Kamis, 19 Maret 2015

APBD Jakarta dan Perburuan Rente Partai Politik

APBD Jakarta dan Perburuan Rente Partai Politik

Bawono Kumoro  ;  Peneliti Politik di The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 18 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dalam sebulan terakhir ini, suhu politik di ibu kota Jakarta tengah memanas. Apa lagi penyebabnya jika bukan perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Perseteruan mereka dipicu proses penyusunan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015. Ahok melihat terdapat dana siluman mencapai Rp 12,1 triliun yang disusupkan DPRD dalam APBD tersebut.

Mantan Bupati Belitung itu menuding telah terjadi persekongkolan di DPRD, untuk mengubah anggaran yang telah disepakati bersama dalam rapat paripurna. Ahok pun menolak mengirimkan APBD tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Pihak DPRD menilai Ahok menabrak prosedur penyusunan dan pengesahan APBD, karena tidak mengirimkan APBD hasil rapat paripurna kepada Kemendagri. Elite-elite politik di DPRD kemudian menumpahkan kekecewaan politik mereka terhadap Ahok dengan menggulirkan penggunaan hak angket. Rapat mediasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD di kantor Kemendagri beberapa hari lalu pun berakhir buntu tanpa jalan keluar.

Hak angket merupakan hak yang dimiliki anggota dewan, baik DPR maupun DPRD, untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas kepada masyarakat, yang diduga bertentangan dengan undang-undang.

Reaksi politik yang ditunjukkan DPRD dengan menggulirkan penggunaan hak angket, mengundang kecurigaan publik. Ini terlihat dari kemunculan gerakan petisi  #?GueAhok? dan ?#?SaveAhok?.

Sikap reaktif DPRD tersebut boleh jadi karena memang benar ada dana siluman di APBD hasil “tangan-tangan kreatif” di DPRD, sebagaimana diungkapkan Ahok. Bukan tidak mungkin, dana siluman muncul di APBD sebagai buah kolusi elite-elite politik di DPRD dengan dinas di Provinsi DKI Jakarta.

Rente               

Bila dilihat dari perspektif lebih luas, perseteruan antara Ahok dan DPRD terkait keberadaan dana siluman di APBD sangat terkait erat dengan perburuan rente partai politik. Tidak dapat dimungkiri, kebutuhan partai politik terhadap dana besar, agar mesin politik dapat berfungsi secara maksimal, telah mendorong elite-elite politik berlaku koruptif.

Partai politik membutuhkan sumber pendanaan besar, agar mesin politik dapat berfungsi maksimal dalam mendulang suara pemilih pada pemilihan umum. Dengan uang, partai politik atau kandidat dapat membayar jasa konsultan, memasang iklan di media massa, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk memenangi pemilihan.

Secara umum, ada dua modus utama perburuan rente partai politik. Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dalam lingkup legislative, perburuan rente dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, menggerogoti anggaran negara/daerah, transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan transaksi dalam proses legislasi.

Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif, perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan yang memiliki akses dana besar.

Perburuan rente juga dilakukan dengan menyewakan partai politik, sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis. Kontrol publik yang sangat terbatas, serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. 

Robert Klitgaard pernah memberikan rumus mengenai korupsi, berdasarkan penelitian di beberapa negara Asia. Rumus itu adalah C=D+M-A (C: corruption, D: discretion, M: monopoly, dan A: accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan oleh elite politik.

Rumus Klitgaard menggambarkan korupsi terbentuk akibat kuatnya kewenangan dan monopoli atas kebijakan. Pada saat bersamaan, akuntabilitas sangat lemah. (Klitgaard, 2002: 29)

Maraknya korupsi, yang melibatkan elite-elite politik dan pejabat publik, merupakan salah satu ironi besar demokrasi kita hari ini. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan dari rakyat. Namun setelah berkuasa, mereka justru mengisap sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Merujuk elaborasi di atas, dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini didorong tiga hal: (1) Praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia; (2) Kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran, tanpa disertai pengawasan dan kesadaran pertanggungjawaban publik, serta (3) Ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.

Ke depan, diperlukan langkah-langkah reformasi keuangan partai politik. Tiga langkah reformasi keuangan partai politik mencakup reformasi sumber keuangan partai politik, reformasi pengelolaan keuangan partai politik, dan reformasi pengeluaran keuangan partai politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar