Kamis, 19 Maret 2015

Menimbang Subsidi Parpol

Menimbang Subsidi Parpol

Laode Ida  ;  Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta;
Ketua DPD RI 2004-2014
REPUBLIKA, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Wacana Mendagri Tjahjo Kumolo untuk menyubsidi dana parpol dari APBN dengan usulan Rp 1 triliun per parpol menarik untuk didiskusikan. Ide kebijakan itu tampaknya mendapat sambutan positif di kalangan para petinggi parpol, bahkan diminta untuk segera direalisasikan kendati mendapat reaksi negatif—penolakan dari sejumlah pihak di luar parpol.

Gagasan seperti itu memang tidak baru. Anas Urbaningrum (Republika, 16/3/2015) mengingatkan bagian dari sejarah wacana itu sejak awal reformasi yang kemudian perwujudannya ternyata sangat kecil dibandingkan dengan keperluan riil parpol untuk mencukupi segela keperluan operasionalnya. Padahal, untuk bisa berkonsentrasi dengan baik menjalankan tugas negara melalui parpol, para politisi di parlemen maupun yang dipercaya di eksekutif tak boleh dibebankan dengan tugas-tugas ekstra mencari uang kepentingan parpolnya.

Hitungan nyata porsi anggaran dari APBN yang selama ini diberikan pada parpol tampaknya tak mungkin bisa membiayai seluruh aktivitas parpol karena dasar perhitungannya sekitar Rp 100-an per suara yang diperoleh. Sehingga Partai Demokrat saja yang memperoleh 21.703.137 suara untuk DPR atau 150 kursi di DPR pada Pemilu 2009 hanya kebagian anggaran rutin dari APBN sebesar Rp 2.213.719.974 per tahun dan Partai Hanura yang paling sedikit perolehan suaranya hanya memperoleh Rp 400.132.740 per tahunnya.

Apa yang kemudian terjadi? Seperti umumnya publik bangsa ini tahu, untuk membiayai partai secara by design dilakukan cara-cara ilegal seperti korupsi dan atau sumbangan “di bawah tangan” dari sejumlah pebinsis yang berkepentingan menggarap proyek APBN/APBD atau harapan memperoleh kemudahan peluang bisnis tertentu.

Posisi parpol yang paling banyak memegang jabatan kekuasaan di parlemen maupun di eksekutif, dengan demikian, akan berjalan bersamaan dengan keleluasaan dalam menggarap sumber-sumber dana ilegal yang terbuka itu, dan sebaliknya. Tak mengherankan kalau parpol besar akan tetap mapan berada pada posisi papan atas, sementara yang kecil sangat rentan tergusur karena tak mencapai ambang batas parlemen akibat kalah dalam adu kuat dalam menyuap rakyat dalam pemilu.

Apa yang mau dikatakan di sini, di balik ide subsidi parpol itu sebenarnya secara tak langsung terdapat pengakuan jujur atas praktik korupsi politik yang terjadi selama ini. Para politisi memanfaatkan posisi, kewenangan, dan kekuasaan mereka dengan secara terselubung menggarap anggaran negara untuk sebagian dialirkan ke parpolnya, sebagian lagi untuk pribadinya. Dan tiap politisi yang paling banyak berkontribusi pada parpol, maka yang bersangkutan akan dianggap sebagai “good politician” di mana biasanya akan dapat prioritas jika ada peluang mengisi posisi strategis di parlemen maupun eksekutif.

Maka tak heran kalau sejumlah banyak politisi terjebak praktik korupsi atau mafia anggaran negara. Bahkan kasus mutakhir yang hangat diperbincangkan, yakni adanya dana siluman di DPRD DKI, bukan mustahil sebagai wujud “rencana korupsi berjamaah para politisi untuk sebagian dikontribusikan pada parpol mereka”. Dan perlu dicatat bahwa sebenarnya pos-pos anggaran titipan para politisi seperti itu juga terjadi di umumnya daerah di Indonesia hingga hari ini.

Hanya saja di Jakarta ada Ahok yang berani blak-blakan dan berhadapan secara terbuka dengan para politisi. Sementara di berbagai daerah lainnya dianggap sudah lazim sehingga saling memahami dan oleh karena itu suasananya damai-damai saja.

Dalam konteks ini, subsidi APBN untuk dana parpol barangkali bisa dikatakan memiliki tujuan mulia jika memang niatnya untuk meniadakan praktik korupsi politik bagi para politisi penyelenggara negara. Soal nilai nominalnya tentu jadi persoalan teknis yang perlu didiskusikan secara lebih saksama nan bijak lagi.

Soalnya di satu pihak, rakyat bangsa ini sudah muak dengan praktik dan perilaku korup para pejabat dan politisi penyelenggara negara yang tak pernah kapok dan tak pernah takut akibat hukum dari perbuatan mereka itu—ditambah lagi dengan para penegak hukum yang masih mentransaksikan kasus-kasus korupsi. Namun di pihak lain, parpol diposisikan sebagai pilar penting dalam penyelenggara negara demokrasi sehingga sudah tidak mungkin untuk ditiadakan dari pentas negara ini.

Singkatnya, upaya perbaikan parpol yang citranya memburuk seperti hari-hari ini dilakukan dengan strategi intervensi negara melalui kepastian dan kecukupan anggaran operasionalnya. Negara besar yang kaya raya ini tentu harus berkewajiban menjadikan parpolnya bersih dan profesional sehingga alokasi dana untuk parpol pun harusnya menjadi kewajiban konstitusional di era reformasi ini.

Apalagi harapan parpol untuk memperoleh sumbangan atau iuran dana rutin dari para anggotanya agaknya gagal karena di samping sangat minim warga yang ideologis, juga umumnya tak peduli atau bahkan mengalami krisis kepercayaan terhadap parpol.

Jika perguliran gagasan ini kemudian mengarah pada kebijakan negara untuk parpol, maka hemat saya, setidaknya harus mempersiapkan tiga syarat utama. Pertama, setiap parpol harus mau menerima perlakuan yang sama seperti instansi, lembaga, dan atau badan pemerintah yang mengelola dana APBN, yakni harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabel. Setiap jenis kegiatan dan anggaran yang dibiayai oleh dana APBN/APBD harus mau diaudit oleh akuntan publik maupun BPK. Para “pemilik parpol” pun tak lagi bisa seenaknya menjadikan dana parpol sebagai sumber untuk memperkaya diri dan keluarga.

Kedua, porsi alokasi anggaran harus berangkat dari prinsip keadilan, tak boleh ada perbedaan antara satu parpol dengan lainnya. Posisi parpol, jika ini diterapkan, harus sama-sama kembali ke titik nol, tidak berdasarkan jumlah perolehan suara atau kursi parlemen seperti sekarang ini. Hal ini barangkali akan dapat resistensi dari parpol yang sudah berada pada papan atas sekarang ini.

Ketiga, kritera terbentuknya parpol harus diperketat sehingga daya rangsang untuk membentuk parpol tidak seperti yang lalu-lalu. Karena dengan adanya subsidi parpol, jika diwujudkan akan mendorong sejumlah figur, utamanya yang berduit, untuk membentuk parpol karena toh nanti akan ada biaya dari negara. Dan jajaran KPU yang akan menyeleksi parpol baru pun akan rentan bertransaksi dengan para pemodal yang membentuk parpol.

Yang jauh lebih penting lagi dari semua itu, jika parpol memperoleh subsidi dari APBN, harus ada pemberlakuan sanksi berat dan tegas bagi politisi dan atau parpol manapun yang ternyata masih juga terlibat korupsi dan atau mafia anggaran. Barangkali, selain penjara bagi para pelakunya, maka sanksi peniadaan subsidi dan bahkan diskualifikasi bagi parpol perlu dipertimbangkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar