untuk korupsi, saling serang dan
saling begal, serta semuanya ditonton secara terbuka oleh rakyat melalui
berbagai media hingga menjadi contoh dan pembenaran untuk dilakukan oleh
mereka di tingkat akar rumput.
Mental
begal pun akan berkembang secara masif menjalar ke seluruh pelosok negeri. Dengan
begitu, muncullah begal-begal motor yang marak belakangan ini, budaya
perkelahian pelajar, mahasiswa, antarkampung, preman pasar, dan sebagainya.
Semua cerminan dari tindakan dan perilaku dari pemimpin itu sendiri. Inilah
krisis mental di negeri begal.
Lalu,
siapa yang bertanggung jawab untuk menghentikan ini semua dan bagaimana
caranya? Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi sebenarnya sangat
menjanjikan. Hanya, apakah mental dapat dengan cepat diubah atau direvolusi?
Seperti apa bentuk nyata dari program revolusi mental itu? Sampai saat ini
masih belum jelas, demikian pula dengan lembaga mana yang bertanggung jawab
untuk melaksanakannya.
Mentalitas
secara umum didefinisikan sebagai suatu cara berpikir yang menjadi landasan
untuk bertindak atau bisa disebut karakter (way of thinking, mental inclination or character). Schein seorang
ahli budaya organisasi dan kepemimpinan menyebutkan ada tiga tingkatan budaya,
dimulai dari tingkat yang paling dasar adalah 1) underlying assumption; 2) beliefs
& values; dan 3) artefact.
Underlying
assumption adalah merupakan sumber dari segala sistem nilai yang dianggap
benar dan menjadi landasan dari setiap tindakan yang kemudian keluar dalam
bentuk karakter (artefact).
Karakter sendiri merupakan bagian dari budaya yang terbentuk melalui proses
yang panjang, dimulai dari kebiasaan kemudian menjadi adat istiadat dan
budaya yang akhirnya menjadi sistem nilai yang melekat pada satu kelompok
masyarakat atau bangsa.
Sistem
nilai inilah yang kemudian membentuk karakter yang mencerminkan mentalitas
dari bangsa tersebut. Menjawab pertanyaan di atas, untuk mengubah mental
secara revolusioner harus dilakukan melalui langkah yang ekstrem pula.
Pertama, melalui penegakan hukum yang tegas dan keras, tidak pandang bulu,
dan menyeluruh atas segala bentuk pelanggaran di masyarakat.
Kedua,
semua lembaga penegakan hukum harus dibersihkan dan diperkuat dengan cara
memilih pimpinan yang profesional dan berintegritas tinggi di semua lembaga
tersebut (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, KPK, MK, dan MA).
Ketiga,
untuk semua pemimpin yang ada di negeri ini, coba renungkan dan laksanakan
kembali falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang menjadi warisan luhur budaya
bangsa ini yaitu ing ngarso sung
tulodo-ing madyo mangun karso-tut wuri handayani karena sebagai pemimpin
adalah yang menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi rakyat yang Anda
pimpin, jadi tunjukanlah bahwa Anda memang seorang pemimpin yang layak untuk
dijadikan teladan.
Keempat,
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus bekerja sama membuat
program membangun mental dan karakter bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai
Pancasila yang religius sebagai kepribadian bangsa. Kelima, revolusi mental
harus dimulai dari atas dan bukan dari bawah.
Keenam
, Presiden harus memimpin langsung program tersebut. Ketujuh, lakukan
sekarang juga. Semoga negeri ini segera terbebas dari belenggu para begal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar