Rabu, 18 Maret 2015

Langkah Mundur Yasonna Laoly

Langkah Mundur Yasonna Laoly

Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
JAWA POS, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

LANGKAH Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly merevisi pemberian remisi kepada pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi merupakan langkah mundur. Jika mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang mengubah PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, memang disebutkan, napi kasus korupsi, narkotika, dan terorisme tidak berhak mendapatkan remisi atau mengalami pengetatan dalam pemberian remisi.

Remisi koruptor selama ini ditolak elemen masyarakat seperti LSM karena tidak menunjukkan bahwa bangsa ini serius untuk memberantas korupsi. Selama ini masyarakat sipil berjuang meniadakan remisi bagi koruptor. Remisi bagi koruptor, bagaimanapun, telah mencederai rasa keadilan publik.

Pemberian remisi bagi koruptor merupakan kesalahan besar karena dengan demikian justru membuka peluang keberanian bagi pejabat negara untuk terus melakukan korupsi. Asumsinya, perbuatan korupsi di negeri ini tak akan mendapat hukuman berat, malah ringan dan cenderung bisa dinegosiasi.

Padahal, telah nyata-nyata korupsi berhasil membuat rakyat sengsara. Di Indonesia, korupsi terjadi di hampir semua sektor birokrasi pemerintahan. Biasanya para pejabat tertentu mengetahui bahwa di departemennya ada korupsi. Tapi, karena juga terlibat, akhirnya dia diam saja lantaran sudah tahu sama tahu.

Korupsi bagai sebuah jaringan, seperti kutipan dari penyair Juana Ines de la Cruz: ”Whose is the greater blame in a shared evil? She who sins for a pay, or he who pays for sin? (1995). ”Siapa yang harus dipersalahkan atas sebuah kemaksiatan bersama?”

Menurut Jeremy Pope (1999), ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah terkait dengan pemberantasan korupsi. Pertama, negara harus memperkuat jaringan hukum dan memberikan hukuman yang berat bagi para koruptor. Kedua, sendi-sendi pemerintahan, baik itu dari segi sistem maupun mental para birokrat, harus diperkuat sehingga tidak memberikan peluang sedikit pun bagi koruptor. Ketiga, harus ada keterbukaan dalam setiap departemen pemerintahan yang diakses secara langsung oleh masyarakat sehingga tak ada celah bagi para koruptor.

Selain upaya-upaya domestik, upaya kerja sama internasional juga harus dilakukan pemerintah. Sebab, biasanya para koruptor setelah melakukan korupsi kabur ke negara-negara lain untuk menyelamatkan uang hasil korupsinya, seperti yang banyak terjadi di Singapura, layaknya Gayus Tambunan dalam korupsi pajak.

Karena itu, perjanjian ekstradisi dengan Singapura harus dilakukan secara serius. Pemerintah Singapura jangan lagi melindungi para koruptor Indonesia. Akan tetapi bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menuntaskan jaringan kejahatan (the transmission of crime) yang dilakukan para koruptor.

Indonesia harus berkaca pada Negeri Tirai Bambu. Setelah Orde Baru tumbang, berbagai pihak pendukung hukuman yang berat bagi koruptor selalu mengacu ke Tiongkok dan memuji berbagai usaha negeri tersebut dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.

Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di Tiongkok pada 2005 dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Tiongkok memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain malah menyebutkan angka 10.000.

Bahkan, sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung (MA) setempat, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberikan hukuman yang lebih ringan. MA Tiongkok menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. MA Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati. Gerakan tersebut dilihat sebagai jawaban atas meningkatnya kritik publik terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam, 2007).

Setiap negara memang memiliki alasan untuk memberlakukan hukuman bagi koruptor. Kasus di Tiongkok mungkin yang paling ekstrem, yakni koruptor harus berakhir di tiang gantungan. Melihat hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM, hukuman berat apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku korupsi sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera? Hukuman yang berkaca dari Tiongkok, tapi juga sekaligus tak harus seekstrem seperti hukuman mati.

Hukuman yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan adalah hukuman penjara yang tinggi sekaligus subsider. Langkah itu diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi yang lebih memilih hukuman penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat. Karena itulah, selain menjalani hukuman penjara dalam waktu cukup lama, koruptor harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi koruptor, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.

Selama ini penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap mempunyai kesempatan untuk memiliki dan menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi dapat kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekadar mengembalikan uang negara. Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor. Jadi, selain subsider dan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi, koruptor harus dihukum seberat-beratnya.

Pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi koruptor dan menghilangkan korupsi. Maka, para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, tidak sekadar memenjarakan dalam waktu singkat seperti selama ini terjadi. Dengan hukuman yang berat, siapa pun diharapkan akan merasa takut melakukan tindakan korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar