Menimbang
Subsidi Parpol
Laode Ida ; Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas
Negeri Jakarta;
Ketua DPD RI 2004-2014
|
REPUBLIKA,
17 Maret 2015
Wacana
Mendagri Tjahjo Kumolo untuk menyubsidi dana parpol dari APBN dengan usulan
Rp 1 triliun per parpol menarik untuk didiskusikan. Ide kebijakan itu
tampaknya mendapat sambutan positif di kalangan para petinggi parpol, bahkan
diminta untuk segera direalisasikan kendati mendapat reaksi negatif—penolakan
dari sejumlah pihak di luar parpol.
Gagasan
seperti itu memang tidak baru. Anas Urbaningrum (Republika, 16/3/2015)
mengingatkan bagian dari sejarah wacana itu sejak awal reformasi yang
kemudian perwujudannya ternyata sangat kecil dibandingkan dengan keperluan
riil parpol untuk mencukupi segela keperluan operasionalnya. Padahal, untuk
bisa berkonsentrasi dengan baik menjalankan tugas negara melalui parpol, para
politisi di parlemen maupun yang dipercaya di eksekutif tak boleh dibebankan
dengan tugas-tugas ekstra mencari uang kepentingan parpolnya.
Hitungan
nyata porsi anggaran dari APBN yang selama ini diberikan pada parpol
tampaknya tak mungkin bisa membiayai seluruh aktivitas parpol karena dasar
perhitungannya sekitar Rp 100-an per suara yang diperoleh. Sehingga Partai
Demokrat saja yang memperoleh 21.703.137 suara untuk DPR atau 150 kursi di
DPR pada Pemilu 2009 hanya kebagian anggaran rutin dari APBN sebesar Rp
2.213.719.974 per tahun dan Partai Hanura yang paling sedikit perolehan
suaranya hanya memperoleh Rp 400.132.740 per tahunnya.
Apa
yang kemudian terjadi? Seperti umumnya publik bangsa ini tahu, untuk
membiayai partai secara by design dilakukan cara-cara ilegal seperti korupsi
dan atau sumbangan “di bawah tangan” dari sejumlah pebinsis yang
berkepentingan menggarap proyek APBN/APBD atau harapan memperoleh kemudahan
peluang bisnis tertentu.
Posisi
parpol yang paling banyak memegang jabatan kekuasaan di parlemen maupun di
eksekutif, dengan demikian, akan berjalan bersamaan dengan keleluasaan dalam
menggarap sumber-sumber dana ilegal yang terbuka itu, dan sebaliknya. Tak
mengherankan kalau parpol besar akan tetap mapan berada pada posisi papan
atas, sementara yang kecil sangat rentan tergusur karena tak mencapai ambang
batas parlemen akibat kalah dalam adu kuat dalam menyuap rakyat dalam pemilu.
Apa
yang mau dikatakan di sini, di balik ide subsidi parpol itu sebenarnya secara
tak langsung terdapat pengakuan jujur atas praktik korupsi politik yang
terjadi selama ini. Para politisi memanfaatkan posisi, kewenangan, dan
kekuasaan mereka dengan secara terselubung menggarap anggaran negara untuk
sebagian dialirkan ke parpolnya, sebagian lagi untuk pribadinya. Dan tiap
politisi yang paling banyak berkontribusi pada parpol, maka yang bersangkutan
akan dianggap sebagai “good politician” di mana biasanya akan dapat prioritas
jika ada peluang mengisi posisi strategis di parlemen maupun eksekutif.
Maka
tak heran kalau sejumlah banyak politisi terjebak praktik korupsi atau mafia
anggaran negara. Bahkan kasus mutakhir yang hangat diperbincangkan, yakni
adanya dana siluman di DPRD DKI, bukan mustahil sebagai wujud “rencana
korupsi berjamaah para politisi untuk sebagian dikontribusikan pada parpol
mereka”. Dan perlu dicatat bahwa sebenarnya pos-pos anggaran titipan para
politisi seperti itu juga terjadi di umumnya daerah di Indonesia hingga hari
ini.
Hanya
saja di Jakarta ada Ahok yang berani blak-blakan dan berhadapan secara
terbuka dengan para politisi. Sementara di berbagai daerah lainnya dianggap
sudah lazim sehingga saling memahami dan oleh karena itu suasananya
damai-damai saja.
Dalam
konteks ini, subsidi APBN untuk dana parpol barangkali bisa dikatakan
memiliki tujuan mulia jika memang niatnya untuk meniadakan praktik korupsi
politik bagi para politisi penyelenggara negara. Soal nilai nominalnya tentu
jadi persoalan teknis yang perlu didiskusikan secara lebih saksama nan bijak
lagi.
Soalnya
di satu pihak, rakyat bangsa ini sudah muak dengan praktik dan perilaku korup
para pejabat dan politisi penyelenggara negara yang tak pernah kapok dan tak
pernah takut akibat hukum dari perbuatan mereka itu—ditambah lagi dengan para
penegak hukum yang masih mentransaksikan kasus-kasus korupsi. Namun di pihak
lain, parpol diposisikan sebagai pilar penting dalam penyelenggara negara
demokrasi sehingga sudah tidak mungkin untuk ditiadakan dari pentas negara
ini.
Singkatnya,
upaya perbaikan parpol yang citranya memburuk seperti hari-hari ini dilakukan
dengan strategi intervensi negara melalui kepastian dan kecukupan anggaran
operasionalnya. Negara besar yang kaya raya ini tentu harus berkewajiban
menjadikan parpolnya bersih dan profesional sehingga alokasi dana untuk
parpol pun harusnya menjadi kewajiban konstitusional di era reformasi ini.
Apalagi
harapan parpol untuk memperoleh sumbangan atau iuran dana rutin dari para
anggotanya agaknya gagal karena di samping sangat minim warga yang ideologis,
juga umumnya tak peduli atau bahkan mengalami krisis kepercayaan terhadap
parpol.
Jika
perguliran gagasan ini kemudian mengarah pada kebijakan negara untuk parpol,
maka hemat saya, setidaknya harus mempersiapkan tiga syarat utama. Pertama,
setiap parpol harus mau menerima perlakuan yang sama seperti instansi,
lembaga, dan atau badan pemerintah yang mengelola dana APBN, yakni harus
menerapkan prinsip transparansi dan akuntabel. Setiap jenis kegiatan dan
anggaran yang dibiayai oleh dana APBN/APBD harus mau diaudit oleh akuntan
publik maupun BPK. Para “pemilik parpol” pun tak lagi bisa seenaknya
menjadikan dana parpol sebagai sumber untuk memperkaya diri dan keluarga.
Kedua,
porsi alokasi anggaran harus berangkat dari prinsip keadilan, tak boleh ada
perbedaan antara satu parpol dengan lainnya. Posisi parpol, jika ini
diterapkan, harus sama-sama kembali ke titik nol, tidak berdasarkan jumlah
perolehan suara atau kursi parlemen seperti sekarang ini. Hal ini barangkali
akan dapat resistensi dari parpol yang sudah berada pada papan atas sekarang
ini.
Ketiga,
kritera terbentuknya parpol harus diperketat sehingga daya rangsang untuk
membentuk parpol tidak seperti yang lalu-lalu. Karena dengan adanya subsidi
parpol, jika diwujudkan akan mendorong sejumlah figur, utamanya yang berduit,
untuk membentuk parpol karena toh nanti akan ada biaya dari negara. Dan
jajaran KPU yang akan menyeleksi parpol baru pun akan rentan bertransaksi
dengan para pemodal yang membentuk parpol.
Yang
jauh lebih penting lagi dari semua itu, jika parpol memperoleh subsidi dari
APBN, harus ada pemberlakuan sanksi berat dan tegas bagi politisi dan atau
parpol manapun yang ternyata masih juga terlibat korupsi dan atau mafia anggaran.
Barangkali, selain penjara bagi para pelakunya, maka sanksi peniadaan subsidi
dan bahkan diskualifikasi bagi parpol perlu dipertimbangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar