Jumat, 13 Maret 2015

Anggaran Siluman dan Politik Buldoser Ahok

Anggaran Siluman dan Politik Buldoser Ahok

Nico Harjanto  ;  Direktur Eksekutif Populi Center; Ketua Umum Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) sejak 2013;
Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina;
Alumni Doktor Ilmu Politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat
DETIKNEWS, 12 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD terkait dugaan anggaran siluman di RAPBD DKI Jakarta telah berkembang menjadi masalah politik dan hukum. Silang sengkarut yang kemudian melahirkan konflik kelembagaan antara eksekutif versus legislatif pernah terjadi di banyak daerah.

Di Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi NTT pada 2013, misalnya, bupati dan para pegawai negeri sipil bahkan sampai berdemo ke DPRD supaya RAPBD segera disahkan. Namun perseteruan Ahok versus DPRD ini sangat berbeda.

Hal ini karena inti masalahnya sebenarnya terletak pada adopsi e-budgeting oleh Ahok yang kemudian dapat membuka kotak pandora berisi anggaran-anggaran siluman yang biasanya merupakan titipan dari para oknum pemburu rente di DPRD kepada sejumlah SKPD di Pemerintah Provinsi Jakarta. Sebelum adanya sistem elektronik ini, para begal anggaran di legislatif dan pemerintah daerah sangat mudah untuk menyusupkan beragam item proyek dan kegiatan untuk mendapatkan komisi dari para pemenang tender yang sudah diatur.

Sudah jamak terjadi di pemerintah pusat maupun terlebih di daerah, adanya unholy alliance antara para pejabat publik, birokrat, makelar, dan supplier untuk menggangsir uang rakyat dengan beragam modus dan manifestasinya. Bagi para pejabat publik, korupsi anggaran ini adalah cara paling cepat untuk mengembalikan investasi politik maupun membayar utang kampanye mereka dalam pemilu. Meski yang berhasil dibuktikan secara hukum hanya sebagian kecil, praktek korupsi anggaran telah banyak mengantarkan para pejabat dan jejaring korupsinya masuk penjara.

Sejak dimulainya pilkada langsung pada 2005 hingga awal tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 318 dari 524 kepala dan wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dengan praktek politik yang semakin legislative heavy pada masa Reformasi ini, ribuan anggota dewan di pusat dan daerah telah menjadi pesakitan hukum karena kasus korupsi. Bahkan, di beberapa daerah, seperti di Sumatera Barat, Papua Barat, Bolaang Mongondow Timur, dan Kutai Kartanegara, pernah semua anggota DPRD yang menjabat pada periode tertentu tersangkut kasus korupsi secara bersamaan.

Meski demikian, muslihat patgulipat anggaran masih kerap terjadi. Beberapa waktu lalu, misalnya, publik dikagetkan dengan pembelian sendok dan piring untuk rumah dinas Wali Kota Makassar yang mencapai Rp 1,2 miliar, anggaran setengah miliar untuk pembuatan pidato Jokowi sewaktu menjadi Gubernur Jakarta, hingga sewa pawang hujan. Sebelum mengungkap anggaran siluman Rp 12,7 triliun di APBD versi DPRD Jakarta, Ahok pernah mengemukakan adanya usulan anggaran Rp 8,8 triliun untuk sosialisasi SK gubernur.

Sebagai politikus generasi baru yang memegang prinsip transparansi dan akuntabilitas, reaksi Ahok yang sangat frontal terhadap DPRD Jakarta selain menunjukkan karakter kepemimpinannya yang tidak kompromistis sebenarnya juga sangat terukur. Hitungan politik Ahok lebih canggih dibandingkan sejumlah pemain politik utama di DPRD, yang pengalaman bertandingnya masih seperti pemain politik antarkampung.

Ahok telah melewati sejumlah medan politik berat di Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, DPR, hingga masuk ke DKI Jakarta. Ahok paham sekali betapa tidak kredibelnya DPRD di mata rakyat. Apalagi sejumlah pimpinan DPRD Jakarta telah rusak reputasinya karena kasus korupsi di masa lalu, keterkaitannya dengan premanisme, maupun perilaku tidak terpuji lainnya. Lebih dari itu, Ahok merupakan pemimpin yang nothing to lose saat ini dalam memperjuangkan hal-hal yang prinsipiil.

Namun bergulirnya hak angket bukanlah tekanan politik biasa. Dengan melompati hak interpelasi, DPRD Jakarta memandang perlu adanya akselerasi untuk memproses Ahok secara politik, yang ujungnya tentu ada yang mengharapkan sampai ke pemakzulan. Hak angket dan langkah hukum DPRD lainnya juga akan menyulitkan Ahok untuk beberapa waktu ke depan.

Pertama, pengesahan APBD di Kemendagri bisa berlarut-larut, sehingga rakyat Jakarta akan menjadi korban. Mereka akan mudah diprovokasi untuk menyalahkan Ahok sebagai biang keroknya. Kedua, merespons Ahok yang melaporkan kasus terkait anggaran ke KPK, DPRD juga merencanakan langkah-langkah hukum untuk mengadukan Ahok ke polisi. Jika polisi memprosesnya, Ahok dan jajarannya juga akan tersita waktu dan pikirannya.

Ketiga, dalam kondisi gerakan pemberantasan korupsi yang sedang masuk angin karena kriminalisasi, bisa jadi laporan Ahok tidak akan segera ditindaklanjuti karena internal KPK sedang bergejolak dan memiliki tunggakan perkara yang banyak. Jika tidak segera ada tindakan dari KPK, tentu komplotan begal anggaran akan merasa di atas angin sehingga bisa lebih leluasa menghajar Ahok yang tidak berpartai. Keempat, karena oknum DPRD pasti bekerja sama dengan oknum pemerintah provinsi, sangat mungkin mereka akan bersiasat untuk cari selamat dengan melawan Ahok dari dalam.

Dalam kondisi menang secara moral politik dan dukungan publik, langkah-langkah Ahok sepertinya akan mengarah pada zero-sum game. Baginya, hak angket merupakan kesempatan untuk menjalankan politik buldoser guna menghancurkan sindikat anggaran, baik di legislatif maupun eksekutif.

Lewat e-budgeting, Ahok juga membuldoser praktek-praktek manual penggangsiran anggaran yang nantinya dapat menjadi contoh bagi pemerintah pusat dan daerah dalam memperbaiki proses penyusunan dan penggunaan anggaran.

Karena itu, dukungan luas bagi Ahok sebenarnya bukan semata-mata untuk dirinya, tapi pada upayanya memodernisasi anggaran yang lebih transparan dan akuntabel. Saatnya beralih dari save Ahok ke save e-budgeting karena, apa pun hasil akhirnya, Ahok tetaplah menjadi pahlawan meski risikonya harus dimakzulkan atau sampai masuk penjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar