Jumat, 13 Maret 2015

Menyoal Bantuan Dana Parpol

Menyoal Bantuan Dana Parpol

Aminuddin  ;  Peneliti Politik di Bulaksumur Empat;
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 12 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Masih segar dari ingatan kita bahwa anggota legislatif telah mengesahkan dana rumah aspirasi yang dibiayai negara. Kini ada lagi usulan yang menggelitik terkait dana partai politik (parpol). Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, menggulirkan wacana bantuan dana kepada parpol untuk dibiayai uang rakyat.

Dana parpol tersebut akan dibiayai negara Rp 1 triliun. Artinya, negara akan menanggung anggaran parpol melebihi dana yang telah ditanggung sebelumnya, yaitu Rp 13,7 miliar. Mendagri yang juga mantan sekretaris jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut beralasan, dana dari negara ini bertujuan mengikis budaya korupsi parpol yang memang sedang marak terjadi. Selama ini, korupsi selalu dilakukan kader partai di legislatif, dengan tujuan mendanai parpol sekaligus sebagai balas budi yang telah mengusungnya.

Terkait dana parpol yang akan dibiayai negara, banyak kalangan dari legislator yang merespons positif. Salah satunya Wakil Ketua DPR yang juga kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah. Menurutnya, dana dari negara akan memutus akar korupsi dari parpol. Namun, tidak sedikit kalangan yang menolak wacana tersebut. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla terkejut mendengar wacana tersebut.

Selama ini, parpol yang berkontestasi dalam demokrasi memang selalu bermasalah dengan pendanaan parpol. Parpol selalu galau ketika dihadapkan pada pendanaan. Dana parpol selalu diserahkan kepada tiga sumber pokok: iuran anggota, sumbangan yang sah menurut kacamata hukum, dan bantuan keuangan dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN)/anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

Khusus yang pertama, iuran dari anggota menjadi problem tersendiri. Pasalnya anggota dan kader parpol kerap menjadi ujung tombak. Ketika menjadi ujung tombak dalam pendanaan parpol, berbagai cara pun dilakukan, termasuk korupsi di institusinya.

Mahalnya dana parpol di negeri ini harus dipikul bersama oleh kader maupun legislatif. Dana parpol merupakan roh bergerak/tidaknya mesin parpol. Ketika dana parpol sehat, mesin parpol akan bergerak. Di sinilah semua elemen parpol bergerak cepat mencari dana parpol. Bisa-bisa modal untuk menghidupkan parpol tersebut adalah melakukan dengan cara tidak halal.

Parpol dan biaya politik memang menjadi sebuah keniscayaan dalam mengarungi kontestasi politik Tanah Air. Tanpa dana parpol, akan sulit untuk menjalankan mesin parpol itu sendiri. Terkait beban biaya parpol yang semakin menggunung, banyak cara yang diakali elite parpol untuk menambal sulam biaya parpol.

Pendanaan untuk parpol untuk saat ini memang sudah diberikan terhadap parpol yang lolos di ambang batas parlemen. Tercatat, ada 10 parpol yang lolos dan menghabiskan dana Rp 13,17 miliar.

Di antara parpol yang memperoleh dana paling tinggi adalah PDIP karena memenangkan Pemilu 2014. Dari bantuan keuangan tersebut, PDIP yang memperoleh 109 kursi di DPR mendapat kucuran dana Rp 2,55 miliar per tahun. Parpol yang memperoleh dana paling sedikit adalah partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan Rp 701,58 juta.

Miskin Pengawasan

Jika wacana pembiayaan parpol itu benar-benar direalisasikan, negara benar-benar terbebani ongkos politik yang semestinya ditanggung 0kader parpol. Sebenarnya, dana yang dikucurkan negara senilai Rp 13,17 miliar sudah tergolong tinggi. Terlebih, perolehan dana tersebut sudah dihitung berdasarkan kursi yang diperoleh pada Pemilu 2014.

Akar masalah yang akan timbul jika wacana tersebut direalisasikan adalah miskinnya pengawasan dari masyarakat terhadap pengelolaan parpol. Selama ini, kita jarang mendapatkan informasi mengenai pengelolaan dana parpol. Hal ini terjadi karena pengelolaan dana parpol cenderung tertutup dan tidak transparan.

Akar masalah berikutnya adalah, dana tersebut tidak menjamin bahwa praktik korupsi akan ditekan di internal parpol. Pasalnya, korupsi dewasa ini telah menjadi budaya dan sudah mendarah daging.

Ketika budaya korupsi tetap masih dilakukan, siapa yang akan mengontrol di internal parpol itu sendiri? Tentunya tidak akan ada jaminan dari parpol untuk memberi pengawasan dan pengelolaan transparan untuk diketahui publik.

Menjadi janggal bila dana parpol yang rencananya akan dibebankan kepada negara senilai Rp 1 triliun tersebut benar-benar terealisasi. Dana yang sedemikian tingginya juga belum tentu mendorong parpol ke arah lebih baik, baik dari kinerja maupun perekrutan kader berkualitas. Ini membuat regulasi pembatasan dana parpol dalam aktivitas kampanye, merupakan cara yang cukup realistis guna menekan biaya politik yang tinggi.

Regulasi tersebut dapat direalisasikan kepada seluruh parpol. Jika ada parpol yang melanggar regulasi tersebut, jangan segan-segan mediskualifikasi parpol tersebut agar tidak ikut dalam pilkadav maupun pemilihan legislatif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar