Selasa, 03 Maret 2015

Di Situ Saya Kadang Merasa Sedih

Di Situ Saya Kadang Merasa Sedih

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Itulah ungkapan dari seorang polwan, Brigadir Dewi Sri Mulyani, yang tiba-tiba menjadi fenomenal dan menarik perhatian jago speech composing Eka Gustiwana.

Ungkapan itu pun jadi speech composing yang makin menarik untuk disimak. Termasuk antara lain, ”Lagi enak-enak makan, tiba-tiba lidah kegigit... di situ kadang saya merasa sedih” atau ”Saat buka ciki, tapi cikinya tumpah semua ... di situ kadang saya merasa sedih” atau ini yang paling seru, ”Pas udah pup, pas mau cebok gak ada air .... di situ kadang saya merasa sedih”.

Eka mengunggahnya di media sosial pertama kali pada tanggal 22 Februari 2015. Empat hari kemudian, waktu saya menulis artikel ini, sudah di-like oleh 1.363 orang dan 23 dislike serta ditonton oleh 42.967 viewer. Saya sendiri sudah agak lama menonton ungkapan Brigadir Dewi itu, sebagai bagian dari iklan acara 86 (Operasi Polisi) di salah satu stasiun TV. Tapi fenomena Brigadir Dewi bukan yang pertama, apalagi satu-satunya.

Pada tahun 2011 kita juga pernah dihebohkan oleh fenomena Brigadir Satu (Briptu) Norman, anggota Brimob di Gorontalo, yang tiba-tiba mencuat menjadi penyanyi dangdut yang sangat terkenal hanya gara-gara dia lipsing lagu India Chaiyya... chaiyya di pos jaga dan diunggah oleh temannya ke Youtube. Dari sanalah dia mendapat sambutan luar biasa dari pengguna Youtube sehingga akhirnya dia diundang ke Jakarta untuk perform di Jakarta.

Mula-mula masih izin atasan, tampil berseragam Brimob, didampingi perwira-perwira atasannya yangikutgembira karena ada polisi yang bisa menghibur masyarakat. Tapi lamalama Briptu Norman tidak betah dikawal atasan terus, maka dia ke Jakarta untuk rekaman tanpa izin sehingga dia kena ganjaran dipecat dan sekarang jadi tukang bubur manado di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, dan hampir tidak ada lagi yang kenal, apalagi ingat sama dia.

Brigadir Dewi suatu saat sudah pasti akan dilupakan juga walaupun dia tidak akan terjebak dalam kasus desersi yang bisa memutus kariernya. Namun yang sebenarnya saya ingin cerita bukan tentang polisi, karier polisi atau bahkan oknum polisi. Juga bukan soal polisi versus KPK. Yang ingin saya bahas di sini adalah tentang fenomena meme di media sosial.

Suatu gejala yang baru tahun-tahun terakhir ini saja terkenal dan dipakai meluas mulai dari kaum elite masyarakat papan atas sampai ke tukang gorengan, anak sekolah, PRT (pembantu rumah tangga), dan siapa saja yang bisa punya HP yang sekarang harganya hanya lebih mahal sedikit dari gratis.

Zaman dulu sekali, diawalRepublik Indonesia baru berdiri, setiap tanggal 17 Agustus Bung Karno berpidato di Istana Negara dan disiarkan melalui radio ke seluruh Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pidatonya bisa sampai tiga jam dan orang pun tekun mendengarkan dan selama setahun berikutnya, apa yang dipidatokan itu akan menjadi arahan atau pedoman hidup seluruh bangsa Indonesia.

Di zamannya Pak Harto sudah ada TV yang mulai beroperasi sejak masa akhir pemerintahan Bung Karno. Tapi TV waktu itu dikelola oleh satu stasiun saja, yaitu TVRI yang merupakan TV pemerintah. Jadi informasi masih terpusat di tangan pemerintah. Setiap ada masalah, Menteri Penerangan Harmoko menghadap Presiden Soeharto ke Istana atau Binagraha. Keluar dari Binagraha, Menteri Harmoko akan mengumumkan melalui TVRI petunjuk Bapak Presiden yang selanjutnya akan dijadikan pedoman oleh segenap lapisan masyarakat.

Jadi sampai di situ pemerintah masih jadi penentu terpenting dalam pembentukan opini masyarakat. Situasi berubah ketika Indonesia mulai mengenal TV swasta dan radio-radio swasta. Bersama dengan koran-koran dan majalah yang sudah lebih dahulu ada, media baru ini disebut media massa yang bisa menyebarluaskan berita dan opini di luar pemerintah, tetapi masih dikendalikan oleh beberapa institusi tertentu (Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia, asosiasi jurnalis, asosiasi TV swasta, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, perusahaan-perusahaan pemilik media massa, UU, Kementerian Kominfo, dll).

Tapi situasi betul-betul berubah setelah media sosial berkembang melalui teknologi internet. Media ini adalah media komunikasi lewat internet yang terbuka, siapa saja bisa berhubungan dengan siapa saja, ngomong tentang apa saja. Di sini pemerintah sudah hampir tidak punya kendali sama sekali di bidang informasi. Pendapat publik yang dulu mengerucut pada arahan Presiden atau pemerintah sekarang sangat simpang siur. Apa saja bisa jadi opini.

Di situlah Brigadir Dewi dan Briptu Norman bisa seketika naik daun, tetapi juga cepat hilang turun lagi. Apalagi media massa selalu membutuhkan sumber berita, maka apa pun yang tersiar di media sosial cepat sekali diunggah ke media massa. Begitu sudah masuk media masa, fenomena itu cepat ditularkan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain.

Itulah yang disebut meme, yaitu gagasan, ide, mimik atau gerak yang cepat tersebar dan ditiru melalui jalur komunikasi budaya. Ketika jalur itu berevolusi makin cepat, perubahan sosial, politik, dan budaya lewat meme ini pun bertambah cepat. Bukan hanya cepat, tetapi juga tak terkendali arahnya, dia bisa lari ke mana saja.

Penyanyi-penyanyi yang ngetop hari ini banyak yang mengawali debutnya melalui Youtube. Para koordinator lapangan aksi-massa mengerahkan massanya cukup lewatWhatsapp dengan menggunakan berbagai bentuk pesan melalui media sosial, termasuk meme.

Tapi kawanan geng motor, begal, ISIS, dan teroris juga menggunakan meme yang disebar melalui berbagai media sosial seperti Facebook, website, blog, Twitter, BBM, Path, Instagram, dan entah apa lagi untuk memengaruhi pikiran publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar