Senin, 16 Maret 2015

Aliansi Kebencian

Aliansi Kebencian

Asep Salahudin ;  Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

AKHIR-AKHIR ini bangsa kita tengah didera cobaan berupa menjamurnya sikap tidak terpuji, yakni kebencian, baik antarpartai ataupun satu ormas dengan ormas lainnya atau bahkan ormas dengan kaum penguasa. Kebencian yang notabene merupakan anasir kekerasan simbolis apabila tak terkendali tidak mustahil, pada gilirannya, menjadi kekerasan fisik. Pergelaran perang dan konflik berkepanjangan selalu bermula dari kebencian, dari kesumat yang terus dirawat dan beranak-pinak.

Kebencian dalam politik biasanya bermula ketika kekalahan tidak diterima dengan lapang, saat kemenangan yang semula sudah dibayangkan ternyata berpindah haluan ke pihak lawan. Konsep kawan dan lawan dirumuskan bukan berdasarkan `akal sehat', melainkan semata atas kesamaan `nasib' dan keserupaan kepentingan.

Dalam konteks ini, apa pun tindakan `lawan' walaupun positif selalu dicarikan celah untuk dipandang negatif, apatah lagi kalau tindakan lawan keliru tentu akan dijadikan amunisi untuk tidak pernah berhenti mendegradasi pihak lawan politiknya. Permaafan dan sikap lapang menjadi tindakan tidak karib dalam suasana gelap seperti ini.

Teologi kebencian

Kebencian dalam teologi lebih rumit lagi karena bertemali dengan proses panjang penafsiran terhadap jejaring teks-teks Tuhan yang berbeda satu dengan lainnya, baik karena perbedaan metodologi yang digunakan atau tersebab konteks sosial budaya yang berlainan. Kelahiran mazhab dan aliran dalam agama sering bermula dari pusaran ini. Heterogenitas sekte menjadi tak terelakkan.

Kebencian dalam teologi bukan terjadi akhir-akhir ini saja bahkan kalau ditarik ke belakang juga terjadi pascawafatnya Muhammad SAW, dan terutama semakin mengharu biru pada akhir khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu dikenal sebagai tahkim (arbitrasi). Dalam sejarah Islam kita mengenal diksi mihnah. Mihnah itu semacam inkuisisi. Cara kerjanya diawali dengan penisbatan kesesatan kepada pihak lawan sehingga layak dihukum gantung. Mihnah semacam tindakan teror dan penyiksaan penguasa yang telah mendapatkan stempel kaum fuqaha terhadap para alim yang dianggap berseberangan pikiran. Mihnah dahulu dengan keji dipertontonkan tiga kepemimpinan masa Dinasti Abbasiyah; Al-Makmun, Al-Mutashim, dan Al-Wasiq. Isu utamanya seputar `keterciptaan Alquran' dan kebebasan berpikir (filsafat).

Dalam tradisi Kristen zaman itu terjadi abad pertengahan ketika kebenaran dimonopoli pendeta dan hanya mereka yang paling berhak menafsirkan realitas dan kitab suci, tafsir di luar itu dianggap haram dan harus dimusnahkan bukan hanya pemikirannya melainkan juga orangnya. Alwi Alatas (2009) mendefinisikan inkuisisi sebagai, “...sebuah lembaga gerejawi (ecclesiastical institution), sekaligus lembaga kehakiman gereja Katolik (Roman Catholic tribunal) yang bertujuan untuk menyelidiki dan menghukum penyimpangan teologi Kristen (heresy, bid'ah). Lembaga ini dibentuk langsung oleh lembaga kepausan (papal), terutama setelah dikeluarkannya Excommunicamus oleh Paus Gregory IX pada 1231. Dewan inkuisisi ketika itu dibentuk untuk membersihkan kekristenan dari bahaya penyimpangan kaum Cathar dan Albigensian. Sejak itu, dewan yang didominasi ordo Dominikan dan Fransiskan ini menjadi suatu alat yang ampuh untuk menghancurkan aliran-aliran teologi yang berseberangan dengan gereja Katolik.“

Saya tidak tahu apakah menjamurnya ormas eksklusif dan fundamentalistis yang selalu bernafsu memaksakan kehendak ialah embrio dari ideologi mihnah? Ormasormas radikal sebagai sisa-sisa peninggalan sejarah silam yang hidup abad ke-21, tetapi alam pikiran mereka selalu ditarik dalam fantasi nalar skolastik, fikih mereka ditautkan pada akal masa lalu ketika kawasan negara dibelah secara bipolar berdasarkan sentimen agama Darul Islam (negara Islam) dan Darul Harbi (negara musuh), bahasa politiknya terhunjam dalam dongengan kejayaan khilafah yang berwatak utopis transnasional.

Tentu saja ketika negara tidak memberikan kepastian hukum dan tidak pernah hadir dengan sikap yang tegas, tidak menutup kemungkinan gerakan keagamaan yang memiliki agenda sendiri dalam kehidupan berbangsa akan semakin merajalela.

Perkawinan mengerikan

Lebih mengerikan lagi kalau terjadi perkawinan silang antara politik dan teologi. Dahulu perkawinan ini telah membawa korban terbunuhnya Husain di Karbala, terpasungnya Syekh Siti Jennar di Jawa, atau dieksekusinya al-Hallaj karena fatwa-fatwanya dipandang dapat membangkitkan kaum jelata Qaramithah untuk melakukan perlawanan terhadap rezim. Wahabisme bisa dengan leluasa bukan saja mengimpor ajarannya, melainkan juga di tanah kelahirannya Arab Saudi membungkam setiap suara yang berbeda, menyekap kaum intelektual yang tidak serupa pemikirannya.Atau Syi'isme Iran yang tidak pernah lelah mempromosikan sistem politik wilayatul faqih mereka untuk diekspor ke negara-negara yang dipandang tidak `islami'.

Dalam ungkapan Jean Paul Sartre, kekerasan akan kian berkobar manakala umat beragama (para pemimpinnya) sudah mulai berhasrat menjadi tuhan dan memandang liyan sebagai setan yang harus lekas diburu dan dibumihanguskan. `Setan' yang mereka bayangkan sendiri sebagai `orang lain' yang kelak akan masuk neraka kecuali kalau terlebih dahulu `diluruskan' hatta dengan pedang. Di pusaran ini sesungguhnya stigma bidah, kafir, mungkar, dan haram jadah direproduksi untuk menegasikan `liyan' dan mempermudah identifikasi kelompok sosial-keagamaan.

Dari perkawinan ini gerakan politik seolah mendapatkan basis legitimasi metafisis dari teologi sehingga dikesankan tampil sebagai gerakan jihad fi sabilillah, bukan saja semata merebut kursi profan kekuasaan melainkan juga sekaligus menegakkan peran sakral amar ma'ruf nahyil munkar. Sebaliknya, ormas keagamaan mendapatkan keuntungan finansial dan legitimasi konstitusional ketika didukung kekuatan partai politik.

Gerakan politik secara kuantitatif diuntungkan gerakan keagamaan yang biasanya sangat mudah memobilisasi massa, gerakan keagamaan mendapatkan dukungan moral dari kaum politisi yang biasanya fasih berbicara UU dan memiliki modal sosial kuat untuk meraih kursi kekuasaan atau minimal memiliki akses ke kekuasaan. Perkawinan `siri' ini, apabila tidak dihentikan, dapat mempercepat keruntuhan bangunan keindonesiaan yang majemuk.

Rumusan `Ketuhanan yang Berkebudayaan' yang diusulkan Bung Karno dan atau jauh ke belakang ikrar kaum muda pada 28 November 1928 masih tetap relevan untuk kita artikulasikan dalam politik harian kebangsaan untuk semakin menegaskan eksistensi keindonesiaan.Bangsa ini akan besar ketika penghayatan keagamaan (ketuhanan) tetap dipijakkan di atas hamparan halaman kebudayaan, pada kearifan lokal yang bertebaran sepanjang garis khatulistiwa, dalam palung puak yang jumlahnya ratusan. Kepada bahasa Indonesia, tanah air, dan kebangsaan seharusnya kita bermufakat untuk tetap menjunjung tinggi dan tak lelah mendorong lahirnya negara kesejahteraan dalam payung politik multikulturalisme kewargaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar