APBD
Jakarta dan Perburuan Rente Partai Politik
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik di The Habibie Center
|
SINAR
HARAPAN, 18 Maret 2015
Dalam
sebulan terakhir ini, suhu politik di ibu kota Jakarta tengah memanas. Apa
lagi penyebabnya jika bukan perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.
Perseteruan
mereka dipicu proses penyusunan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) 2015. Ahok melihat terdapat dana siluman mencapai Rp
12,1 triliun yang disusupkan DPRD dalam APBD tersebut.
Mantan
Bupati Belitung itu menuding telah terjadi persekongkolan di DPRD, untuk
mengubah anggaran yang telah disepakati bersama dalam rapat paripurna. Ahok
pun menolak mengirimkan APBD tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri).
Pihak
DPRD menilai Ahok menabrak prosedur penyusunan dan pengesahan APBD, karena
tidak mengirimkan APBD hasil rapat paripurna kepada Kemendagri. Elite-elite
politik di DPRD kemudian menumpahkan kekecewaan politik mereka terhadap Ahok
dengan menggulirkan penggunaan hak angket. Rapat mediasi antara Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dan DPRD di kantor Kemendagri beberapa hari lalu pun
berakhir buntu tanpa jalan keluar.
Hak
angket merupakan hak yang dimiliki anggota dewan, baik DPR maupun DPRD, untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau
kebijakan pemerintah berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak
luas kepada masyarakat, yang diduga bertentangan dengan undang-undang.
Reaksi
politik yang ditunjukkan DPRD dengan menggulirkan penggunaan hak angket,
mengundang kecurigaan publik. Ini terlihat dari kemunculan gerakan
petisi #?GueAhok? dan ?#?SaveAhok?.
Sikap
reaktif DPRD tersebut boleh jadi karena memang benar ada dana siluman di APBD
hasil “tangan-tangan kreatif” di DPRD, sebagaimana diungkapkan Ahok. Bukan
tidak mungkin, dana siluman muncul di APBD sebagai buah kolusi elite-elite
politik di DPRD dengan dinas di Provinsi DKI Jakarta.
Rente
Bila
dilihat dari perspektif lebih luas, perseteruan antara Ahok dan DPRD terkait
keberadaan dana siluman di APBD sangat terkait erat dengan perburuan rente
partai politik. Tidak dapat dimungkiri, kebutuhan partai politik terhadap
dana besar, agar mesin politik dapat berfungsi secara maksimal, telah
mendorong elite-elite politik berlaku koruptif.
Partai
politik membutuhkan sumber pendanaan besar, agar mesin politik dapat
berfungsi maksimal dalam mendulang suara pemilih pada pemilihan umum. Dengan
uang, partai politik atau kandidat dapat membayar jasa konsultan, memasang
iklan di media massa, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk memenangi
pemilihan.
Secara
umum, ada dua modus utama perburuan rente partai politik. Pertama, melalui
lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dalam lingkup legislative, perburuan rente
dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran,
menggerogoti anggaran negara/daerah, transaksi dalam pemilihan pejabat
publik, dan transaksi dalam proses legislasi.
Kedua,
melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif, perburuan rente
dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha
milik negara, dan institusi pemerintahan yang memiliki akses dana besar.
Perburuan
rente juga dilakukan dengan menyewakan partai politik, sebagai kendaraan
untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan
harga fantastis. Kontrol publik yang sangat terbatas, serta ketiadaan
transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, semakin menguatkan
persekongkolan para elite politik.
Robert
Klitgaard pernah memberikan rumus mengenai korupsi, berdasarkan penelitian di
beberapa negara Asia. Rumus itu adalah C=D+M-A (C: corruption, D: discretion,
M: monopoly, dan A: accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini
relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente
dilakukan oleh elite politik.
Rumus
Klitgaard menggambarkan korupsi terbentuk akibat kuatnya kewenangan dan
monopoli atas kebijakan. Pada saat bersamaan, akuntabilitas sangat lemah.
(Klitgaard, 2002: 29)
Maraknya
korupsi, yang melibatkan elite-elite politik dan pejabat publik, merupakan
salah satu ironi besar demokrasi kita hari ini. Mereka mendapat legitimasi
kekuasaan dari rakyat. Namun setelah berkuasa, mereka justru mengisap
sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan
rakyat.
Merujuk
elaborasi di atas, dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik
saat ini didorong tiga hal: (1) Praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam
sistem politik Indonesia; (2) Kekuasaan terlampau besar partai politik dalam
menentukan kebijakan dan anggaran, tanpa disertai pengawasan dan kesadaran
pertanggungjawaban publik, serta (3) Ketidaktegasan sanksi politik dan pidana
bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Ke
depan, diperlukan langkah-langkah reformasi keuangan partai politik. Tiga
langkah reformasi keuangan partai politik mencakup reformasi sumber keuangan
partai politik, reformasi pengelolaan keuangan partai politik, dan reformasi
pengeluaran keuangan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar