Rabu, 18 Maret 2015

Krisis Mental di Negeri Para Begal

Krisis Mental di Negeri Para Begal

Handi Sapta Mukti  ;  Praktisi Manajemen, Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
KORAN SINDO, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Kata ”begal” tampak sangat populer dalam beberapa bulan belakangan ini. Entah dari mana munculnya tiba-tiba para begal merajalela hampir di seluruh penjuru kota dan bahkan hingga ke penjuru negeri.

Para begal ini kebanyakan mengincar pengendara sepeda motor sebagai targetnya, mereka beroperasi siang dan malam hari. Mereka tidak segan-segan melukai, bahkan membunuh korbannya dalam menjalankan aksinya. Tindakan mereka yang sudah di luar batas telah memancing amarah masyarakat karena minimnya aparat atau terlambatnya kedatangan aparat pada suatu kejadian menjadikan para begal meregang nyawa di tangan masyarakat yang menangkapnya, ada yang dibakar hidup- hidup, ada pula yang dikeroyok hingga tewas.

Itulah hukum sosial yang harus diterima para begal yang memang sudah sangat keterlaluan itu. Fakta yang cukup mengejutkan adalah sebagian dari begal atau sering diplesetkan sebagai berandalan galau ini ternyata masih berusia belasan tahun dan masih dalam usia sekolah, sungguh memprihatinkan.

Fenomena begal ini sebenarnya merupakan hal yang sangat lumrah terjadi karena telah lama para pemimpin negeri ini juga mempertontonkan tindakan dan mentalitas begal. Coba saja lihat para koruptor itu, bukankah tindakan mereka yang merampas uang negara bisa dikatakan sebagai begal? Mereka mempermainkan uang negara melalui manipulasi anggaran dan proyek.

Jadi sangat tepat kalau mereka disebut sebagai begal anggaran dan begal proyek. Di aparat penegak hukum banyak sekali begal kasus, ada begal keamanan, begal perizinan, dan belakangan muncul juga begal politik atau salah satu sahabat saya menyebutnya sebagai begal demokrasi. Ini khususnya terkait dengan dua kasus terakhir yang menimpa partai berlambang Kakbah dan beringin.

Para tokoh di dua partai tersebut terlihat saling membegal antara satu dan lainnya demi membela kepentingan kelompoknya tanpa memperhatikan dan bahkan tidak malu dengan konstituen dan pendukungnya. Jika pemimpin suatu partai saja mempunyai mentalitas begal, siapa pula rakyat yang mau memilihnya? Mungkin para begal juga yang akan menjadi pendukungnya.

Seperti tidak mau ketinggalan, begal-membegal pun terjadi antarlembaga dan aparat pemerintah, ada saling begal antara kepolisian dan KPK, juga antara DPRD dan pemerintah daerah. Yang muda sudah tidak punya rasa hormat kepada yang tua, yang tua juga sudah tidak bisa bersikap bijaksana, dan yang berpendidikan sudah tidak lagi menunjukkan intelektualitasnya.

Inilah yang disebut sebagai kelompok begal kerah putih karena penampilan mereka lebih keren dan intelek dibanding begal motor. Jika begal jalanan dikejar-kejar aparat keamanan untuk dihukum dan ditindak bahkan sebagian tewas dihakimi massa, begal kerah putih pun dikejar, namun tidak untuk ditindak dan dihukum, melainkan untuk diajak bernegosiasi sebelum kasusnya dibuka untuk diproses.

Maklum para begal kerah putih ini bukan membegal satu atau dua motor yang harganya jutaan rupiah, tetapi mereka membegal keuangan negara yang nilainya bisa puluhan hingga ratusan miliar rupiah sehingga cukup menggiurkan bagi para begal kasus yang ada di lembaga penegak hukum dan keamanan untuk mendapatkan bagian dari hasil begal mereka.

Maka itu, bertemulah para begal untuk berundingdanbernegosiasiagar suatu kasus dapat diatur dan hasilnya bisa meringankan. Sungguh memprihatinkan hidup di negara begal, bahkan kita pun secara sadar atau tidak harus mengikuti aturan main para begal.

Yang menentang arus dianggap gila dan tidak sopan karena begal di negeri para begal mempunyai sikap yang ramah dan beretika pada penampakan luarnya dan mereka dicintai sebagian rakyatnya. Mereka dengan mudah memutar balikan fakta dengan hukum dan perundang-undangan yang mereka kuasai untuk kepentingan mereka sendiri.

Dalam istilah asing ada istilah ”children see, children do”, artinya anak-anak akan selalu melihat kemudian mencontoh dan menirukan segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya. Kalau dalam peribahasa Indonesia, air hujan jatuhnya di pelimbahan juga, artinya tidak akan ke mana-mana, bagaimana orang tua itulah anaknya, bagaimana pemimpinnya akan seperti itulah rakyat dan pengikutnya.

Sangat sederhana, apalagi hal seperti itu sudah berlangsung lama, berulang hingga menjadi suatu kebiasaan dan bahkan menjadi budaya. Jadi, tidaklah aneh jika para pemimpin sudah tidak punya rasa malu untuk korupsi, saling serang dan saling begal, serta semuanya ditonton secara terbuka oleh rakyat melalui berbagai media hingga menjadi contoh dan pembenaran untuk dilakukan oleh mereka di tingkat akar rumput.

Mental begal pun akan berkembang secara masif menjalar ke seluruh pelosok negeri. Dengan begitu, muncullah begal-begal motor yang marak belakangan ini, budaya perkelahian pelajar, mahasiswa, antarkampung, preman pasar, dan sebagainya. Semua cerminan dari tindakan dan perilaku dari pemimpin itu sendiri. Inilah krisis mental di negeri begal.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab untuk menghentikan ini semua dan bagaimana caranya? Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi sebenarnya sangat menjanjikan. Hanya, apakah mental dapat dengan cepat diubah atau direvolusi? Seperti apa bentuk nyata dari program revolusi mental itu? Sampai saat ini masih belum jelas, demikian pula dengan lembaga mana yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya.

Mentalitas secara umum didefinisikan sebagai suatu cara berpikir yang menjadi landasan untuk bertindak atau bisa disebut karakter (way of thinking, mental inclination or character). Schein seorang ahli budaya organisasi dan kepemimpinan menyebutkan ada tiga tingkatan budaya, dimulai dari tingkat yang paling dasar adalah 1) underlying assumption; 2) beliefs & values; dan 3) artefact.

Underlying assumption adalah merupakan sumber dari segala sistem nilai yang dianggap benar dan menjadi landasan dari setiap tindakan yang kemudian keluar dalam bentuk karakter (artefact). Karakter sendiri merupakan bagian dari budaya yang terbentuk melalui proses yang panjang, dimulai dari kebiasaan kemudian menjadi adat istiadat dan budaya yang akhirnya menjadi sistem nilai yang melekat pada satu kelompok masyarakat atau bangsa.

Sistem nilai inilah yang kemudian membentuk karakter yang mencerminkan mentalitas dari bangsa tersebut. Menjawab pertanyaan di atas, untuk mengubah mental secara revolusioner harus dilakukan melalui langkah yang ekstrem pula. Pertama, melalui penegakan hukum yang tegas dan keras, tidak pandang bulu, dan menyeluruh atas segala bentuk pelanggaran di masyarakat.

Kedua, semua lembaga penegakan hukum harus dibersihkan dan diperkuat dengan cara memilih pimpinan yang profesional dan berintegritas tinggi di semua lembaga tersebut (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, KPK, MK, dan MA).

Ketiga, untuk semua pemimpin yang ada di negeri ini, coba renungkan dan laksanakan kembali falsafah Jawa tentang kepemimpinan yang menjadi warisan luhur budaya bangsa ini yaitu ing ngarso sung tulodo-ing madyo mangun karso-tut wuri handayani karena sebagai pemimpin adalah yang menjadi sumber inspirasi dan panutan bagi rakyat yang Anda pimpin, jadi tunjukanlah bahwa Anda memang seorang pemimpin yang layak untuk dijadikan teladan.

Keempat, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus bekerja sama membuat program membangun mental dan karakter bangsa untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang religius sebagai kepribadian bangsa. Kelima, revolusi mental harus dimulai dari atas dan bukan dari bawah.

Keenam , Presiden harus memimpin langsung program tersebut. Ketujuh, lakukan sekarang juga. Semoga negeri ini segera terbebas dari belenggu para begal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar