Anomali
Rupiah dan Solusinya
Andi Irawan ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Bengkulu
|
REPUBLIKA,
12 Maret 2015
Pekan pertama Maret ini, nilai tukar rupiah akhirnya
mencapai level terendahnya sejak 1998 dengan nilai Rp 13 ribu per dolar AS.
Sesungguhnya ada hal yang menarik jika kita menelaah fenomena pelemahan
rupiah, mungkin bisa juga dikatakan semacam anomali karena rupiah itu tidak
seperti mata uang negara lainnya.
Feomena pelemahan rupiah sebagaimana yang ditunjukkan oleh
studi Irawan (2009) dan Pratikto (2012) menunjukkan hal yang tidak lazim,
yakni tidak memperbaiki neraca perdagangan karena tidak meningkatkan ekspor
dan menekan impor.
Teori ekonomi internasional mengatakan, ketika terjadi
pelemahan nilai tukar suatu mata uang, harga komoditas domestik menjadi lebih
murah dibandingkan harga komoditas sejenis di pasar internasional. Dengan
demikian, akan terjadi peningkatan ekspor. Ekspor meningkat berarti valuta
asing juga meningkat. Bertambahnya suplai valuta asing ini selanjutnya akan
memperkuat kembali mata uang yang bersangkutan. Masalahnya, fenomena ini
ternyata tidak terjadi untuk rupiah.
Hal ini diduga karena bahan baku dalam proses produksi
komoditas ekspor kita itu berasal dari impor. Akibatnya, ketika rupiah
melemah, biaya produksi meningkat karena harga bahan baku impor dalam dolar
ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih mahal. Hal inilah yang menjadi
penjelas mengapa depresiasi rupiah tidak memacu peningkatan ekspor walaupun
harga produk kita menjadi lebih kompetitif dibandingkan harga produk yang
sama di pasar internasional.
Padahal, di sisi lain, depresiasi rupiah menyebabkan
inflasi karena harga-harga barang yang dibeli dari luar negeri menjadi lebih
mahal. Ketika barang itu adalah barang modal atau bahan baku, kenaikan
harganya menyebabkan kenaikan biaya produksi. Ketika biaya produksi naik,
tentu saja harga jual akan naik. Fenomena ini dalam literatur ekonomi
dinamakan import inflation.
Dan untuk kita, fenomena ini menjadi sangat terasa
mengingat 70 persen lebih dari komoditas impor tergolong bahan baku atau
barang modal industri. Jika yang diimpor adalah barang langsung konsumsi,
kenaikan harga terjadi ketika harga barang impor itu dikonversikan menjadi
rupiah saat barang tersebut dijual di dalam negeri.
Angka kurs yang sempat menembus Rp 13 ribu per dolar AS
memang cukup mengkhawatirkan banyak pihak akan kemungkinan masuknya Indonesia
dalam krisis ekonomi. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena tidak
mustahil terjadi jika inflasi sebagai mudarat dari depresiasi rupiah diiringi
oleh dua dampak negatif lainnya, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya angka pengangguran.
Hal tersebut terjadi ketika keuntungan perusahaan yang
didapat tidak lagi bisa menutupi biaya yang semakin mahal akibat kenaikan
harga bahan baku impor. Ini bisa menyebabkan sebagian industri kolaps yang
berimplikasi pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran
meningkat karena industri yang kolaps terpaksa memecat karyawannya atau
industri yang masih eksis terpaksa menekan biaya produksi dengan memangkas
jumlah tenaga kerja.
Krisis ekonomi terjadi ketika besaran (magnitude) dari dampak negatif itu
besar dan berdurasi lama. Sebagai contoh, besarnya magnitude dampak pelemahan
rupiah tahun 1997-1998 menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif (pernah -13
persen pada 1998) dan hiperinflasi (kenaikan harga umum di atas 70 persen
pada 1998). Sedangkan, durasi dari semua ketidaknyamanan ekonomi itu kita
alami dalam waktu yang cukup panjang, yakni dua sampai tiga tahun.
Dari penjelasan di atas, kita berkepentingan dengan rupiah
yang stabil dan relatif kuat terhadap mata uang asing. Lalu, apa yang
seharusnya dilakukan untuk mencapai target tersebut?
Dalam perspektif ekonomi internasional, ada konsep
sederhana jika kita ingin melihat nilai tukar itu stabil dan tidak rentan
terhadap guncangan eksternal. Suatu negara akan mampu menghadirkan stabilitas
nilai tukar mata uangnya jika cadangan devisa nasionalnya kuat dan besar.
Cadangan devisa ini sebenarnya identik dengan kekayaan
sumber daya alam dan kinerja ekonomi internasional suatu negara. Dalam teori
klasik tentang back-up nilai tukar disebutkan bahwa emas adalah logam mulia
penting yang pernah dijadikan oleh banyak negara dalam era Bretton Woods
mem-back-up nilai tukar mata uang mereka. Dan bukan hanya emas, semua
kekayaan alam suatu negara identik dengan cadangan devisa nasionalnya jika
kekayaan alam tersebut berhasil dikelola dan hasilnya bisa disimpan sebagai reserve (cadangan devisa). Semakin
besar kekayaan sumber daya alam dan kegiatan ekonomi internasional lainnya
yang berhasil dikonversi menjadi reserve nasional, semakin kuat dan stabil
nilai tukar uang suatu negara.
Artinya, jika semua kekayaan alam negara ini benar-benar
kita kelola dengan baik dan menjadi reserve
nasional kita, rupiah pasti sangat kuat dan tidak mudah goyah dengan gejolak
ekonomi eksternal apa pun. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam
nasional harus dikelola oleh negara, bukan oleh swasta apalagi asing. Dan,
ini sesungguhnya selaras dengan amanah konstitusi UUD 45 Pasal 33 Ayat 3.
Seharusnya pula, semua undang-undang yang berkenaan dengan
pengelolaan sumber daya alam nasional yang membenarkan pengelolaannya oleh
swasta, apalagi asing harus dikoreksi oleh DPR dan pemerintah atau dilakukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar