Melawan
Begal Politik dan Mandat Palsu
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 16 Maret 2015
Sebuah
eksperimen politik sedang berlangsung dengan cara membelah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Tentu saja ada agenda tersembunyi di
balik eksperimen politik itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendaknya
mengamati arah dan target eksperimen dimaksud. Partai-partai politik yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR sudah terbukti menjadi
kekuatan penyeimbang yang kritis konstruktif.
Sejumlah
kebijakan presiden yang prorakyat dan prokepentingan nasional mendapat
dukungan solid dari KMP. Dari kebutuhan anggaran untuk realisasi program
sosial pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia
Pintar (KIP), keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sampai keputusan
Presiden mengubah figur calon tunggal kepala Polri, semua didukung tanpa
reserve oleh KMP.
Ambivalensi
justru dipertontonkan kekuatan-kekuatan politik yang selama ini dikenal
sebagai pendukung Presiden Jokowi, khususnya semasa kampanye dan pemilihan
presiden. Kekuatan-kekuatan politik itu terang-terangan merongrong
kepemimpinan Presiden Jokowi.
Mereka
mengecam sejumlah menteri Kabinet Kerja yang loyal kepada Presiden, mendesak
dilakukan reshuffle kabinet hingga menggagas penggunaan hak angket oleh DPR
guna merespons keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai kepala Polri.
Semua
perilaku aneh dari kekuatan-kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi itu
begitu terang benderang di mata rakyat. Ada apa dengan mereka? Tentu tidak
sekadar kekecewaan karena tidak mendapat jatah menteri atau jabatan lain di
pemerintahan sekarang ini. Pasti ada agenda besar lain yang ingin diwujudkan
walau tidak mudah.
Sudah
bisa dipastikan bahwa KMP sama sekali tidak punya agenda menjatuhkan atau
memakzulkan Presiden Jokowi. Ketika sejumlah politisi anggota KMP ikut
mendorong penggunaan hak angket DPR untuk kasus pembatalan pelantikan Komjen
Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri, para pemimpin KMP justru
memperlihatkan sikap sebaliknya.
Para
elite KMP mengingatkan semua pihak menyadari bahwa harga yang akan dibayar
bangsa ini akan sangat mahal jika Presiden dimakzulkan untuk alasan-alasan
yang tidak relevan. Isu tentang penggunaan hak angket DPR ini akan mengemuka
lagi setelah DPR mengakhiri masa reses pekan terakhir Maret 2015.
Pencalonan
Komjen Pol Badroedin Haiti sebagai kepala Polri bisa saja berjalan tidak
mulus jika kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi melanjutkan sikap
ambivalen mereka. Dibutuhkan kekuatan mayoritas di DPR untuk memuluskan
penggunaan hak angket itu. Sudah barang tentu partai-partai pendukung Jokowi
berharap bisa mendulang dukungan dari komponen-komponen KMP.
Untuk
mendulang dukungan dari KMP itulah, dikreasi eksperimen politik dengan
memecah belah anggota KMP, utamanya PPP dan Partai Golkar. Ada kekuatan besar
yang menata skenario eksperimen itu dan menjadikan Menteri Hukum dan HAM
(Menkumham) Yasona H Laoly sebagai eksekutor pemecah PPP dan Golkar.
Eksperimen
politik para pembegal demokrasi itu harus dihentikan. Itu sebabnya, parpol
anggota KMP di DPR akan menggulirkan hak angket terhadap Menkumham. Dia
dipaksa berperilaku seperti ”pembegal”, tepatnya begal demokrasi atau begal
politik, karena mencampuri masalah intern Partai Golkar dan PPP.
Loyalitas Tunggal
Pada
kasus Partai Golkar misalnya, Menkumham sama sekali tidak menjadikan fakta
permasalahan sebagai acuan keputusan. Dia justru menjadikan kepentingan
politik sebagai dasar keputusannya. Ketetapan hukum tentang kepengurusan PPP
sudah jelas.
Sementara
pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali telah membeberkan fakta-fakta tentang
dugaan pemalsuan surat mandat yang menjadi dasar pelaksanaan Munas Ancol yang
diselenggarakan kubu Agung Laksono dkk. Data-data itu sudah dilaporkan ke
Bareskrim Mabes Polri pada Rabu, 11 Maret 2015. Tidak kurang dari 43 surat mandat
yang tanda tangannya diduga palsu.
Contohnya
surat mandat dari Aceh. Selain itu, ada 104 surat mandat yang kop suratnya
diduga tidak sesuai aslinya. Untuk kasus ini, contohnya surat mandat dari
Nabire. Tidak hanya itu. Ditemukan juga fakta tentang 19 surat mandat yang
diduga stempelnya palsu dengan contoh kasus surat mandat dari Kabupaten
Manggarai, NTT.
Selain
itu, 40 surat mandat diduga tidak memiliki kewenangan menandatangani surat
mandat. Contohnya Gayolues dan Nagan Raya. Seluruhnya ada 133 surat mandat
yang bermasalah.
Perbandingan
surat mandat yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan Munas Bali dan Munas
Ancol pun sangat jelas menggambarkan siapa legitimate dan siapa yang minus
legitimasi. Pelaksanaan Munas Bali diperkuat oleh surat mandat 34 unsur DPD
provinsi dan 512 surat mandat dari unsur DPD kabupaten/kota.
Sementara
itu, Munas Ancol hanya didukung 16 surat mandat dari unsur DPD provinsi dan
260 surat mandat dari unsur kabupaten/kota. Munas Bali legitimate karena
dukungan 100% dari seluruh unsur kepengurusan dari tingkat pusat hingga
kabupaten/kota, sedangkan Munas Ancol hanya 50,55%.
Data-data
ini telah digunakan dalam persidangan Mahkamah Partai Golkar. Maka itu,
keputusan Menkumham memang patut digugat. Apalagi, Ketua Mahkamah Partai
Golkar Profesor Muladi menyebut Munas Bali lebih legitimate .
Karena
itu, dalam pernyataan resmi bersama yang dibacakan di Gedung DPR RI, Jumat
(13/2), KMP harus mengingatkan lagi Menkumham bahwa Indonesia ini negara
hukum, bukan negara kekuasaan. Sebagai menteri hukum, Laoly seharusnya bertindak
ekstrahati-hati, tidak melawan hukum, dan tidak menabrak undang-undang.
Dalam
menyikapi persoalan internal di Partai Golkar dan PPP, Menkumham telah
bertindak sewenang-wenang. Menkumham bertindak dan berkeputusan hanya
berdasarkan kepentingan politik, bukan fakta permasalahan. Maka itu, gagasan
KMP untuk menggunakan hak angket menjadi bentuk perlawanan terhadap
kesewenangwenangan Menkumham itu.
Keputusan
Menkumham yang membuat Partai Golkar dan PPP tetap berselimut konflik bukan
hanya melawan hukum, melainkan jelas-jelas sarat kepentinggan politik. KMP
yakin bahwa model keputusan Menkumham seperti itu tidak pernah
dikonsultasikan dengan Presiden. Bisa dipastikan pula bahwa Presiden Jokowi
sama sekali tidak tahu bahwa keputusan Menkumham justru memihak salah satu
kubu.
KMP
menduga, ada pihak yang coba mengambil keuntungan politik; mengail di air
keruh jika Golkar dan PPP terus berkonflik. Pihak-pihak itu sekaligus ingin
menjauhkan Golkar dan PPP dari pusat kekuasaan. Sejauh ini Golkar di bawah
kepemimpinan Aburizal Bakrie dan PPP kepemimpinan Djan Faridz bersama KMP
secara politik mendukung sejumlah kebijakan Presiden Jokowi.
Kalau
aksi ”begal politik” terhadap Golkar dan PPP tidak dihentikan, aksi ini akan
dijadikan pintu masuk untuk mewujudkan agenda politik lain yang bisa
mengancam kepentingan nasional. Agenda kelompok yang berkepentingan dengan
putusan Menkumham itu jelas menjadi ancaman bagi tatanan demokrasi yang sudah
dan sedang dibangun selama ini.
Selaku
kepala pemerintahan, Presiden Jokowi sebaiknya mengingatkan Menkumham agar
hanya patuh pada perintah Presiden, bukan patuh pada kekuatan lain. Menkumham
harus menunjukkan loyalitas tunggal yakni loyal kepada Presiden. Bukan
loyalitas ganda.
Artinya,
setiap rancangan keputusan menteri harus dikonsultasikan lebih dahulu ke
Presiden. Bukan kepada kekuatan lain yang tidak kompeten. Apalagi jika
keputusan itu menimbulkan dampak yang luas dan strategis bagi masyarakat
maupun pemerintah.
Karena
jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap bangsa dan negara
ini, yang paling bertanggung jawab adalah penghuni Istana, Jalan Medan
Merdeka. Bukan penghuni istana atau rumah di alamat yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar