Kamis, 19 Maret 2015

Alarm Nasi Aking

Alarm Nasi Aking

Sutia Budi  ;  Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta
REPUBLIKA, 17 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Apa kabar, Pak Presiden? Apa kabar, Kabinet Kerja? Kini sebagian rakyatmu telah kembali lagi ke nasi aking dan tiwul. Nasi aking adalah nasi sisa yang dijemur sampai kering lalu dikukus kembali untuk dapat dihidangkan.

Guna menambah selera, nasi aking biasanya ditaburi garam dan kelapa. Tiwul adalah makanan pengganti beras dari ketela atau singkong. Memilih nasi aking dan tiwul tentu bukanlah keinginan atau sekadar mencoba makanan daur ulang. Namun, itu dipilih karena desakan ekonomi yang menghantam. Biasanya, seiring naiknya harga beras, harga nasi aking pun merangkak naik.

Berbagai sumber telah mewartakan kita, daerah-daerah penghasil padi seperti Cirebon dan Indramayu di Jawa Barat mengalami kejadian ironis. Pada Februari 2015, sebagian warganya terpaksa mengonsumsi nasi aking. Alasannya karena ketiadaan dan mahalnya harga beras. Nenek Rahma (70 tahun) dan tetangganya di Dusun Jagalan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, juga terpaksa mengonsumsi nasi aking. Nenek Samilah (80), warga Desa Karangwungu, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, sudah tak mampu lagi membeli beras dan nasi akinglah menjadi pilihan yang tak bisa ditawar.

Sebagian warga Desa Purwo Asri, Kota Metro, Lampung, memilih tiwul sebagai pengganti nasi. Makanan alternatif itu dipilih karena sulitnya memenuhi beban hidup. Di Ibu Kota, sekitar 30 warga miskin di Jakarta Utara memilih nasi aking karena tak kuat lagi membeli beras. Mereka terpaksa mencari nasi bekas sisa karyawan Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Cilincing. Tragis memang, tapi itulah pilihan yang harus diambil demi bertahan hidup.

Melalui Bulog, pemerintah telah melakukan penyaluran raskin, operasi pasar (OP), serta penurunan satuan tugas. Hal ini dilakukan agar distribusi beras sampai ke sasaran serta memastikan harganya sesuai. Bulog yakin dengan dua kewenangannya sebagaimana instruksi pemerintah, yakni melakukan OP dan penyaluran raskin, dapat menekan dan mengendalikan harga beras.

Sisi lain, banyak pengamat tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Khudori, misalnya, meminta Bulog agar jangan hanya mengandalkan OP dan satgas dalam distribusi, tapi juga koordinasi dengan pedagang eceran di pasar. Ke depan, pemerintah juga perlu meningkatkan produksi dengan melakukan efisiensi tata produksi, membenahi administrasi perdagangan beras dalam dan luar negeri. Pemerintah pun perlu melakukan audit gudang dan distribusi agar titik-titik permainan harga beras dapat terlihat. Dan yang tak kalah pentingnya kelembagaan Bulog harus diperkuat agar menjadi instrumen pemerintah dalam perannya sebagai pengendali harga (Republika, Februari 2015).

Sayangnya, raskin yang telah disalurkan pun buruk kualitasnya. Beras yang diterima masyarakat sudah berwarna kuning, bau apek, dan berkutu. Masyarakat melakukan berbagai cara agar beras bisa dikonsumsi. Maka tak heran jika masyarakat menilai, harga raskin yang dibayarkan tak sesuai dengan kualitas beras yang didapatkan.

Swasembada beras tampaknya masih menjadi mimpi yang sulit diwujudkan, padahal kita adalah negara agraris. Dalam hierarki kebutuhan, beras adalah kebutuhan dasar. Tapi ini selalu menjadi masalah tak berkesudahan. Pemerintah kembali gugup ketika di beberapa daerah, rakyat kembali makan nasi aking. Pemerintah selalu melemparkan senjata "mari bersabar" ketika rakyat makan tiwul. Sungguh, tanpa disuruh pun, rakyat Indonesia sudah sabar.

Melemahnya nilai tukar rupiah serta menurunnya beberapa indikator ekonomi makro tentu harus jadi perhatian serius pemerintah. Namun, lagi-lagi bagi rakyat kecil, beras adalah kebutuhan yang tak bisa ditunda. Artinya, perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar beras sebagai makanan pokok di atas segalanya. Walaupun kita sadari aspek-aspek itu saling berkaitan.

Menggugah kembali nasihat Prof Sayogyo (1977) yang dikenal dengan Garis Kemiskinan Sajogyo. Kelompok miskin adalah rumah tangga yang mengonsumsi pangan kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun per kepala di pedesaan atau 369 kg di perkotaan. Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan, yakni 2.172 kalori per orang per hari. Dengan memasukkan harga beras setempat, dapat dihitung jumlah rupiah pengeluaran sebagai indikator garis kemiskinan.

Walau pendapat itu dikritik pada masa berikutnya, tapi Sayogyo telah mengisyaratkan pesan kepada kita ketersediaan beras merupakan hal utama. Si kaya dan si miskin, di kota ataupun desa, semuanya membutuhkan beras. Angka di bawah Garis Kemiskinan Sajogyo termasuk kategori miskin. Ingat, sebagian mereka masih mampu membeli beras. Lalu, derajat kemiskinan apa yang layak disematkan kepada mereka yang hari ini kembali makan nasi aking setiap harinya?

Jumlah penduduk miskin Indonesia dalam Laporan BPS pada September 2014 mencapai 27,73 juta jiwa (10,96 persen). Jumlah ini akan semakin bertambah pada triwulan I 2015 seiring naiknya harga beras. Apalagi, Garis Kemiskinan yang digunakan pada September 2014 hanya Rp 296.681 per kapita per bulan untuk daerah perdesaan dan Rp 326.853 untuk daerah perkotaan.

Penganekaragaman pangan tentu menjadi agenda penting. Demikian halnya dengan kampanye pola konsumsi gizi seimbang dengan mengurangi porsi karbohidrat (beras). Namun sekali lagi, peradaban pangan kita adalah beras, nasi adalah identitas Indonesia, dan pijakan peradaban kita adalah pertanian. Maka kebutuhan pokok rakyat yang sulit ditawar tidak lain adalah beras.

Nasi aking adalah alarm bagi Indonesia. Kehadirannya merupakan sebuah pertanda bahaya bahwa darurat pangan benar-benar telah terjadi. Pemerintah melalui jajarannya harus bertindak cepat dan nyata karena rakyat miskin tidak butuh retorika.

Swasembada pangan adalah prasyarat kedaulatan pangan dan beras adalah pangan yang paling vital. Jangan bermimpi swasembada beras jika masih tebersit kata "impor" di benak aparatur negara. Bustanul Arifin (2007) menyatakan, karena beraslah hampir semua rezim kita jatuh atau dijatuhkan. Ketika sebuah rezim lebih memilih menomorduakan kedaulatan pangan (memenuhi kebutuhan beras rakyat), dengan sendirinya ia sedang menggali lubang kuburnya.

Di media, banyak yang sesumbar bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan khususnya untuk komoditas beras bisa terwujud tahun ini, lebih cepat dibanding target pemerintah pada 2017. Jika memang benar adanya, rakyat ingin segera merasakan. Pertanyaan berikutnya, jika beras sudah tersedia, lalu mampukah si miskin membelinya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar