Selasa, 03 Maret 2015

Negara

Negara

Goenawan Mohamad  ;  Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 02 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Ke depan sebuah gerbang seseorang datang dari udik dan berkata kepada lelaki tegap yang ia duga bertugas sebagai penjaga: "Saya datang untuk melihat Negara. Saya ingin masuk ke dalam."

Orang yang ia duga petugas itu (dengan pakaian hitam yang mungkin baju seragam) menatapnya sejenak, lalu menjawab, "Maaf. Ada prosedur."
Ketika ditanya bagaimana prosedur itu, si penjaga hanya menggeleng. "Tak begitu jelas, sebenarnya-kalau saya boleh berterus terang. Maksud saya, Saudara harus menunggu."

Maka orang dari udik itu pun menunggu. Sejenak ia waswas bahwa ia akan di sana lama sekali, menanti, duduk, berbaring, tidur, bangun, dan seterusnya, sampai entah kapan-ia waswas bahwa ia sedang berperan dalam sebuah cerita Kafka.

Tapi kemudian ia lihat orang yang ia duga sebagai penjaga itu tak ada lagi. Tempat itu kosong. Mungkin di sini tak perlu ada konsistensi. Sekarang terpasang sebuah maklumat: "Silakan masuk."
Tamu itu pun masuk.

Dua meter ia melangkah, di hadapannya, agak ke kanan, terukir sebuah tulisan lain: "Dilarang membawa hal-hal yang dilarang."

Tak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan "hal-hal" itu. Maka tamu itu menyimpulkan bahwa maklumat itu hanya kata-kata yang tak akan punya efek. Ia pun berjalan terus. Ia memasuki sebuah gang kecil yang berkelok-kelok. Ada bau sigaret. Toilet. Makanan kecil. Kertas-kertas.

Ia sebenarnya terkejut. Ia semula menyangka Negara sebuah arsitektur berbentuk bujur sangkar. Tapi yang ditemuinya sebuah terowongan, mirip labirin, dengan dinding yang dipasangi beribu-ribu cermin yang, sebagaimana halnya cermin di kamar kita, tak transparan dan memantulkan semua hal terbalik.

Sejenak, orang dari udik itu terpekur. Di mana ia sebenarnya: dalam sebuah cerita Kafka tentang laki-laki yang entah sabar entah putus asa menunggu terus di depan Hukum dan Kekuasaan yang tak pernah terbuka? Ataukah ia seperti si Alice yang memasuki dunia ganjil dalam novel Lewis Carroll, Through the Looking-Glass?

Mendadak seseorang muncul di tepi terowongan dan berkata: "Dilarang membawa kata dari luar."

"Kata? Dilarang membawa kata? Bapak siapa?"
"Saya pegawai negara." Ia tak menyebut nama. Hanya nomor. Wajah orang itu rata. Tingginya rata. Kostumnya tak berwarna.
"Saya dari bagian wastasing, kantor BLTR."

Sang tamu dengan segera tahu, "wastasing" yang baru didengarnya itu pasti sebuah akronim. Tapi ia tak merasa perlu menebak apa artinya, juga tak mencoba menduga kata apa yang diringkus dalam singkatan "BLTR" itu. Ia merasa tafsir apa pun tak ada gunanya.

Di belakang pegawai itu ada sebuah pintu yang terkuak ke sebuah kamar. Di dalam kamar itu tampak ada yang berdesak-desak: ratusan akronim dan singkatan. Beberapa bertampang keren dan bergas, tapi sebagian besar mulai kuning dan layu.

"Negara," kata tamu dari udik itu dalam hati, "tampaknya dibuat dari ribuan akronim." Ia mencoba mengingat-ingat: Kabag. Kadin. Waka. BPKP. Sudin. BKST. Subdit. TBK. Karo. PKLN. Tupoksi. Raker. Rusid. Pokja. Ranmor. Miras. Bareskrim.

Ia mulai melihat, dalam labirin itu akronim dan singkatan itu berbaris dari lorong ke lorong, dari bilik ke bilik. Tampaknya mereka saling bisik -- ya, mereka berbisik dalam kombinasi kosakata yang tak bersentuhan dengan percakapan yang datang dari luar.

Maka yang terdengar adalah sebuah bahasa yang tak ingin dimengerti dan dirasakan, yang tak bisa dipakai untuk menganalisis dan bercanda, yang tak dapat melahirkan puisi atau melontarkan lelucon-sebuah bahasa yang jadi berarti bagi penghuni Negara karena secara rutin datang dan pergi dari SK ke SK, dari dokumen ke dokumen, dari kamar rapat yang satu ke kamar rapat yang lain. Pendeknya, sebuah bahasa yang cocok dengan sebuah labirin: bahasa yang berhati-hati dan membingungkan.

Tamu itu pun melangkah terus melalui kamar-kamar dengan pintu tertutup. Pada jam ketiga ia merasa pegawai negara dari bagian "wastasing, kantor BLTR" itu berjalan mengikutinya.
"Bapak tidak sibuk?" sang tamu bertanya.

"Kita harus bergerak maju," terdengar jawab. Wajah itu rata, suara itu rata.
Ketika tamu itu mengernyitkan jidat, pegawai itu pun menunjuk ke dinding, ke deretan cermin-cermin. Seketika itu semuanya jadi jelas: seperti sudah disebut di atas, cermin itu tak transparan dan menampilkan semua hal terbalik. Kiri adalah kanan. Maju adalah mundur. Gerak adalah mandek. Tujuan adalah prosedur. Sebab adalah akibat. Peraturan yang rapi adalah peraturan yang ruwet. Tertib adalah chaos. Sanksi adalah promosi. Mengamankan adalah membuat rasa tidak aman. Menjaga adalah memperlemah.

Ketika tamu itu melihat lebih jauh ke dalam cermin, labirin raksasa itu ternyata mirip sebuah papan catur besar. Di atasnya bidak-bidak hanya mengikuti kotak dua warna: hitam-putih. Gerak mereka sudah ditentukan.
Menatap itu dengan agak sedih dan takjub, tamu kita pun mulai merasa ganjil: ia bukan sedang memasuki sebuah cerita Kafka. Ia sedang dalam buku Through the Looking-Glass. Lewis Carroll berkisah bahwa dalam mimpinya Alice naik ke sebuah papan catur yang absurd, dan bidak Ratu berkata: "HERE, you see, it takes all the running YOU can do, to keep in the same place."

Jika di papan catur ini orang harus berlari sebanyak-banyaknya agar dapat berada di tempat yang sama, berarti Negara tak punya arah, demikian tamu kita berpikir. Berarti tak seperti yang selama ini dibayangkan di luar.

Di luar, Negara memang dibayangkan sebagai alat-untuk menindas atau sebaliknya untuk melindungi. Tapi ketika tamu dari udik itu keluar dari dalamnya ia menyimpulkan, "Saya tak tahu buat apa sebenarnya labirin itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar