Selasa, 03 Maret 2015

Begal

Begal

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Sesuai dengan janji, saya datang ke Padepokan Romo Imam membawa batu akik yang belum diolah. "Terserah Romo, mau dipoles yang mana, ada badar emas, ada badar nikel, asli Sulawesi, tapi bukan akik Enrekang," kata saya. Romo mengambil bebatuan itu. "Apa musim akik masih bertahan lama? Sekarang sudah memasuki musim begal," katanya.

Saya terperanjat: "Apa hubungan akik dengan begal? Romo ada-ada saja." Romo terkekeh. "Semua itu ada musimnya, seperti durian dan duku. Kalau buah-buahan musimnya diciptakan oleh alam, manusia tak kuasa menghambat. Kalau musim akik itu ciptaan manusia, bisa sebagai pengalihan isu, bisa untuk numpang tenar, tapi bisa murni bisnis," kata dia.

Romo melanjutkan: "Sama dengan musim begal, itu perbuatan manusia. Begal beraksi di Depok, lalu Tangerang, kemudian Bintaro, ke Banten, dan entah mana lagi. Kok, bisa sambung-menyambung. Begitu pula musim lapor ke Bareskrim, kok bisa orang susul-menyusul melaporkan pimpinan dan penyidik KPK ke sana. Lalu ada musim praperadilan. Atau nanti musim angket..."

"Romo ngelindur..." saya memotong. "Kepala Bareskrim kan lagi menegakkan hukum tanpa lelah," kata saya agak keras. Romo membalas keras pula: "Ya, tahu, Kepala Bareskrim saat ini polisi yang paling kuat, mungkin Kapolri yang sebenarnya. Perkara 10 tahun lalu, Novel Baswedan itu, kan baru diungkit sekarang. Abraham Samad yang dilaporkan dengan banyak versi, akhirnya kena pula pada pemalsuan identitas kartu keluarga. Bambang Widjojanto kan ditangkap dengan borgol. Novel, Samad, Widjojanto itu karena orang-orang KPK."

"Saya tak setuju, itu murni kasus hukum," sahut saya. Lagi-lagi Romo terkekeh: "Coba ingat, waktu sampean di Jakarta dulu, berapa kali memalsukan identitas keponakan-keponakan yang bersekolah di Jakarta dengan memasukkan namanya di kartu keluarga sampean. Tak ada masalah dan itu perkara kecil karena sampean bukan pimpinan atau penyidik KPK. Seperti pula soal kartu tanda penduduk palsu, tak masalah jika itu dipunyai oleh polisi. Bagi mereka, polisi tugasnya mengusut, bukan yang harus diusut."

Saya diam, tiba-tiba takut juga karena memang pernah memasukkan nama keponakan dalam kartu keluarga saya tanpa ada surat apa pun. Tapi staf kelurahan tak mempersoalkan. "Lo, kok diam? Jangan takut, selama sampean tak bekerja di KPK, aman, kok," ujar Romo.

"Terus kalau musim begal yang mendadak itu, ada apa?" Saya mengalihkan topik, takut kalau pemalsuan identitas itu diteruskan. "Ya, barangkali ada pihak-pihak tertentu yang ingin polisi kembali ke masyarakat sebagai pengayom. Dengan adanya musim begal, ada kesempatan orang berkomentar: tuh pak polisi, fokus dong jaga keamanan, jangan main politik memperkarakan orang-orang yang lagi giat berantas korupsi, tangani begal dulu."

Ha-ha-ha... saya tertawa. "Otak Romo kena virus konspirasi, maaf. Begal itu sudah banyak yang didor, ada pula dibakar hidup-hidup oleh masyarakat, tak mungkin konspirasi aneh-aneh begitu." Kali ini Romo diam, beliau mengambil minuman. "Ya, syukurlah," kata dia kemudian. "Syukur jika ini murni begal. Kalau begal membawa linggis dan samurai, saya percaya polisi bisa mengatasi. Tapi kalau begalnya pakai dasi dan rekeningnya gendut, saya lebih percaya KPK."

Saya acungkan jempol pada Romo. "Begal berdasi terus mencari modus baru, Romo. Yang duduk di Dewan mulai membegal pada saat anggaran diajukan. Mereka bikin anggaran siluman, seperti di Jakarta itu. Untung ada Ahok." Tiba-tiba tangan saya disalami Romo dan beliau berujar lantang: "Bela Ahok, bela KPK!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar