Aliansi
Kebencian
Asep Salahudin ; Dekan
Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Peneliti Lakpesdam
PWNU Jawa Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Maret 2015
AKHIR-AKHIR
ini bangsa kita tengah didera cobaan berupa menjamurnya sikap tidak terpuji,
yakni kebencian, baik antarpartai ataupun satu ormas dengan ormas lainnya
atau bahkan ormas dengan kaum penguasa. Kebencian yang notabene merupakan
anasir kekerasan simbolis apabila tak terkendali tidak mustahil, pada
gilirannya, menjadi kekerasan fisik. Pergelaran perang dan konflik
berkepanjangan selalu bermula dari kebencian, dari kesumat yang terus dirawat
dan beranak-pinak.
Kebencian
dalam politik biasanya bermula ketika kekalahan tidak diterima dengan lapang,
saat kemenangan yang semula sudah dibayangkan ternyata berpindah haluan ke
pihak lawan. Konsep kawan dan lawan dirumuskan bukan berdasarkan `akal
sehat', melainkan semata atas kesamaan `nasib' dan keserupaan kepentingan.
Dalam konteks
ini, apa pun tindakan `lawan' walaupun positif selalu dicarikan celah untuk
dipandang negatif, apatah lagi kalau tindakan lawan keliru tentu akan
dijadikan amunisi untuk tidak pernah berhenti mendegradasi pihak lawan
politiknya. Permaafan dan sikap lapang menjadi tindakan tidak karib dalam
suasana gelap seperti ini.
Teologi kebencian
Kebencian
dalam teologi lebih rumit lagi karena bertemali dengan proses panjang
penafsiran terhadap jejaring teks-teks Tuhan yang berbeda satu dengan
lainnya, baik karena perbedaan metodologi yang digunakan atau tersebab
konteks sosial budaya yang berlainan. Kelahiran mazhab dan aliran dalam agama
sering bermula dari pusaran ini. Heterogenitas sekte menjadi tak terelakkan.
Kebencian
dalam teologi bukan terjadi akhir-akhir ini saja bahkan kalau ditarik ke
belakang juga terjadi pascawafatnya Muhammad SAW, dan terutama semakin
mengharu biru pada akhir khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu dikenal
sebagai tahkim (arbitrasi). Dalam sejarah Islam kita mengenal diksi mihnah.
Mihnah itu semacam inkuisisi. Cara kerjanya diawali dengan penisbatan
kesesatan kepada pihak lawan sehingga layak dihukum gantung. Mihnah semacam tindakan teror dan
penyiksaan penguasa yang telah mendapatkan stempel kaum fuqaha terhadap para alim yang dianggap berseberangan pikiran.
Mihnah dahulu dengan keji dipertontonkan tiga kepemimpinan masa Dinasti
Abbasiyah; Al-Makmun, Al-Mutashim, dan Al-Wasiq. Isu utamanya seputar
`keterciptaan Alquran' dan kebebasan berpikir (filsafat).
Dalam tradisi
Kristen zaman itu terjadi abad pertengahan ketika kebenaran dimonopoli pendeta
dan hanya mereka yang paling berhak menafsirkan realitas dan kitab suci,
tafsir di luar itu dianggap haram dan harus dimusnahkan bukan hanya
pemikirannya melainkan juga orangnya. Alwi Alatas (2009) mendefinisikan
inkuisisi sebagai, “...sebuah lembaga gerejawi (ecclesiastical institution), sekaligus lembaga kehakiman gereja
Katolik (Roman Catholic tribunal)
yang bertujuan untuk menyelidiki dan menghukum penyimpangan teologi Kristen (heresy, bid'ah). Lembaga ini dibentuk
langsung oleh lembaga kepausan (papal), terutama setelah dikeluarkannya Excommunicamus oleh Paus Gregory IX
pada 1231. Dewan inkuisisi ketika itu dibentuk untuk membersihkan kekristenan
dari bahaya penyimpangan kaum Cathar dan Albigensian. Sejak itu, dewan yang
didominasi ordo Dominikan dan Fransiskan ini menjadi suatu alat yang ampuh
untuk menghancurkan aliran-aliran teologi yang berseberangan dengan gereja
Katolik.“
Saya tidak
tahu apakah menjamurnya ormas eksklusif dan fundamentalistis yang selalu
bernafsu memaksakan kehendak ialah embrio dari ideologi mihnah? Ormasormas
radikal sebagai sisa-sisa peninggalan sejarah silam yang hidup abad ke-21,
tetapi alam pikiran mereka selalu ditarik dalam fantasi nalar skolastik,
fikih mereka ditautkan pada akal masa lalu ketika kawasan negara dibelah
secara bipolar berdasarkan sentimen agama Darul Islam (negara Islam) dan
Darul Harbi (negara musuh), bahasa politiknya terhunjam dalam dongengan
kejayaan khilafah yang berwatak utopis transnasional.
Tentu saja
ketika negara tidak memberikan kepastian hukum dan tidak pernah hadir dengan
sikap yang tegas, tidak menutup kemungkinan gerakan keagamaan yang memiliki
agenda sendiri dalam kehidupan berbangsa akan semakin merajalela.
Perkawinan mengerikan
Lebih
mengerikan lagi kalau terjadi perkawinan silang antara politik dan teologi.
Dahulu perkawinan ini telah membawa korban terbunuhnya Husain di Karbala,
terpasungnya Syekh Siti Jennar di Jawa, atau dieksekusinya al-Hallaj karena
fatwa-fatwanya dipandang dapat membangkitkan kaum jelata Qaramithah untuk melakukan
perlawanan terhadap rezim. Wahabisme bisa dengan leluasa bukan saja mengimpor
ajarannya, melainkan juga di tanah kelahirannya Arab Saudi membungkam setiap
suara yang berbeda, menyekap kaum intelektual yang tidak serupa
pemikirannya.Atau Syi'isme Iran yang tidak pernah lelah mempromosikan sistem
politik wilayatul faqih mereka untuk diekspor ke negara-negara yang dipandang
tidak `islami'.
Dalam ungkapan
Jean Paul Sartre, kekerasan akan kian berkobar manakala umat beragama (para
pemimpinnya) sudah mulai berhasrat menjadi tuhan dan memandang liyan sebagai
setan yang harus lekas diburu dan dibumihanguskan. `Setan' yang mereka
bayangkan sendiri sebagai `orang lain' yang kelak akan masuk neraka kecuali
kalau terlebih dahulu `diluruskan' hatta dengan pedang. Di pusaran ini
sesungguhnya stigma bidah, kafir, mungkar, dan haram jadah direproduksi untuk
menegasikan `liyan' dan mempermudah identifikasi kelompok sosial-keagamaan.
Dari
perkawinan ini gerakan politik seolah mendapatkan basis legitimasi metafisis
dari teologi sehingga dikesankan tampil sebagai gerakan jihad fi sabilillah,
bukan saja semata merebut kursi profan kekuasaan melainkan juga sekaligus
menegakkan peran sakral amar ma'ruf
nahyil munkar. Sebaliknya, ormas keagamaan mendapatkan keuntungan
finansial dan legitimasi konstitusional ketika didukung kekuatan partai
politik.
Gerakan
politik secara kuantitatif diuntungkan gerakan keagamaan yang biasanya sangat
mudah memobilisasi massa, gerakan keagamaan mendapatkan dukungan moral dari
kaum politisi yang biasanya fasih berbicara UU dan memiliki modal sosial kuat
untuk meraih kursi kekuasaan atau minimal memiliki akses ke kekuasaan.
Perkawinan `siri' ini, apabila tidak dihentikan, dapat mempercepat keruntuhan
bangunan keindonesiaan yang majemuk.
Rumusan
`Ketuhanan yang Berkebudayaan' yang diusulkan Bung Karno dan atau jauh ke
belakang ikrar kaum muda pada 28 November 1928 masih tetap relevan untuk kita
artikulasikan dalam politik harian kebangsaan untuk semakin menegaskan
eksistensi keindonesiaan.Bangsa ini akan besar ketika penghayatan keagamaan
(ketuhanan) tetap dipijakkan di atas hamparan halaman kebudayaan, pada
kearifan lokal yang bertebaran sepanjang garis khatulistiwa, dalam palung
puak yang jumlahnya ratusan. Kepada bahasa Indonesia, tanah air, dan kebangsaan
seharusnya kita bermufakat untuk tetap menjunjung tinggi dan tak lelah
mendorong lahirnya negara kesejahteraan dalam payung politik
multikulturalisme kewargaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar