ISIS
: Bayang-bayang Imperialisme di Timur Tengah
Iqra Anugrah ; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern
Illinois University, AS
|
INDOPROGRESS,
13 Maret 2015
DUNIA
dikejutkan dengan ekspansi Khmer Merah versi Islamis: Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok Islamis Sunni
bersenjata ini, yang muncul sebagai akibat dari racikan maut antara politik
sektarian Nouri al-Maliki, mantan Perdana Menteri Irak yang baru saja lengser
itu, gelombang kontra-revolusi terhadap Musim Semi Arab (Arab Spring), dan
tentu saja, fase imperial dari ekspansi neoliberalisme yang disokong Barat
sekaligus ekspansi Wahhabisme yang disokong Arab Saudi, semakin hari semakin
kuat, memantapkan cengkeraman kekuasaan politik, ekonomi, sosial, dan tentu
saja, keagamaan, di wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukannya. Lebih
gilanya lagi, ideologi ISIS dapat dikatakan sebagai salah satu contoh
fundamentalisme keagamaan sayap kanan, dalam hal ini fundamentalisme Islam,
dalam bentuknya yang paling fasis dan totaliter. Di daerah-daerah kekuasaan
ISIS, semua kelompok minoritas disiksa dan dibantai: orang-orang Syi’ah,
Kristen, Yazidi, Kurdi, Druze, Mandean, dan juga kaum perempuan. Bahkan,
Muslim Sunni, yang diklaim oleh ISIS sebagai kelompok yang diwakilinya, juga
terpaksa bertahan hidup dalam suasana teror dan ketakutan. Dalam hal ini,
ISIS tak ubahnya Khmer Merah atau para jagal Rwanda versi Islamis, yang siap
memaksakan visi genosidisnya kepada siapapun yang berbeda dengan mereka.
Perumpamaan
antara ISIS dengan Khmer Merah, bagi saya, perlu digarisbawahi. Tak ada
satupun manusia yang berakal sehat yang akan mendukung barbarisme dan
kebiadaban ISIS. Kita perlu mengutuk kejahatan ISIS, tetapi yang lebih
penting lagi kita perlu memahami bagaimana kelompok ekstrimis militeris seperti
ISIS dapat muncul dan berkembang begitu pesat. Untuk itu, kita perlu memahami
pra-kondisi struktural yang memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS.
Kali ini, saya mengajukan satu pembacaan atas fenomena ISIS: sebagaimana
Khmer Merah, ISIS bisa muncul dan menggencarkan proyek-proyek
ekspansionismenya sebagai akibat dari sektarianisme al-Maliki, warisan
tatanan pemerintahan developmentalis-otoritarian di Timur Tengah, dan
intervensi ekonomi-politik Barat selama beberapa tahun terakhir.
Kemunculan ISIS
Ada
dua penjelasan gampangan terhadap ekspansionisme ISIS: pertama, ISIS
merupakan akibat dari merebaknya versi ekstrimis dari Islamisme[1] dan kedua,
ISIS merupakan cerminan dari ‘kebencian kuno’ (ancient hatred) yang telah mendarah daging dalam masyarakat Timur
Tengah. Sayangnya, dua penjelasan yang terlalu ideasional ini cenderung abai
terhadap faktor-faktor lain, terutama faktor struktural yang memungkinkan
ekspansionisme ISIS merebak. Untuk itu, kita perlu memahami konteks historis
kemunculan ISIS. Buku terbaru jurnalis terkemuka spesialis Timur Tengah,
Patrick Cockburn (2015), The Rise of Islamic State, akan menjadi referensi
saya untuk memaparkan konteks historis kemunculan ISIS.
Untuk
memahami kekacauan yang terjadi di Timur Tengah sekarang, kita perlu melihat
apa yang terjadi di kawasan tersebut beberapa tahun silam. Meskipun sekarang
sulit dibayangkan, kita tahu bahwa gelombang demonstrasi dan Revolusi Arab
Spring menyapu segenap penjuru Jazirah Arab. Demokratisasi, keadilan ekonomi
dan sosial, dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) di dalam tatanan
pemerintahan yang relatif sekuler atau non-sektarian menjadi semacam pesan
utama dari Arab Spring. Namun, keberhasilan Gerakan Rakyat tersebut
berbeda-beda di tiap tempat. Tunisia mungkin merupakan satu-satunya kasus
keberhasilan Gerakan Rakyat, di mana demokratisasi politik terjadi dan kaum
oposan sekuler dan Islamis berhasil bersepakat untuk berpartisipasi di dalam
gelanggang politik secara demokratik. Tetapi di negeri-negeri lain, seperti
Bahrain, Libya, dan tentunya Irak dan Suriah, situasinya jauh lebih kompleks.
Fakta inilah yang digarisbawahi oleh Cockburn.
Cockburn
menekankan dua faktor penting, selain faktor-faktor yang saya sebut di atas,
yang memungkinkan kemunculan ISIS di Irak dan Suriah: ‘beban sejarah’
kekerasan sektarian di dua negara tersebut dan intervensi negara-negara
Barat, terutama Amerika Serikat (AS), dan Arab Saudi di dalam Perang Sipil di
Suriah. Di Irak, mayoritas warga Irak yang Syi’ah dimarginalkan dimasa rejim Saddam
Hussein. Namun, setelah invasi AS ke Irak, di masa pemerintahan Irak
pasca-invasi yang notabene mayoritas Syi’ah, giliran warga Sunni yang
dimarginalkan, suatu proses yang mencapai puncaknya di masa pemerintahan
al-Maliki. Tentu, al-Maliki bukanlah satu-satunya penyebab dan pihak yang
menyebabkan sektarianisme semakin merebak di dalam masyarakat Irak, tetapi
sejumlah kebijakan di masa pemerintahannya, seperti kecenderungannya untuk
menggunakan diskursus politik yang berbau sektarian maupun dukungannya terhadap
pembentukan kelompok-kelompok paramiliter Syi’ah ‘memberi angin’ bagi
kemungkinan berkembangnya ISIS. Cockburn memberikan satu contoh yang sangat
ilustratif: demonstrasi damai warga Sunni pada Desember 2012 tidak diindahkan
oleh al-Maliki, Perdana Menteri Irak pada saat itu, yang kemudian disusul
oleh serangan atas kamp perdamaian di Hawijah pada April 2013 oleh militer
Irak, yang menewaskan lebih dari 50 demonstran (hal. 47). Menurut Cockburn,
kejadian ini merupakan momentum yang mengubah strategi aksi damai dan
pembakangan sipil menjadi perlawanan bersenjata. Ketika ISIS mulai muncul ke
publik, banyak warga Sunni Irak yang memberikan dukungan tersiratnya: banyak
warga Sunni, yang lelah atas kebijakan sektarian pemerintah Irak yang
mayoritas Syi’ah, awalnya menganggap ISIS sebagai saluran perlawanan yang
bisa membebaskan mereka dari jeratan sektarianisme, sebelum akhirnya mereka
kembali tertindas dalam tatanan totalitarian setelah mereka ‘dibebaskan’ oleh
ISIS, persis seperti orang Kamboja yang mengira pasukan Khmer Merah akan
membawa kedamaian pasca perang yang tidak berkesudahan.
Namun,
ada dua faktor lain yang memicu kelahiran dan perkembangan ISIS: instabilitas
yang disebabkan oleh Perang Sipil di Suriah dan sisa-sisa jaringan al-Qaeda
dan banyak milisi bersenjata ‘tanpa tuan’ lainnya yang siap mengkapitalisasi
keadaan. Kita tahu, sebagaimana telah saya bahas sebelumnya, Assad adalah
seorang despot, tetapi bukan berarti intervensi Barat di Suriah akan
menyelesaikan segalanya. Yang terjadi adalah kebalikannya: intervensi Barat
di Suriah telah memperpanjang perang sipil dan konflik sektarian di Suriah
dan negara-negara di sekitarnya. Cockburn mencatat bahwa kelompok oposisi
sekuler-demokratik di Suriah dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Suriah
(Free Syrian Army), perlahan dipinggirkan dan bahkan dihabisi oleh ‘rekan’
Islamis-ekstrimis mereka – yang kemudian bertransformasi menjadi ISIS (hal.
79-95). Meminjam istilah film G30S, ‘Suriah adalah kunci,’ karena di Suriah
lah ISIS bisa memperkuat basis militernya sebelum memperluas operasinya ke
Irak. ISIS memanfaatkan perbatasan antara Suriah dan Turki untuk memperkuat
basis militernya, dengan menggunakan wilayah tersebut untuk latihan-latihan
militer dan jalur pemasokan senjata tentunya. Tentu saja, pada saat itu,
Turki menutup mata terhadap aktivitas ISIS, yang dianggapnya dapat menjadi
penyeimbang terhadap perlawanan orang-orang Kurdi terhadap kebijakan
sektarian pemerintah Turki yang cenderung anti-Kurdi. Namun, hal lain yang
tidak kalah pentingnya yang memperkuat basis militer ISIS adalah dukungan
militer terutama pasokan persenjataan dari negara-negara Barat terhadap
kelompok ‘oposisi anti-Assad.’ Tentu saja, sebagaimana diakui sendiri oleh
Wakil Presiden AS, Joe Biden, dalam suatu forum di Universitas Harvard pada
Oktober tahun lalu, sekarang tidak ada yang namanya ‘oposisi anti-Assad’ – de
facto, bantuan militer tersebut ujung-ujungnya mengalir kepada al-Nusra dan
kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis lainnya yang merupakan embryo ISIS (hal.
xix-xx), yang makin mendominasi perlawanan anti-Assad dan bisa mendapat
pasokan senjata canggih terbaru dari Barat dengan mudah, dengan memaksa atau
membeli dari kelompok-kelompok oposisi lain yang semakin termarginalisasi.
Instabilitas di Suriah, persekusi terhadap kaum minoritas Sunni di Irak,
meningkatnya kekuatan militer embryo ISIS di suriah, dan konsolidasi
kelompok-kelompok Islamis-ekstrimis di Irak di bawah komando Abu Bakar
al-Baghdadi, ‘khalifah’, atau lebih tepatnya, panglima jagal ISIS, semuanya
memungkinkan kemunculan dan perkembangan ISIS yang begitu pesat di Timur
Tengah.
Ada
satu faktor lain yang tidak boleh kita lupakan: ekspor Wahabbisme, yang
sukses karena dukungan kekuatan politik dan dukungan dana dari dinasti Saud,
yang sejatinya merupakan suatu bentuk imperialisme Arab Saudi. Cockburn
memaparkan dengan cukup jelas upaya Arab Saudi untuk mempopulerkan Wahhabisme
ke negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim (termasuk Indonesia tentu
saja), meskipun pemerintah Saudi mulai kelimpungan dengan kemunculan varian
Wahhabisme dan Islamisme yang menyerang dinasti Saud yang berkuasa (hal.
97-110). Wahabbisme memberikan landasan ideologis bagi kelompok-kelompok
seperti ISIS: retorika anti-minoritas – anti-Kristen, anti-Yahudi, dan
terutama, anti-Syi’ah, merupakan salah satu karakteristik utama dari
Wahabbisme, yang masih diajarkan di bangku-bangku sekolah dan
institusi-institusi pendidikan di Arab Saudi. Gagasan anti-Syi’ah, yang
dipopulerkan untuk menghadang pengaruh Iran di Timur Tengah, yang digabung
dengan gagasan ‘kemurnian Islam’ versi Sunni, menemukan gaungnya bukan hanya
kepada warga Sunni di Irak yang termargninalisasi oleh kebijakan sektarian,
tetapi juga kepada kelompok-kelompok Islamis-radikal yang di kemudian hari
bertransformasi menjadi ISIS – yang pada akhirnya juga mengembangkan tendensi
anti-Saudi.
Berdasarkan
observasi di atas, tak heran apabila Cockburn berkesimpulan bahwa ISIS bisa
muncul dan merebak bagaikan wabah penyakit yang mematikan karena kondisi
struktural yang diciptakan oleh Barat, terutama AS, dan juga Arab Saudi, yang
memperparah konflik sektarian dan kesenjangan sosial yang memiliki sejarah
yang cukup panjang di Irak dan Suriah. Dengan kata lain, ISIS bagaikan ‘anak
haram’ yang tak diinginkan dari hasil ‘perselingkuhan’ imperialisme AS dan
imperialisme Saudi, yang mengamuk dan melancarkan serangannya ke segala
penjuru, memaksakan visi tatanan sosialnya yang fasis kepada rakyat jelata
yang kembali harus menanggung penderitaan setelah perang dan pemerintahan
tangan besi yang berkepanjangan.
Prospek Perkembangan
Politik di Timur Tengah Pasca ISIS
Berdasarkan
pembahasan kita mengenai ekspansi ISIS akhir-akhir ini, ada sejumlah hal yang
perlu kita bahas lebih lanjut, yaitu pertama, perbedaan antara kritik
terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis atas masyarakat Muslim, kedua,
analisa atas dinamika politik di Timur Tengah terutama kebangkitan Islamisme
dari perspektif strukturalis-historis, dan ketiga, peranan kaum Kurdi dalam
perlawanan atas ekspansi ISIS.
Pertama,
kita perlu membedakan antara kritik terhadap ISIS dengan pembacaan esensialis
atas masyarakat Muslim. Memahami dan menempatkan kemunculan ISIS dari
perspektif strukturalis-historis adalah perlu, tetapi saya juga tidak
menafikkan bahwa kita juga perlu melakukan pemblejetan atas interpretasi
Islam ala ISIS dan para jagal berjubahnya yang sangat vulgar, fasis,
totaliter, dan genosidis. Tugas itu saya serahkan ke para pengkaji teks-teks
keagamaan Islam yang membaca teks secara progresif dan dapat meruntuhkan
doktrin-doktrin ISIS. Ini diperlukan untuk membuktikan bahwa mereka yang
bertarung untuk ISIS, meskipun mereka membayangkan diri mereka adalah tentara
Tuhan, sejatinya mereka adalah tentara Setan. Tetapi satu pembacaan dan
kritik yang menarik terhadap doktrin ISIS adalah kritiknya Zizek (2014), yang
menunjukkan bahwa doktrin militeris ISIS adalah penghinaan terhadap
fundamentalisme yang sejati, yang dianut oleh pemeluk Buddhisme Tibet dan
orang-orang Amish di AS misalnya, yang percaya terhadap potensi pembebasan spiritual
dari praktik-praktik keagamaan yang ketat dan tidak takut terhadap godaan
dari luar, terutama dari orang-orang yang tidak percaya dengan sikap
keberagaman yang ortodoks dan puritan seperti itu. Dengan kata lain, tendensi
teroristik ISIS merupakan pelencangan dan pelecehan terhadap fundamentalisme
dalam artian yang sesungguhnya menurut Zizek. Tendensi tersebut, sebagaimana
telah kita bahas di atas, lahir dan berkembang dalam konteks yang sangat
spesifik dan ekstrim, yaitu perang, kekerasan sektarian, dan otoritarianisme
yang sangat intens, yang menjadikannya bertransformasi menjadi suatu bentuk
ideologi keagamaan sayap kanan yang fatalis dan fasistik.
Dalam
kaitannya dengan (apa yang kebanyakan orang pahami sebagai) doktrin-doktrin
agama Islam dan masyarakat Muslim, kritik teologis dan ideologis terhadap
Islamisme ISIS bukan berarti menjustifikasi pandangan-pandangan esensialis
terhadap Islam dan masyarakat Muslim. Tidak perlu saya sebutkan bahwa hampir
seluruh Muslim di dunia menolak aksi-aksi teroristik dan doktrin-doktrin
reaksioner ISIS. Faktanya, banyak warga Muslim menjadi korban dari kekerasan
Islamis, termasuk kekerasan oleh ISIS, dan mereka yang berkonfrontasi
langsung dengan pasukan ISIS di darat, seperti pasukan Kurdi, juga Muslim.
Karenanya, tidak perlu ada semacam ‘imbauan’ kepada ‘para Muslim di seluruh
dunia’ untuk ‘mengutuk kekerasan ISIS’ dan ‘keheranan’ bahwa penentangan
terhadap ISIS di negeri-negeri Muslim ‘kurang terdengar.’ Kita sering
mendengar bahwa ‘menghaluskan’ kritik terhadap Islam dan masyarakat Muslim
merupakan sebuah bentuk political correctness. Namun, apabila komunitas
Muslim harus terus menerus ‘membuktikan’ bahwa mereka ‘bukan ISIS,’ ‘bukan
teroris,’ dan dapat menjadi bagian dari ‘masyarakat modern’, bukankah ini
berarti ada sebentuk reverse political correctness yang tidak kalah vulgar
yang bekerja di sini? Seorang Muslim seakan-akan harus membuktikan bahwa
dirinya ‘bukan’ atau ‘kurang’ Islami untuk dapat diterima di masyarakat
modern. Ini sama saja dengan memperkuat pandangan esensialis atas masyarakat
Muslim dalam bentuk ‘Muslim baik’ dan ‘Muslim buruk’ (good Muslim/bad Muslim)
yang didefinisikan oleh kekuatan hegemonik yang menguasai diskursus sosial
dan politik (Mamdani, 2004), seperti AS dan imperium globalnya, dan juga
kekuatan imperial yang lain, seperti Arab Saudi misalnya. Keberadaan
diskursus esensialis yang menekankan pada oposisi biner tersebut juga
membuktikan bahwa pandangan yang Eurosentrik dan orientalis atas masyarakat
Muslim masih marak. Kaum Muslim Timur Tengah seperti sudah jatuh, tertimpa
tangga pula: sudah ditindas oleh pemerintah mereka sendiri, diperangi oleh
kekuatan luar, dibantai oleh jagal macam ISIS, masih juga disalahkan karena
mereka dianggap ‘kurang bersuara menghadapi terorisme ISIS.’ Sungguh sebuah
penggambaran dan tuduhan yang bukan hanya absurd tetapi juga menghina.
Kedua,
sebagaimana telah saya bahas secara cukup rinci di atas, untuk memahami
fenomena ISIS secara lebih komprehensif, kita perlu menempatkan dan
menganalisanya dalam kacamata strukturalis-historis. Ideologi jagalisme yang
menjadi landasan ekpansi militeris ISIS tidak muncul dan berkembang dari
kevakuman sejarah. Ideologi tersebut juga tidak serta merta langsung
mempengaruhi para petarung dan simpatisan ISIS untuk mengangkat senjata demi
sebuah konsepsi khilafah yang banyak khilaf-nya. Ada dimensi-dimensi lain,
perebutan kucuran dana dari Saudi dan Qatar misalnya, atau mekanisme disiplin
militer ISIS yang sangat rigid dan teroristik, atau ketiadaan pilihan dan
upaya-upaya yang sangat desperate untuk bertahan hidup. Bayangkan jikalau
kita misalnya adalah seorang pemuda Sunni muda yang cukup sehat di sebuah
kampung di Iraq, dan pasukan ISIS yang ‘membebaskan’ kampung tersebut dari
‘cengkeraman’ pemerintah Irak ‘memanggil’ para ‘Muslim’ untuk bertarung ‘di
jalan Tuhan.’ Bisa jadi pilihan bagi si pemuda tersebut hanya dua: antara
‘bergabung’ dengan milisi ISIS atau dipenggal sembari direkam dalam video[2].
Yang terjadi di medan pertempuran jauh lebih kompleks ketimbang tersihirnya segerombolan
fanatik oleh panggilan keagamaan dan janji-janji surgawi dalam bentuknya yang
paling barbar.
Ketiga,
yang terakhir dan tidak kalah penting, peranan kaum Kurdi dalam perlawanan
terhadap ISIS patut kita hormati dan hargai. Orang-orang Kurdi, yang notabene
Muslim Sunni namun minoritas secara etnis dan senantiasa tertindas di
negara-negara yang mereka tinggali, baik Irak, Turki, maupun Suriah, sudah
paham betul bagaimana rasanya ditindas dan dipermalukan oleh rejim-rejim
tangan besi di negara-negara tersebut. Tak heran apabila pasukan Kurdi dari
berbagai organisasi politik dan paramiliter Kurdi berada di garis terdepan
dalam – sebagai bentuk dukungan saya terhadap kaum Kurdi, izinkan saya
menggunakan istilah ini – jihad melawan imperialisme ISIS. AS dan
negara-negara Timur Tengah lainnya yang memerangi ISIS boleh menepuk dada
bahwa serangan udara mereka ‘melemahkan’ ISIS sembari menutup mata terhadap
fakta bahwa bom-bom yang dijatuhkan mereka kerap kali melukai dan menewaskan
banyak warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konfilk dan perang yang
tengah berkecamuk dan kemungkinan bahwa upaya pengeboman dari udara dapat
meradikalisasi banyak orang untuk bergabung ke ISIS. Tetapi kita tahu bahwa
pasukan Kurdi merupakan pasukan yang paling efektif dalam konfrontasi
langsung dengan ISIS di daratan. Dan melihat bahwa kita tidak punya banyak
pilihan selain melakukan aksi militer balasan terhadap ekspansionisme ISIS,
maka menurut hemat saya sudah sepatutnya kita mendukung perjuangan kaum
Kurdi.
Ada
banyak cerita mengharukan dari upaya militer kaum Kurdi. Pasukan Kurdi,
seperti Peshmerga (militer resmi Kurdi di Irak) dan YPG (People’s Protection
Units, sayap militer Democratic Union Party (PYD), partai sosialis Kurdi di
Suriah) banyak menyelematkan kelompok minoritas seperti orang-orang Yazidi
dan Kristen dari kekejaman ISIS. Hal lain yang juga sangat mencolok dan
menarik dari pasukan-pasukan Kurdi adalah partisipasi pejuang dan gerilyawan
perempuan – yang tidak kalah militan dengan rekan laki-laki mereka dan konon
kabarnya ditakuti pasukan ISIS – yang sangat tinggi dalam aksi-aksi mereka.
Padahal, di saat yang bersamaan, AS dan rekan-rekannya di Timur Tengah tidak
pernah betul-betul mempedulikan nasib orang Kurdi apalagi aspirasi mereka
untuk memiliki tatanan politik yang otonom (Stansfield, 2014; Tharoor, 2014). Militansi pasukan Kurdi juga
mengundang simpati sejumlah sukarelawan yang bergabung dengan mereka untuk
melawan ISIS, seperti Ivana Hoffman misalnya, seorang perempuan muda Jerman
keturunan Afrika Selatan yang juga anggota Marxist-Leninist Communist Party
(MLKP), sebuah partai komunis yang berbasis di Turki yang dekat dengan YPG
dan Kurdistan Workers’ Party (PKK), yang baru saja gugur dalam suatu
pertempuran melawan ISIS. Yang paling mengharukan adalah upaya orang-orang
Kurdi untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosialis yang libertarian dan
demokratik di wilayah-wilayah yang berhasil dibebaskan dan dipertahankan oleh
mereka. Gareth Watkins (2015) mencatat sejumlah upaya eksperimen sosialis
kaum Kurdi di wilayah mereka. Pemerintahan mereka misalnya, bukan hanya
dipilih secara demokratik, tetapi juga mensyarakatkan keterwakilan perempuan
minimal 40%. Kemudian, dalam hal penanganan terhadap kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), pelaku KDRT bukan hanya akan mendapatkan ganjaran hukum tetapi
juga pengucilan sosial dari masyarakat – bandingkan misalnya dengan
‘kekhilafan’ ISIS yang memperbudak perempuan dan merupakan neraka di dunia
bagi kebebasan dan hak-hak perempuan. Bahkan, pengelolaan sistem kepolisian
dan hukum dilakukan secara demokratik – alih-alih polisi, terdapat
‘komite-komite perdamaian’ yang menyelesaikan konflik di masyarakat di antara
pihak-pihak yang bertikai secara imparsial, dialogis, dan damai. Arsitek dan
ideolog dari eksperimen ini tentu saja adalah Abdullah Ocalan, pemimpin PKK,
yang masib berada di balik terali besi, yang menkontekstualisasikan ide-ide
Kiri dalam perjuangan pembebasan kaum Kurdi menjadi sosialisme libertarian
dengan unsur feminisme dan ekologisme yang kental. Tujuan dari menceritakan
pengalaman dan keberhasilan eksperimen praktik-praktik sosial baru oleh
orang-orang Kurdi di Timur Tengah bukanlah untuk meromantisir
pencapaian-pencapaian mereka, melainkan untuk menjadi bahan pembelajaran
sebagai alternatif progresif terhadap otoritarianisme developmentalis di
Timur Tengah, imperialisme Barat, dan juga barbarisme ISIS.
Pasca
kekacauan yang dihasilkan oleh totalitarinisme ISIS, imperialisme Barat, AS,
dan Saudi, dan sisa-sisa despotisme rejim-rejim lama, adakah jalan keluar
dari kemelut politik panjang di Timur Tengah? Akan seperti apakah masa depan
Timur Tengah pasca gelombang kontra-revolusi ini? Saya tidak tahu. Ironisnya,
saya hanya bisa bergumam lirih: down
with imperialism and authoritarianism, death to the fascist ISIS, and
hopefully, victory to the progressive Kurds and Arabs in the Middle East. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar