Mengukur
Plus Minus Pelemahan Rupiah
Sunarsip ; Komisaris
Bank BRI Syariah; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2015
Sejak pertengahan 2011 lalu, nilai tukar rupiah cenderung
melemah dengan tren pelemahan yang semakin kuat. Melemahnya rupiah ini pada
awalnya disebabkan faktor internal berupa penurunan kinerja neraca
perdagangan kita.
Penurunan kinerja neraca perdagangan tersebut terutama
disebabkan dua hal: jatuhnya harga komoditas ekspor dan tingginya harga
minyak mentah saat itu. Harga-harga komoditas unggulan ekspor kita jatuh
akibat lesunya perekonomian negara-negara tujuan ekspor seperti China, India,
danJepang. Akibatnya, surplus neraca perdagangan ekspor nonmigas menurun.
Di sisi lain, tingginya harga minyak waktu itu menyebabkan
neraca perdagangan migas mengalami defisit. Puncaknya, pada 2012 lalu, neraca
perdagangan kita mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak Orde Baru.
Kondisi inilah yang menyebabkan kepercayaan pasar terhadap kemampuan kita
dalam menghasilkan devisa mulai berkurang. Pekan lalu (5 Maret), rupiah
berada di level terendah terbarunya, yaitu Rp13.000 per dolar Amerika Serikat
(AS).
Pelemahan ini boleh dibilang sebagai suatu yang given.
Karakteristik rupiah sebagai soft-currency atau high volatile yang merupakan
ciri khas mata uang emerging market cenderung lebih terpengaruh oleh dinamika
eksternal dibandingkan dengan perkembangan internal yang positif. Terlebih
lagi, faktor penguat secara internal belum terlalu kuat. Kinerja neraca
perdagangan kita saat ini memang mulai membaik.
Tahun 2014 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit
USD1,88 miliar turun dibandingkan 2013 yang defisit USD4,08 miliar. Pada
Januari 2015 lalu, neraca perdagangan surplus USD710 juta. Namun membaiknya
neraca perdagangan ini dinilai belum kuat karena lebih ditopang melemahnya
harga minyak.
Sementara itu, kinerja neraca perdagangan nonmigas belum
pulih akibat masih berlanjutnya penurunan ekonomi negara tujuan ekspor.
Bahkan, di 2015 ini, China justru menurunkan target pertumbuhan ekonominya
hanya 7%, turun dibandingkan realisasi 2014 sebesar 7,4%.
Rupiah melemah juga akibat sentimen positif terhadap mata
uang counterparty-nya, yaitu dolar AS, lebih kuat dibandingkan sentimen
positif yang muncul dari faktor internal. Dolar AS dalam beberapa bulan
terakhir trennya memang menguat terhadap sebagian besar mata uang di dunia.
Kinerja perekonomian AS yang membaik menjadi faktor penyebab munculnya
sentimen positif terhadap dolar AS.
Tingkat pengangguran tinggal 5,7%. Pertumbuhan ekonomi
di2015 ini diperkirakan sekitar 3-4%. Konsumsi rumah tangga meningkat
sehubungan dengan jatuhnya harga minyak. Beberapa kalangan berpendapat,
pelemahan rupiah positif bagi peningkatan ekspor. Pelemahan rupiah dinilai
akan meningkatkan daya saing produk kita sehingga ekspor naik.
Sayangnya, saat ini kenyataannya tidak demikian.
Peningkatan kinerja ekspor kita masih terbatas. Pelemahan rupiah tidak dapat
dimanfaatkan oleh eksportir kita secara maksimal karena permintaannya
berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan
rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan
jatuhnya harga komoditas.
Terbukti, rata-rata total ekspor pada 2010-2014 Indonesia
hanya tumbuh tipis 1,14% dengan pertumbuhan nonmigasnya 1,59%. Di sisi lain,
pelemahan rupiah ini memberikan dampak negatif yang harus ditanggung berbagai
pihak. Pelemahan rupiah berakibat pada meningkatnya biaya yang dikeluarkan
manufacturing.
Sekitar 80% impor kita merupakan bahan baku dan barang
modal yang dibutuhkan oleh industri manufaktur. Pelemahan rupiah menyebabkan
biaya impor menjadi lebih mahal. Akibatnya, produk ekspor hasil manufaktur
tidak terlalu menunjukkan pertumbuhan ekspor yang positif. Padahal, pengusaha
manufaktur masih terbebani biaya lainnya seperti infrastruktur yang belum
memadai, suku bunga yang relatif tinggi, perburuhan hingga energi yang belum
dapat dipenuhi.
Pelemahan rupiah juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan
untuk membayar utang luar negeri menjadi lebih besar. Tingginya biaya
pembayaran utang luar negeri ini tidak hanya ditanggung dunia usaha, tetapi
juga oleh pemerintah. Berdasarkan hasil audit BPK atas utang luar negeri
pemerintah tahun 2013, BPK mencatat adanya kenaikan akumulasi utang dari
Rp1.981 triliun pada 2012 menjadi Rp2.375 triliun pada 2013, naik Rp393
triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp163,24 triliun disebabkan selisih
kurs. Pelemahan rupiah juga menyulitkan dunia usaha. Tekanan dunia usaha
terhadap pembayaran utang luar negeri semakin meningkat. PerDesember 2014,
utang luar negeri yang jatuh tempo satu tahun mencapai USD58,37 miliar atau
sekitar 20% dari total utang luar negeri Indonesia dan 52% terhadap cadangan
devisa.
Dari jumlah tersebut, komponen utang luar negeri korporasi
mencapai USD48,17 miliar. Tekanan pembayaran utang luar negeri yang tinggi di
tengah pelemahan rupiah, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong
berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar utang luar negeri
Indonesia belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai (hedging).
Satu lagi, hal yang belum terlalu disadari banyak orang
terkait dengan dampak pelemahan rupiah ini, bahwa pelemahan rupiah ternyata
bisa menghambat masyarakat menikmati harga BBM yang lebih murah. Bagaimana
penjelasannya? Saat ini, harga minyak memang menurun. Sayangnya, penurunan
harga minyak tersebut tidak diiringi dengan penurunan harga BBM yang setara
dengan penurunan harga minyak.
Studi yang dilakukan WoodMackenzei menyebutkan, penurunan
harga minyak hingga 60% sejak Juni 2014 ini ternyata hanya diikuti dengan
penurunan harga BBM sekitar 40%. Salah satu penyebabnya adalah pelemahan
nilai mata uang yang dialami negara pengimpor minyak (termasuk Indonesia) menyebabkan
biaya pengadaan BBM menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, BBM tersebut dijual di dalam negeri dalam
mata uang domestik (rupiah). Akibatnya, pelemahan rupiah ini menghilangkan
(mengoffset) sebagian keuntungan yang didapat dari penurunan harga minyak.
Dengan level rupiah terbaru ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu
lebih berhatihati dalam mengelola kebijakan dan ekspektasi pasar. Sebab,
salah sedikit saja, dampaknya terhadap pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola
isu-isu nonteknis yang kini berkembang seperti politik dan hukum karena juga
dapat memberikan dampak cukup besar bagi pelemahan rupiah. Dari sisi teknis,
pemerintah dan BI perlu segera memagari rupiah dengan melakukan hedging
terkait dengan transaksi luar negerinya. Kegiatan hedging ini perlu dilakukan
pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta yang memiliki kebutuhan dolar AS
tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar