Jumat, 13 Maret 2015

Mendorong Kemandirian Parpol

Mendorong Kemandirian Parpol

Tasroh  ;  PNS di Pemkab Banyumas,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
SUARA MERDEKA, 12 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

RENCANA pemerintah memberikan dana penyelenggaraan partai politik Rp 1 triliun, mengambil dari APBN, menuai pro dan kontra. Adalah Mendagri Tjahjo Kumolo yang menggulirkan gagasan itu, dengan mendalihkan meminimalkan risiko korupsi lewat kader partai (SM, 9/3/15). Merunut ke belakang, lontaran gagasan dia yang juga Sekjen PDIP sebetulnya bukan hal baru mengingat rezim sebelumnya berulang kali mewacanakan.

Dana bantuan untuk parpol sudah jamak di beberapa negara, semisal di Tiongkok, Jepang, atau beberapa negara di Eropa. Di Jepang bahkan diembel-embeli syarat bahwa dana itu hanya diberikan kepada parpol yang mempunyai ’’visi dan misi serta ideologi positif’’ bagi kepentingan negara. Sebaliknya, parpol yang tidak mampu menjalankan kinerja politik sesuai dengan aspirasi rakyat, justru berisiko dibubarkan. Bantuan itu pun diaudit ketat sehingga memacu kinerja parpol.

Sebaliknya, dalam lanskap politik di Indonesia, lebih banyak elite mendirikan parpol hanya untuk mengeruk kekuasaan dan modal atau fasilitas negara. Kajian ICW (2006) menyebutkan bahwa perilaku dan tabiat parpol di Indonesia menjadi hotbed korupsi sehingga banyak politikus terjerat kasus hukum.

Riset Fitra (2014) juga menyebutkan dana parpol di Indonesia datang dari berbagai pos. Artinya, parpol Indonesia bukan sedang kekurangan duit tetapi kurang berideologi demokrasi politik yang bersih dan profesional. Maka perhatian pemerintah kita kepada parpol bukannya membantu on cash melainkan sebesar-besarnya fasilitasi guna membangun kemandiriannya.

Berkaca pada tabiat parpol di Indonesia yang sarat perilaku korup, sebenarnya pewacanaan dana bantuan itu mencederai agenda membangun kemandirian dan kedaulatan parpol. Kita bisa melihat, meskipun tertatih-tatih beberapa parpol mampu mandiri secara keuangan, lantaran mendapatkan pasokan dana berlebih dari berbagai pos, baik sah, abu-abu, maupun tidak sah.

Ada beberapa alasan kenapa parpol harus mandiri. Pertama; menjaga independensi sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Problem terberat kerja  parpol adalah melakukan kerja-kerja kenegaraan dalam hal pengawasan, pengendalian, dan pemantauan jalannya pemerintahan, sekaligus pengawasan terhadap fungsi-fungsi negara.

Netralitas Parpol

Kasus dana siluman di DKI Jakarta pun terjadi karena legislator yang semestinya menjadi  watch dog pemanfaatan keuangan negara, berubah menjadi pengerat uang rakyat. Termasuk anggota DPR yang semestinya mengawasi tata kelola negara justru sering bertindak sebagai eksekutif yang sering ’’membegal’’ anggaran negara dengan berbagai agendanya.

Kedua; mencegah kekacauan peran dan kewenangan. Ruang gerak parpol sebagai alat checks and balances sebagaimana disebutkan Christian Joe dalam Politic Integrity (2006) hakikatnya agar kerja parpol benar-benar terpisah dari kerja pemerintah. Untuk itu, parpol harus netral dan tak perlu dibiayai negara karena bisa memengaruhi kualitas kerja parpol itu.

Bahkan Joe berpendapat andai parpol sepenuhnya didanai negara, nantinya tak hanya memicu kekacauan kewenangan dan tugas tapi juga mengerdilkannya. Partai itu secara otomatis akan bertindak sebagai client dan mereka cenderung menjadi pembebek yang pasif submisif terhadap apa pun keputusan pemerintah.

Ketiga; mencegah praktik KKN. Omong kosong bila parpol diberi bantuan dana pemerintah secara otomatis bisa mencegah perilaku korup di antara kadernya. Riset ICW (2005) menyebutkan tak ada korelasi positif terkait dengan besaran bantuan pemerintah kepada pihak mana pun guna mencegah korupsi.

Hal itu selaras dengan pendapat pakar keuangan dari Jepang, Kun Yamato dalam Politic Business (2007) yang mengatakan, terkait masalah uang, siapa pun dan kapan pun tidak akan memengaruhi watak dan tabiatnya untuk berubah. Justru yang terjadi makin banyak mendapat uang, semisal dari banyak sumber maka naluri menguasai uang pun makin besar. Buktinya, meski ada pegawai kementerian/institusi sudah mendapat remunerasi besar, perilaku korup masih saja terjadi.

Untuk itu, pemerintah semestinya mendorong parpol untuk mandiri dengan cara menguatkan manajemen, menyederhanakan jumlah parpol, dan menegakkan hukum politik. Selain itu, memberdayakan peran parpol dalam membangun ideologi yang prorakyat, serta sebaliknya berhenti menjinakkan parpol karena hanya akan mengancam kedaulatan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar