Selasa, 17 Maret 2015

Melawan Begal Politik dan Mandat Palsu

Melawan Begal Politik dan Mandat Palsu

Bambang Soesatyo  ;  Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI  
KORAN SINDO, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sebuah eksperimen politik sedang berlangsung dengan cara membelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Tentu saja ada agenda tersembunyi di balik eksperimen politik itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendaknya mengamati arah dan target eksperimen dimaksud. Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR sudah terbukti menjadi kekuatan penyeimbang yang kritis konstruktif.

Sejumlah kebijakan presiden yang prorakyat dan prokepentingan nasional mendapat dukungan solid dari KMP. Dari kebutuhan anggaran untuk realisasi program sosial pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sampai keputusan Presiden mengubah figur calon tunggal kepala Polri, semua didukung tanpa reserve oleh KMP.

Ambivalensi justru dipertontonkan kekuatan-kekuatan politik yang selama ini dikenal sebagai pendukung Presiden Jokowi, khususnya semasa kampanye dan pemilihan presiden. Kekuatan-kekuatan politik itu terang-terangan merongrong kepemimpinan Presiden Jokowi.

Mereka mengecam sejumlah menteri Kabinet Kerja yang loyal kepada Presiden, mendesak dilakukan reshuffle kabinet hingga menggagas penggunaan hak angket oleh DPR guna merespons keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri.

Semua perilaku aneh dari kekuatan-kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi itu begitu terang benderang di mata rakyat. Ada apa dengan mereka? Tentu tidak sekadar kekecewaan karena tidak mendapat jatah menteri atau jabatan lain di pemerintahan sekarang ini. Pasti ada agenda besar lain yang ingin diwujudkan walau tidak mudah.

Sudah bisa dipastikan bahwa KMP sama sekali tidak punya agenda menjatuhkan atau memakzulkan Presiden Jokowi. Ketika sejumlah politisi anggota KMP ikut mendorong penggunaan hak angket DPR untuk kasus pembatalan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri, para pemimpin KMP justru memperlihatkan sikap sebaliknya.

Para elite KMP mengingatkan semua pihak menyadari bahwa harga yang akan dibayar bangsa ini akan sangat mahal jika Presiden dimakzulkan untuk alasan-alasan yang tidak relevan. Isu tentang penggunaan hak angket DPR ini akan mengemuka lagi setelah DPR mengakhiri masa reses pekan terakhir Maret 2015.

Pencalonan Komjen Pol Badroedin Haiti sebagai kepala Polri bisa saja berjalan tidak mulus jika kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi melanjutkan sikap ambivalen mereka. Dibutuhkan kekuatan mayoritas di DPR untuk memuluskan penggunaan hak angket itu. Sudah barang tentu partai-partai pendukung Jokowi berharap bisa mendulang dukungan dari komponen-komponen KMP.

Untuk mendulang dukungan dari KMP itulah, dikreasi eksperimen politik dengan memecah belah anggota KMP, utamanya PPP dan Partai Golkar. Ada kekuatan besar yang menata skenario eksperimen itu dan menjadikan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasona H Laoly sebagai eksekutor pemecah PPP dan Golkar.

Eksperimen politik para pembegal demokrasi itu harus dihentikan. Itu sebabnya, parpol anggota KMP di DPR akan menggulirkan hak angket terhadap Menkumham. Dia dipaksa berperilaku seperti ”pembegal”, tepatnya begal demokrasi atau begal politik, karena mencampuri masalah intern Partai Golkar dan PPP.

Loyalitas Tunggal

Pada kasus Partai Golkar misalnya, Menkumham sama sekali tidak menjadikan fakta permasalahan sebagai acuan keputusan. Dia justru menjadikan kepentingan politik sebagai dasar keputusannya. Ketetapan hukum tentang kepengurusan PPP sudah jelas.

Sementara pengurus Partai Golkar hasil Munas Bali telah membeberkan fakta-fakta tentang dugaan pemalsuan surat mandat yang menjadi dasar pelaksanaan Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung Laksono dkk. Data-data itu sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada Rabu, 11 Maret 2015. Tidak kurang dari 43 surat mandat yang tanda tangannya diduga palsu.

Contohnya surat mandat dari Aceh. Selain itu, ada 104 surat mandat yang kop suratnya diduga tidak sesuai aslinya. Untuk kasus ini, contohnya surat mandat dari Nabire. Tidak hanya itu. Ditemukan juga fakta tentang 19 surat mandat yang diduga stempelnya palsu dengan contoh kasus surat mandat dari Kabupaten Manggarai, NTT.

Selain itu, 40 surat mandat diduga tidak memiliki kewenangan menandatangani surat mandat. Contohnya Gayolues dan Nagan Raya. Seluruhnya ada 133 surat mandat yang bermasalah.

Perbandingan surat mandat yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan Munas Bali dan Munas Ancol pun sangat jelas menggambarkan siapa legitimate dan siapa yang minus legitimasi. Pelaksanaan Munas Bali diperkuat oleh surat mandat 34 unsur DPD provinsi dan 512 surat mandat dari unsur DPD kabupaten/kota.

Sementara itu, Munas Ancol hanya didukung 16 surat mandat dari unsur DPD provinsi dan 260 surat mandat dari unsur kabupaten/kota. Munas Bali legitimate karena dukungan 100% dari seluruh unsur kepengurusan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, sedangkan Munas Ancol hanya 50,55%.

Data-data ini telah digunakan dalam persidangan Mahkamah Partai Golkar. Maka itu, keputusan Menkumham memang patut digugat. Apalagi, Ketua Mahkamah Partai Golkar Profesor Muladi menyebut Munas Bali lebih legitimate .

Karena itu, dalam pernyataan resmi bersama yang dibacakan di Gedung DPR RI, Jumat (13/2), KMP harus mengingatkan lagi Menkumham bahwa Indonesia ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Sebagai menteri hukum, Laoly seharusnya bertindak ekstrahati-hati, tidak melawan hukum, dan tidak menabrak undang-undang.

Dalam menyikapi persoalan internal di Partai Golkar dan PPP, Menkumham telah bertindak sewenang-wenang. Menkumham bertindak dan berkeputusan hanya berdasarkan kepentingan politik, bukan fakta permasalahan. Maka itu, gagasan KMP untuk menggunakan hak angket menjadi bentuk perlawanan terhadap kesewenangwenangan Menkumham itu.

Keputusan Menkumham yang membuat Partai Golkar dan PPP tetap berselimut konflik bukan hanya melawan hukum, melainkan jelas-jelas sarat kepentinggan politik. KMP yakin bahwa model keputusan Menkumham seperti itu tidak pernah dikonsultasikan dengan Presiden. Bisa dipastikan pula bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak tahu bahwa keputusan Menkumham justru memihak salah satu kubu.

KMP menduga, ada pihak yang coba mengambil keuntungan politik; mengail di air keruh jika Golkar dan PPP terus berkonflik. Pihak-pihak itu sekaligus ingin menjauhkan Golkar dan PPP dari pusat kekuasaan. Sejauh ini Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dan PPP kepemimpinan Djan Faridz bersama KMP secara politik mendukung sejumlah kebijakan Presiden Jokowi.

Kalau aksi ”begal politik” terhadap Golkar dan PPP tidak dihentikan, aksi ini akan dijadikan pintu masuk untuk mewujudkan agenda politik lain yang bisa mengancam kepentingan nasional. Agenda kelompok yang berkepentingan dengan putusan Menkumham itu jelas menjadi ancaman bagi tatanan demokrasi yang sudah dan sedang dibangun selama ini.

Selaku kepala pemerintahan, Presiden Jokowi sebaiknya mengingatkan Menkumham agar hanya patuh pada perintah Presiden, bukan patuh pada kekuatan lain. Menkumham harus menunjukkan loyalitas tunggal yakni loyal kepada Presiden. Bukan loyalitas ganda.

Artinya, setiap rancangan keputusan menteri harus dikonsultasikan lebih dahulu ke Presiden. Bukan kepada kekuatan lain yang tidak kompeten. Apalagi jika keputusan itu menimbulkan dampak yang luas dan strategis bagi masyarakat maupun pemerintah.

Karena jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap bangsa dan negara ini, yang paling bertanggung jawab adalah penghuni Istana, Jalan Medan Merdeka. Bukan penghuni istana atau rumah di alamat yang lain.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar