Anggaran
Siluman dan Politik Buldoser Ahok
Nico Harjanto ; Direktur
Eksekutif Populi Center; Ketua Umum Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik
Indonesia) sejak 2013;
Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina;
Alumni Doktor Ilmu Politik dari Northern Illinois University, Amerika
Serikat
|
DETIKNEWS,
12 Maret 2015
Perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
dan DPRD terkait dugaan anggaran siluman di RAPBD DKI Jakarta telah
berkembang menjadi masalah politik dan hukum. Silang sengkarut yang kemudian
melahirkan konflik kelembagaan antara eksekutif versus legislatif pernah
terjadi di banyak daerah.
Di Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi NTT pada 2013,
misalnya, bupati dan para pegawai negeri sipil bahkan sampai berdemo ke DPRD
supaya RAPBD segera disahkan. Namun perseteruan Ahok versus DPRD ini sangat
berbeda.
Hal ini karena inti masalahnya sebenarnya terletak pada
adopsi e-budgeting oleh Ahok yang kemudian dapat membuka kotak pandora berisi
anggaran-anggaran siluman yang biasanya merupakan titipan dari para oknum
pemburu rente di DPRD kepada sejumlah SKPD di Pemerintah Provinsi Jakarta.
Sebelum adanya sistem elektronik ini, para begal anggaran di legislatif dan
pemerintah daerah sangat mudah untuk menyusupkan beragam item proyek dan
kegiatan untuk mendapatkan komisi dari para pemenang tender yang sudah
diatur.
Sudah jamak terjadi di pemerintah pusat maupun terlebih di
daerah, adanya unholy alliance
antara para pejabat publik, birokrat, makelar, dan supplier untuk menggangsir
uang rakyat dengan beragam modus dan manifestasinya. Bagi para pejabat publik,
korupsi anggaran ini adalah cara paling cepat untuk mengembalikan investasi
politik maupun membayar utang kampanye mereka dalam pemilu. Meski yang
berhasil dibuktikan secara hukum hanya sebagian kecil, praktek korupsi
anggaran telah banyak mengantarkan para pejabat dan jejaring korupsinya masuk
penjara.
Sejak dimulainya pilkada langsung pada 2005 hingga awal
tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 318 dari 524 kepala dan
wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dengan praktek politik
yang semakin legislative heavy pada
masa Reformasi ini, ribuan anggota dewan di pusat dan daerah telah menjadi
pesakitan hukum karena kasus korupsi. Bahkan, di beberapa daerah, seperti di
Sumatera Barat, Papua Barat, Bolaang Mongondow Timur, dan Kutai Kartanegara,
pernah semua anggota DPRD yang menjabat pada periode tertentu tersangkut
kasus korupsi secara bersamaan.
Meski demikian, muslihat patgulipat anggaran masih kerap
terjadi. Beberapa waktu lalu, misalnya, publik dikagetkan dengan pembelian
sendok dan piring untuk rumah dinas Wali Kota Makassar yang mencapai Rp 1,2
miliar, anggaran setengah miliar untuk pembuatan pidato Jokowi sewaktu
menjadi Gubernur Jakarta, hingga sewa pawang hujan. Sebelum mengungkap
anggaran siluman Rp 12,7 triliun di APBD versi DPRD Jakarta, Ahok pernah
mengemukakan adanya usulan anggaran Rp 8,8 triliun untuk sosialisasi SK
gubernur.
Sebagai politikus generasi baru yang memegang prinsip
transparansi dan akuntabilitas, reaksi Ahok yang sangat frontal terhadap DPRD
Jakarta selain menunjukkan karakter kepemimpinannya yang tidak kompromistis
sebenarnya juga sangat terukur. Hitungan politik Ahok lebih canggih
dibandingkan sejumlah pemain politik utama di DPRD, yang pengalaman
bertandingnya masih seperti pemain politik antarkampung.
Ahok telah melewati sejumlah medan politik berat di
Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, DPR, hingga masuk ke DKI Jakarta.
Ahok paham sekali betapa tidak kredibelnya DPRD di mata rakyat. Apalagi
sejumlah pimpinan DPRD Jakarta telah rusak reputasinya karena kasus korupsi
di masa lalu, keterkaitannya dengan premanisme, maupun perilaku tidak terpuji
lainnya. Lebih dari itu, Ahok merupakan pemimpin yang nothing to lose saat
ini dalam memperjuangkan hal-hal yang prinsipiil.
Namun bergulirnya hak angket bukanlah tekanan politik
biasa. Dengan melompati hak interpelasi, DPRD Jakarta memandang perlu adanya
akselerasi untuk memproses Ahok secara politik, yang ujungnya tentu ada yang
mengharapkan sampai ke pemakzulan. Hak angket dan langkah hukum DPRD lainnya juga
akan menyulitkan Ahok untuk beberapa waktu ke depan.
Pertama, pengesahan APBD di Kemendagri bisa
berlarut-larut, sehingga rakyat Jakarta akan menjadi korban. Mereka akan
mudah diprovokasi untuk menyalahkan Ahok sebagai biang keroknya. Kedua,
merespons Ahok yang melaporkan kasus terkait anggaran ke KPK, DPRD juga
merencanakan langkah-langkah hukum untuk mengadukan Ahok ke polisi. Jika
polisi memprosesnya, Ahok dan jajarannya juga akan tersita waktu dan
pikirannya.
Ketiga, dalam kondisi gerakan pemberantasan korupsi yang
sedang masuk angin karena kriminalisasi, bisa jadi laporan Ahok tidak akan
segera ditindaklanjuti karena internal KPK sedang bergejolak dan memiliki
tunggakan perkara yang banyak. Jika tidak segera ada tindakan dari KPK, tentu
komplotan begal anggaran akan merasa di atas angin sehingga bisa lebih
leluasa menghajar Ahok yang tidak berpartai. Keempat, karena oknum DPRD pasti
bekerja sama dengan oknum pemerintah provinsi, sangat mungkin mereka akan
bersiasat untuk cari selamat dengan melawan Ahok dari dalam.
Dalam kondisi menang secara moral politik dan dukungan
publik, langkah-langkah Ahok sepertinya akan mengarah pada zero-sum game.
Baginya, hak angket merupakan kesempatan untuk menjalankan politik buldoser
guna menghancurkan sindikat anggaran, baik di legislatif maupun eksekutif.
Lewat e-budgeting,
Ahok juga membuldoser praktek-praktek manual penggangsiran anggaran yang
nantinya dapat menjadi contoh bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
memperbaiki proses penyusunan dan penggunaan anggaran.
Karena itu, dukungan luas bagi Ahok sebenarnya bukan
semata-mata untuk dirinya, tapi pada upayanya memodernisasi anggaran yang
lebih transparan dan akuntabel. Saatnya beralih dari save Ahok ke save e-budgeting karena, apa pun hasil
akhirnya, Ahok tetaplah menjadi pahlawan meski risikonya harus dimakzulkan
atau sampai masuk penjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar