Senin, 16 Maret 2015

Konflik Partai dan Problem Demokrasi

Konflik Partai dan Problem Demokrasi

Aminuddin  ;  Peneliti Politik di Bulaksumur Empat Jogjakarta
JAWA POS, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

FENOMENA konflik partai akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Gugat-menggugat menjadi ritual baru demi mempertahankan kursi kekuasaan di internal partai. Tak pelak, publik mendapat asupan pendidikan politik yang buruk. Sebut saja Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Dua partai yang notabene veteran tersebut belum mampu menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Tragisnya lagi, pembelahan dua partai politik (parpol) besar tersebut menjadi sebuah fenomena baru yang belum terselesaikan.

Gejala konflik parpol akhir-akhir ini menggambarkan bahwa partai politik belum mampu menerapkan sistem demokrasi di internalnya. Hal itu juga mengionisasi bahwa parpol masih mengalami problem klasik dalam regenerasi. Tokoh-tokoh lawas masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan sehingga kaum muda potensial dikerdilkan. Orientasi politik sudah bergeser dari visi kenegaraan menjadi visi kepentingan. Harold D. Lasswell (2013) menyatakan bahwa politik akan bertransformasi menjadi masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana.

Kapitalisme Politik

Konflik parpol merefleksikan bahwa belum ada kemandirian dalam menjalankan proses demokrasi. Baik dalam regenerasi maupun pendanaan. Artinya, pendanaan masih bergantung kepada siapa yang memiliki saham paling tinggi. Dalam hal ini, siapa yang memegang paling banyak saham perusahaan tersebut, dialah yang menjadi penguasa tunggal. Suara-suara minor dari aktivis parpol seolah-olah menjadi bias tanpa ada yang menampung.

Apabila partai politik didesain seperti perusahaan, pucuknya adalah kapitalisasi partai. Ciri-ciri kapitalisme parpol tersebut diibaratkan perusahaan dan produk-produk bisnis. Berbagai cara dilakukan, termasuk mengubah wajah pertelevisian menjadi kepanjangan tangan parpol. Alhasil, berbagai ruang publik, fasilitas publik, disesaki pencitraan yang berafiliasi pada kepentingan pasar.

Ketika parpol sudah menjadi perusahaan, tidak ada jalan lain bagi calon legislator maupun calon kepala daerah untuk mengandalkan sisi finansial guna bertarung dalam pemilihan kepala daerah dan legislator. Karena posisi itulah, biaya politik menjadi tinggi. Hal itu pula yang semakin mengamini disertasi Pramono Anung bahwa minimal dana yang harus dikeluarkan untuk biaya demokrasi Rp 600 juta sampai Rp 2,5 miliar.

Ketika caleg menghabiskan dana sedemikian mahalnya, tidak ada lagi tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Dalam posisi itulah, rakyat diposisikan sebagai budak. Artinya, orang-orang yang menjadi wakil rakyat dianggap tuan (pemilik budak). Sedangkan rakyat kecil dimaknai sebagai budak. Dalam model perbudakan, hak-hak hidup budak dirampas oleh si pemilik budak. Hak dan kewajibannya dirampas serta diamputasi.

Sementara budak hanya diberi keleluasaan untuk bertahan hidup. Jaminan hidup menjadi terabaikan gara-gara pengaruh kepentingan. Itu berarti sangat kontras dengan tujuan hidup berdemokrasi, di mana individu diberi kebebasan. Peter Bachrach (1980) mengungkapkan, tujuan tertinggi demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu di mana jaminan kebebasan menjadi mutlak.

Kira-kira seperti itulah eksistensi parpol yang mengemuka dewasa ini. Parpol lebih condong ke proses mencari keuntungan maksimal. Sementara ideologi dan idealisme parpol menjadi isapan jempol belaka. Tak pelak, orang-orang parpol yang tidak patuh kepada pemilik perusahaan parpol tersebut disingkirkan begitu saja. Alhasil, mereka membangun partai baru. Fenomena itulah yang menjadikan partai terbelah.

Problem Demokrasi

Sengkarut parpol yang selama ini ditunjukkan menjadi alarm bagi demokrasi aras lokal (cross root). Demokrasi aras lokal yang selama ini menjadi harapan dari kualitas demokrasi terancam punah gara-gara ulah parpol yang semakin sengkarut. Itu terjadi karena masifnya pengaruh tokoh parpol yang memegang mayoritas saham di perusahaan parpol tersebut.

Harapan besar demokrasi yang selama ini disematkan menjadi hilang. Itu juga semakin menjauhkan harapan Robert Dahl (1971) bahwa sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya (accountability). Sebaliknya, hak dan tanggung jawab rakyat direnggut oleh kalangan elite.

Dalam posisi itulah, demokrasi aras lokal tergoreng. Rontoknya demokrasi aras lokal dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, keengganan masyarakat lokal berpartisipasi dalam proses demokrasi. Masyarakat masih mengedepankan logika pragmatis terkait dengan politik. Artinya, masyarakat kehilangan kepercayaan atas apa yang ditampilkan oleh politisi maupun kepala daerah. Hal itu tidak lepas dari banyaknya politikus dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Akhirnya, masyarakat apatis terhadap proses demokrasi.

Kedua, masifnya relasi kekuasaan (power relation) antara elite dan partai politik. Parpol lebih mengutamakan individu yang memiliki kemampuan finansial. Hal tersebut terjadi karena mandeknya regenerasi di tubuh partai politik. Parpol lebih mementingkan orang kuat (berduit) ketimbang kader-kader potensial. Akibatnya, kader potensial disingkirkan oleh kekuatan uang.

Ketiga, masih kuatnya tokoh-tokoh masyarakat di daerah yang menjadi penentu arah suara rakyat. Tokoh-tokoh seperti ulama yang masih kental pengaruhnya. Turmudi (2004) mengungkapkan bahwa posisi kiai masih diperhitungkan dalam politik. Hal itu tidak lepas dari ketokohan dan karisma kiai dalam penegakan agama.

Singkat cerita, pemilihan kepala daerah pada 2015 akan dilaksanakan secara serentak. Itu juga menjadi peringatan bagi parpol yang masih berkonflik. Parpol harus berbenah diri untuk menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika tidak, jangan berharap ada konstituen yang melirik di pilkada serentak tersebut. Jika itu yang terjadi, hukuman politik akan berlanjut di Pilpres 2019 dengan dicampakkan begitu saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar