Jumat, 13 Maret 2015

Anomali Rupiah dan Solusinya

Anomali Rupiah dan Solusinya

Andi Irawan  ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Bengkulu
REPUBLIKA, 12 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pekan pertama Maret ini, nilai tukar rupiah akhirnya mencapai level terendahnya sejak 1998 dengan nilai Rp 13 ribu per dolar AS. Sesungguhnya ada hal yang menarik jika kita menelaah fenomena pelemahan rupiah, mungkin bisa juga dikatakan semacam anomali karena rupiah itu tidak seperti mata uang negara lainnya.

Feomena pelemahan rupiah sebagaimana yang ditunjukkan oleh studi Irawan (2009) dan Pratikto (2012) menunjukkan hal yang tidak lazim, yakni tidak memperbaiki neraca perdagangan karena tidak meningkatkan ekspor dan menekan impor.

Teori ekonomi internasional mengatakan, ketika terjadi pelemahan nilai tukar suatu mata uang, harga komoditas domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga komoditas sejenis di pasar internasional. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan ekspor. Ekspor meningkat berarti valuta asing juga meningkat. Bertambahnya suplai valuta asing ini selanjutnya akan memperkuat kembali mata uang yang bersangkutan. Masalahnya, fenomena ini ternyata tidak terjadi untuk rupiah.

Hal ini diduga karena bahan baku dalam proses produksi komoditas ekspor kita itu berasal dari impor. Akibatnya, ketika rupiah melemah, biaya produksi meningkat karena harga bahan baku impor dalam dolar ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih mahal. Hal inilah yang menjadi penjelas mengapa depresiasi rupiah tidak memacu peningkatan ekspor walaupun harga produk kita menjadi lebih kompetitif dibandingkan harga produk yang sama di pasar internasional.

Padahal, di sisi lain, depresiasi rupiah menyebabkan inflasi karena harga-harga barang yang dibeli dari luar negeri menjadi lebih mahal. Ketika barang itu adalah barang modal atau bahan baku, kenaikan harganya menyebabkan kenaikan biaya produksi. Ketika biaya produksi naik, tentu saja harga jual akan naik. Fenomena ini dalam literatur ekonomi dinamakan import inflation.

Dan untuk kita, fenomena ini menjadi sangat terasa mengingat 70 persen lebih dari komoditas impor tergolong bahan baku atau barang modal industri. Jika yang diimpor adalah barang langsung konsumsi, kenaikan harga terjadi ketika harga barang impor itu dikonversikan menjadi rupiah saat barang tersebut dijual di dalam negeri.

Angka kurs yang sempat menembus Rp 13 ribu per dolar AS memang cukup mengkhawatirkan banyak pihak akan kemungkinan masuknya Indonesia dalam krisis ekonomi. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena tidak mustahil terjadi jika inflasi sebagai mudarat dari depresiasi rupiah diiringi oleh dua dampak negatif lainnya, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran.

Hal tersebut terjadi ketika keuntungan perusahaan yang didapat tidak lagi bisa menutupi biaya yang semakin mahal akibat kenaikan harga bahan baku impor. Ini bisa menyebabkan sebagian industri kolaps yang berimplikasi pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran meningkat karena industri yang kolaps terpaksa memecat karyawannya atau industri yang masih eksis terpaksa menekan biaya produksi dengan memangkas jumlah tenaga kerja.

Krisis ekonomi terjadi ketika besaran (magnitude) dari dampak negatif itu besar dan berdurasi lama. Sebagai contoh, besarnya magnitude dampak pelemahan rupiah tahun 1997-1998 menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif (pernah -13 persen pada 1998) dan hiperinflasi (kenaikan harga umum di atas 70 persen pada 1998). Sedangkan, durasi dari semua ketidaknyamanan ekonomi itu kita alami dalam waktu yang cukup panjang, yakni dua sampai tiga tahun.

Dari penjelasan di atas, kita berkepentingan dengan rupiah yang stabil dan relatif kuat terhadap mata uang asing. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai target tersebut?

Dalam perspektif ekonomi internasional, ada konsep sederhana jika kita ingin melihat nilai tukar itu stabil dan tidak rentan terhadap guncangan eksternal. Suatu negara akan mampu menghadirkan stabilitas nilai tukar mata uangnya jika cadangan devisa nasionalnya kuat dan besar.

Cadangan devisa ini sebenarnya identik dengan kekayaan sumber daya alam dan kinerja ekonomi internasional suatu negara. Dalam teori klasik tentang back-up nilai tukar disebutkan bahwa emas adalah logam mulia penting yang pernah dijadikan oleh banyak negara dalam era Bretton Woods mem-back-up nilai tukar mata uang mereka. Dan bukan hanya emas, semua kekayaan alam suatu negara identik dengan cadangan devisa nasionalnya jika kekayaan alam tersebut berhasil dikelola dan hasilnya bisa disimpan sebagai reserve (cadangan devisa). Semakin besar kekayaan sumber daya alam dan kegiatan ekonomi internasional lainnya yang berhasil dikonversi menjadi reserve nasional, semakin kuat dan stabil nilai tukar uang suatu negara.

Artinya, jika semua kekayaan alam negara ini benar-benar kita kelola dengan baik dan menjadi reserve nasional kita, rupiah pasti sangat kuat dan tidak mudah goyah dengan gejolak ekonomi eksternal apa pun. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam nasional harus dikelola oleh negara, bukan oleh swasta apalagi asing. Dan, ini sesungguhnya selaras dengan amanah konstitusi UUD 45 Pasal 33 Ayat 3.

Seharusnya pula, semua undang-undang yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam nasional yang membenarkan pengelolaannya oleh swasta, apalagi asing harus dikoreksi oleh DPR dan pemerintah atau dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar