Gugatan
Putusan Sarpin
Yosafati Gulo ; Alumnus Magister Ilmu Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 16 Maret 2015
SETELAH
Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pengisian jabatan pimpinan KPK rampung.
Jabatan yang kosong setelah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto
diberhentikan sementara serta M Busyro Muqoddas berkait berakhir masa
tugasnya, kembali terisi. Pimpinan KPK
menjadi 5 orang sebagaimana diatur Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) UU
tentang KPK. Komposisinya, Plt Ketua Taufiequrachman Ruki, Wakil Ketua Johan
Budi SP dan Indriyanto Seno Adji serta Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja.
Bila
dicermati, kandungan perppu tersebut tidak melulu pengisian jabatan yang
kosong. Secara tak langsung, perppu itu malah menggugat Sarpin Rizaldi
sekaligus memberi landasan hukum bagi KPK untuk menyikapi putusan hakim
tersebut. Terlebih kini ada yurisprudensi dari penolakan praperadilan pedagang
sapi di PN Purwokerto (SM, 11/3/15).
Ada
beberapa argumen hukum, pertama; salah satu pertimbangan putusan Sarpin
memenangkan gugatan Komjen Budi Gunawan (BG) atas penetapannya sebagai
tersangka oleh KPK adalah keterangan ahli Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM
pada persidangan 11 Februari 2015. Romli mengatakan, penetapan status BG
sebagai tersangka tidak sah sebab tidak diputuskan oleh 5 pimpinan KPK
sebagaimana diatur Pasal 21 Ayat (5) UU KPK. Bagi dia, istilah kolektif
kolegial dalam pasal itu bermakna 5 orang pimpinan.
Dugaan
saya, Romli lupa bahwa dalam UU KPK tidak satu pun pasal atau ayat yang
mengharuskan jumlah 5 orang pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan. Pasal
21 Ayat (5) menyebut,’’ Pimpinan KPK… bekerja secara kolektif’’. Ayat itu
eksplisit menegaskan,’’ Yang dimaksud dengan ’bekerja secara kolektif’ adalah
bahwa tiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara
bersama-sama oleh pimpinan KPK.’’
Kata
kunci dalam penjelasan itu, ’’disetujui dan diputuskan secara bersama-sama’’,
dan bukan ’’wajib oleh 5 orang’’. Andai pembuat UU menganut pandangan Romli,
sudah pasti formulasi penjelasan Pasal 21 Ayat (5) tidak begitu. Yang paling
mungkin: harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh 5 (lima)
pimpinan KPK. Inilah yang sesuai dengan logika bahasa dan hukum namun
terlupakan oleh Romli dan diabaikan oleh Sarpin.
Kedua;
Pasal 33A Ayat (1) Perppu menegaskan, ”Dalam hal terjadi kekosongan
keanggotaan pimpinan KPK kurang dari 3 orang, Presiden mengangkat…”.
Penegasan ìkurang dari 3 orang” dalam pasal itu bukannya tanpa makna. Dengan
logika bahasa memadai, orang pasti paham bahwa jumlah yang tak dibolehkan
oleh Perppu adalah 2, apalagi 1, tapi tidak harus 5 orang.
Tidak Konsisten
Dalam
kondisi tertentu, hukum membolehkan kurang dari 5, paling sedikit 3 orang.
Perppu berprinsip jumlah minimal 3 orang masih mungkin menghasilkan keputusan
normal. Itulah sebabnya jumlah 3 orang dijadikan batas minimal. Diakui atau
tidak, ketentuan ayat ini implementasi logika Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Prinsipnya, dalam urusan pengambilan keputusan, mengenai jumlah bukanlah
aspek dasar melainkan soal ’’wajib disetujui dan diputuskan secara
bersama-sama’’.
Apa
makna ketentuan Perppu tersebut terhadap putusan Sarpin dan KPK? Jika
dicermati, bisa banyak, antara lain dapat dipakai dasar hukum oleh KPK untuk
menggugat keputusan Sarpin. Pasalnya, dasar pertimbangan putusan hakim
praperadilan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 33A ayat (1). Apa yang
diatur oleh pasal itu bukan baru sama sekali. Ia hanya menegaskan logika
Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Memang
ada pakar hukum berpendapat putusan hakim Sarpin tidak dapat digugat melalui
PK. Alasannya, ketentuan Pasal 263
KUHAP telah mengatur secara limitatif pengajuan PK. Antara lain, hanya
dimungkinkan oleh terpidana atau ahli waris (Pasal 263 Angka 1 KUHAP).
Sementara posisi KPK dalam kasus itu tidak jelas kata Mudzakir, pakar hukum
pidana dari UII Yogyakarta (sindonews.com,
7/3/15).
Namun
pintu masuk KPK adalah ketentuan Pasal 263 Angka 2 Huruf c yang menyatakan PK
dapat dilakukan bila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan nyata. Ketentuan inilah dapat menjadi pintu masuk
KPK untuk mengajukan PK kepada MA.
Selain
itu, perlu diingat bahwa hakim Sarpin
tidak konsisten menafsirkan ketentuan Pasal 77 KUHAP. Di satu sisi, ia
melebarkan penafsiran terhadap objek praperadilan yang tegas dan jelas diatur
secara limitatif. Namun di sisi lain, cara penafsiran yang sama tidak
diterapkan dalam memaknai terminologi penyelenggara negara/penegak hukum.
Itu
artinya, upaya KPK mengajukan PK kepada MA bukanlah mustahil. Lebih-lebih
terhadap putusan Sarpin yang tak konsisten menafsirkan bunyi UU tetapi
putusannya berdampak serius pada sistem hukum. KPK tak boleh diam, perlu mengajukan
PK kepada MA. Sebab putusan pengadilan yang melakukan ’’terobosan’’ atas
bunyi UU hanya mungkin dikoreksi dengan ’’terobosan’’ hukum pula sesuai
konteksnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar