Langkah
Mundur Yasonna Laoly
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
|
JAWA
POS, 17 Maret 2015
LANGKAH
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly merevisi
pemberian remisi kepada pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi merupakan
langkah mundur. Jika mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012
yang mengubah PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan, memang disebutkan, napi kasus korupsi, narkotika, dan
terorisme tidak berhak mendapatkan remisi atau mengalami pengetatan dalam
pemberian remisi.
Remisi
koruptor selama ini ditolak elemen masyarakat seperti LSM karena tidak
menunjukkan bahwa bangsa ini serius untuk memberantas korupsi. Selama ini
masyarakat sipil berjuang meniadakan remisi bagi koruptor. Remisi bagi
koruptor, bagaimanapun, telah mencederai rasa keadilan publik.
Pemberian
remisi bagi koruptor merupakan kesalahan besar karena dengan demikian justru
membuka peluang keberanian bagi pejabat negara untuk terus melakukan korupsi.
Asumsinya, perbuatan korupsi di negeri ini tak akan mendapat hukuman berat,
malah ringan dan cenderung bisa dinegosiasi.
Padahal,
telah nyata-nyata korupsi berhasil membuat rakyat sengsara. Di Indonesia,
korupsi terjadi di hampir semua sektor birokrasi pemerintahan. Biasanya para
pejabat tertentu mengetahui bahwa di departemennya ada korupsi. Tapi, karena
juga terlibat, akhirnya dia diam saja lantaran sudah tahu sama tahu.
Korupsi
bagai sebuah jaringan, seperti kutipan dari penyair Juana Ines de la Cruz:
”Whose is the greater blame in a shared evil? She who sins for a pay, or he
who pays for sin? (1995). ”Siapa yang harus dipersalahkan atas sebuah
kemaksiatan bersama?”
Menurut
Jeremy Pope (1999), ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah terkait
dengan pemberantasan korupsi. Pertama, negara harus memperkuat jaringan hukum
dan memberikan hukuman yang berat bagi para koruptor. Kedua, sendi-sendi
pemerintahan, baik itu dari segi sistem maupun mental para birokrat, harus
diperkuat sehingga tidak memberikan peluang sedikit pun bagi koruptor.
Ketiga, harus ada keterbukaan dalam setiap departemen pemerintahan yang
diakses secara langsung oleh masyarakat sehingga tak ada celah bagi para koruptor.
Selain
upaya-upaya domestik, upaya kerja sama internasional juga harus dilakukan
pemerintah. Sebab, biasanya para koruptor setelah melakukan korupsi kabur ke
negara-negara lain untuk menyelamatkan uang hasil korupsinya, seperti yang
banyak terjadi di Singapura, layaknya Gayus Tambunan dalam korupsi pajak.
Karena
itu, perjanjian ekstradisi dengan Singapura harus dilakukan secara serius.
Pemerintah Singapura jangan lagi melindungi para koruptor Indonesia. Akan
tetapi bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menuntaskan jaringan
kejahatan (the transmission of crime) yang dilakukan para koruptor.
Indonesia
harus berkaca pada Negeri Tirai Bambu. Setelah Orde Baru tumbang, berbagai
pihak pendukung hukuman yang berat bagi koruptor selalu mengacu ke Tiongkok
dan memuji berbagai usaha negeri tersebut dalam menumpas penyakit korupsi
yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan
para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku
korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Tiongkok dan
dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.
Menurut
perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di Tiongkok
pada 2005 dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum Tiongkok
memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar dan
bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain malah
menyebutkan angka 10.000.
Bahkan,
sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku
korupsi, hakim tertinggi di Tiongkok, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung (MA)
setempat, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila
masih mungkin memberikan hukuman yang lebih ringan. MA Tiongkok menyetujui
amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas
eksekusi. MA Tiongkok akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh
hukuman mati. Gerakan tersebut dilihat sebagai jawaban atas meningkatnya
kritik publik terhadap meluasnya praktik hukuman mati secara sewenang-wenang
(Rainer Adam, 2007).
Setiap
negara memang memiliki alasan untuk memberlakukan hukuman bagi koruptor.
Kasus di Tiongkok mungkin yang paling ekstrem, yakni koruptor harus berakhir
di tiang gantungan. Melihat hukuman mati yang masih kontroversial dan
dianggap bertentangan dengan HAM, hukuman berat apa yang harus dijatuhkan
kepada pelaku korupsi sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera?
Hukuman yang berkaca dari Tiongkok, tapi juga sekaligus tak harus seekstrem
seperti hukuman mati.
Hukuman
yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan adalah hukuman
penjara yang tinggi sekaligus subsider. Langkah itu diambil mengingat tidak
sedikit terpidana korupsi yang lebih memilih hukuman penjara ketimbang
membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat. Karena itulah, selain
menjalani hukuman penjara dalam waktu cukup lama, koruptor harus
mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan
efek jera bagi koruptor, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong
terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu,
lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.
Selama
ini penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang
didakwa korupsi tetap mempunyai kesempatan untuk memiliki dan menggunakan
harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi
dapat kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekadar
mengembalikan uang negara. Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak
tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada
koruptor. Jadi, selain subsider dan mengembalikan aset negara yang telah
dikorupsi, koruptor harus dihukum seberat-beratnya.
Pelaksanaan
hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi koruptor dan
menghilangkan korupsi. Maka, para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek
menjerakan, tidak sekadar memenjarakan dalam waktu singkat seperti selama ini
terjadi. Dengan hukuman yang berat, siapa pun diharapkan akan merasa takut
melakukan tindakan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar