Konflik
Partai dan Problem Demokrasi
Aminuddin ; Peneliti Politik di Bulaksumur Empat
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 16 Maret 2015
FENOMENA
konflik partai akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Gugat-menggugat
menjadi ritual baru demi mempertahankan kursi kekuasaan di internal partai.
Tak pelak, publik mendapat asupan pendidikan politik yang buruk. Sebut saja
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Dua
partai yang notabene veteran tersebut belum mampu menyelesaikan konflik yang
berkepanjangan. Tragisnya lagi, pembelahan dua partai politik (parpol) besar
tersebut menjadi sebuah fenomena baru yang belum terselesaikan.
Gejala
konflik parpol akhir-akhir ini menggambarkan bahwa partai politik belum mampu
menerapkan sistem demokrasi di internalnya. Hal itu juga mengionisasi bahwa
parpol masih mengalami problem klasik dalam regenerasi. Tokoh-tokoh lawas
masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan sehingga kaum muda potensial
dikerdilkan. Orientasi politik sudah bergeser dari visi kenegaraan menjadi
visi kepentingan. Harold D. Lasswell (2013) menyatakan bahwa politik akan
bertransformasi menjadi masalah siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana.
Kapitalisme Politik
Konflik
parpol merefleksikan bahwa belum ada kemandirian dalam menjalankan proses
demokrasi. Baik dalam regenerasi maupun pendanaan. Artinya, pendanaan masih
bergantung kepada siapa yang memiliki saham paling tinggi. Dalam hal ini,
siapa yang memegang paling banyak saham perusahaan tersebut, dialah yang
menjadi penguasa tunggal. Suara-suara minor dari aktivis parpol seolah-olah
menjadi bias tanpa ada yang menampung.
Apabila
partai politik didesain seperti perusahaan, pucuknya adalah kapitalisasi
partai. Ciri-ciri kapitalisme parpol tersebut diibaratkan perusahaan dan
produk-produk bisnis. Berbagai cara dilakukan, termasuk mengubah wajah
pertelevisian menjadi kepanjangan tangan parpol. Alhasil, berbagai ruang
publik, fasilitas publik, disesaki pencitraan yang berafiliasi pada
kepentingan pasar.
Ketika
parpol sudah menjadi perusahaan, tidak ada jalan lain bagi calon legislator
maupun calon kepala daerah untuk mengandalkan sisi finansial guna bertarung
dalam pemilihan kepala daerah dan legislator. Karena posisi itulah, biaya
politik menjadi tinggi. Hal itu pula yang semakin mengamini disertasi Pramono
Anung bahwa minimal dana yang harus dikeluarkan untuk biaya demokrasi Rp 600
juta sampai Rp 2,5 miliar.
Ketika
caleg menghabiskan dana sedemikian mahalnya, tidak ada lagi tanggung jawab
sebagai wakil rakyat. Dalam posisi itulah, rakyat diposisikan sebagai budak.
Artinya, orang-orang yang menjadi wakil rakyat dianggap tuan (pemilik budak).
Sedangkan rakyat kecil dimaknai sebagai budak. Dalam model perbudakan,
hak-hak hidup budak dirampas oleh si pemilik budak. Hak dan kewajibannya dirampas
serta diamputasi.
Sementara
budak hanya diberi keleluasaan untuk bertahan hidup. Jaminan hidup menjadi
terabaikan gara-gara pengaruh kepentingan. Itu berarti sangat kontras dengan
tujuan hidup berdemokrasi, di mana individu diberi kebebasan. Peter Bachrach
(1980) mengungkapkan, tujuan tertinggi demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu di mana
jaminan kebebasan menjadi mutlak.
Kira-kira
seperti itulah eksistensi parpol yang mengemuka dewasa ini. Parpol lebih
condong ke proses mencari keuntungan maksimal. Sementara ideologi dan
idealisme parpol menjadi isapan jempol belaka. Tak pelak, orang-orang parpol
yang tidak patuh kepada pemilik perusahaan parpol tersebut disingkirkan
begitu saja. Alhasil, mereka membangun partai baru. Fenomena itulah yang
menjadikan partai terbelah.
Problem Demokrasi
Sengkarut
parpol yang selama ini ditunjukkan menjadi alarm bagi demokrasi aras lokal (cross root). Demokrasi aras lokal yang
selama ini menjadi harapan dari kualitas demokrasi terancam punah gara-gara
ulah parpol yang semakin sengkarut. Itu terjadi karena masifnya pengaruh
tokoh parpol yang memegang mayoritas saham di perusahaan parpol tersebut.
Harapan
besar demokrasi yang selama ini disematkan menjadi hilang. Itu juga semakin
menjauhkan harapan Robert Dahl (1971) bahwa sistem politik demokrasi adalah
suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada
semua warga negaranya (accountability).
Sebaliknya, hak dan tanggung jawab rakyat direnggut oleh kalangan elite.
Dalam
posisi itulah, demokrasi aras lokal tergoreng. Rontoknya demokrasi aras lokal
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, keengganan masyarakat lokal
berpartisipasi dalam proses demokrasi. Masyarakat masih mengedepankan logika
pragmatis terkait dengan politik. Artinya, masyarakat kehilangan kepercayaan
atas apa yang ditampilkan oleh politisi maupun kepala daerah. Hal itu tidak
lepas dari banyaknya politikus dan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Akhirnya, masyarakat apatis terhadap proses demokrasi.
Kedua,
masifnya relasi kekuasaan (power
relation) antara elite dan partai politik. Parpol lebih mengutamakan
individu yang memiliki kemampuan finansial. Hal tersebut terjadi karena
mandeknya regenerasi di tubuh partai politik. Parpol lebih mementingkan orang
kuat (berduit) ketimbang kader-kader potensial. Akibatnya, kader potensial
disingkirkan oleh kekuatan uang.
Ketiga,
masih kuatnya tokoh-tokoh masyarakat di daerah yang menjadi penentu arah
suara rakyat. Tokoh-tokoh seperti ulama yang masih kental pengaruhnya.
Turmudi (2004) mengungkapkan bahwa posisi kiai masih diperhitungkan dalam
politik. Hal itu tidak lepas dari ketokohan dan karisma kiai dalam penegakan
agama.
Singkat
cerita, pemilihan kepala daerah pada 2015 akan dilaksanakan secara serentak.
Itu juga menjadi peringatan bagi parpol yang masih berkonflik. Parpol harus
berbenah diri untuk menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika tidak,
jangan berharap ada konstituen yang melirik di pilkada serentak tersebut.
Jika itu yang terjadi, hukuman politik akan berlanjut di Pilpres 2019 dengan
dicampakkan begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar