Pendidikan
Bukan Pencitraan
Satryo Soemantri Brodjonegoro ; Guru
Besar ITB;
Dirjen Dikti (1999-2007); Wakil Ketua AIPI
|
KOMPAS,
09 Maret 2015
Apakah pendidikan kita selama ini telah berhasil? Suatu
pertanyaan yang terkesan sinis seolah tak menghargai kerja keras pemerintah
dan masyarakat yang telah bersusah payah membangun dan mengembangkan
pendidikan sesuai amanat konstitusi.
Pertanyaan ini seharusnya tak muncul seandainya negara
berhasil menyelenggarakan pendidikan berdasarkan amanat konstitusi, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya negara mengalami kesulitan dalam
memaknai kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga arah pendidikan di
semua jenjang dan jalur menjadi tak jelas dan belum dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Tolok ukur keberhasilan pendidikan tidak serta-merta
mencerdaskan kehidupan bangsa, padahal penganggaran pendidikan sangat
ditentukan tolok ukur ini. Pendidikan dasar dan menengah menggunakan tolok
ukur antara lain angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni
(APM) serta ujian nasional (UN) dan akreditasi sekolah. Pendidikan tinggi
menggunakan tolok ukur antara lain APK, peringkat akreditasi, publikasi
ilmiah, peringkat internasional, dan jumlah anggaran.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan maupun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah
menerbitkan sejumlah standar pendidikan dan sejumlah peraturan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita, baik di tingkat dasar
menengah maupun tinggi, selalu digaungkan dengan gencar supaya masyarakat
memahaminya. Perkataan mutu jadi sedemikian penting bagi para pemangku
kepentingan pendidikan sehingga seluruh daya upaya diarahkan ke mutu
pendidikan.
Persoalan yang mendasar adalah belum adanya pemahaman yang
hakiki mengenai mutu pendidikan. Mutu pendidikan secara pragmatis diwujudkan
dalam bentuk akreditasi sekolah dan akreditasi perguruan tinggi, padahal
definisi mutu hakiki adalah jauh lebih dalam dan mendasar dibandingkan
akreditasi. Definisi mutu pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mampu
memberdayakan individu maupun kelompok individu serta masyarakat pada
umumnya. Mutu pendidikan sering kali dikaitkan dengan hasil UN sekolah maupun
peringkat universitas tingkat nasional dan internasional.
Dengan pemahaman mutu pendidikan seperti itu, sekolah dan
perguruan tinggi berlomba-lomba meraih peringkat lebih tinggi dalam
akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Upaya mencapai itu semua tak mudah
dan perlu dukungan finansial yang besar, bahkan seluruh daya upaya dikerahkan
untuk mencapai akreditasi dan peringkat yang tinggi. Pertanyaannya, apakah
akreditasi dan peringkat yang tinggi akan membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa Indonesia?
Pengalaman menunjukkan bahwa akreditasi dan peringkat
lembaga pendidikan lebih memberikan manfaat bagi lembaga itu sendiri
ketimbang bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama pendidikan.
Dengan akreditasi dan peringkat yang tinggi, lembaga pendidikan tersebut
dengan mudah merekrut calon peserta didik terbaik, merekrut guru dan dosen
terbaik, memperoleh insentif pendanaan lebih tinggi, memperoleh pengakuan
dari masyarakat, dan lain-lain. Dengan demikian, lembaga pendidikan itu punya
peluang mempertahankan status, bahkan mungkin dapat meningkatkannya. Apakah
dengan tingginya peringkat dan akreditasi, tujuan pendidikan sesuai amanat
konstitusi berhasil dicapai?
Pencitraan pendidikan
Keberhasilan pendidikan atau manfaat pendidikan terwujud
jika masyarakat terdidik berdaya mampu menyejahterakan dirinya dan
meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan masyarakat seyogianya jadi tolok
ukur keberhasilan pendidikan di mana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat
mandiri madani sejahtera. Karena itu, perlu pendefinisian kembali tolok ukur
pendidikan dengan mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolok
ukurnya lebih bersifat pencitraan di mana lembaga pendidikan mencari
akreditasi dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status
sosial dengan ijazah.
Tata kelola pendidikan terjebak ke dalam mekanisme
administratif yang justru menghilangkan hakikat pendidikan. Berbagai
peraturan perundangan yang ada mengenai pendidikan di semua jalur dan jenjang
telah menjadikan pendidikan kegiatan administratif yang birokratis, penuh pengaturan
dalam setiap aspek, tak ada otonomi dan akuntabilitas, tak ada inovasi dan
kreativitas, tak ada kepercayaan terhadap guru dan dosen.
Jika pola ini masih dipertahankan, pendidikan di Indonesia
hanya akan memberikan pencitraan dan belum memenuhi amanat konstitusi,
pendidikan telah dikerdilkan maknanya ke arah formalitas di mana capaian yang
diapresiasi adalah capaian formalitas. Budaya pencitraan dan formalitas sudah
demikian melekat di pemerintah dan di masyarakat sehingga indikator yang
menunjukkan kemajuan pendidikan adalah semu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar