Deflasi
dan Nilai Tukar
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 16 Maret 2015
Bagi
sejumlah negara, baik di Eropa maupun di Asia, saat ini menghadapi fenomena
spiral ekonomi yang menarik untuk kita cermati bersama yaitu kondisi di mana
tren deflasi atau inflasi rendah dan tekanan terhadap nilai tukar mata uang
terjadi secara simultan.
Meski
memiliki faktor penyebab yang berbeda, tren kedua hal ini mengandung
konsekuensi yang hampir sama dalam jangka menengah. Kombinasi dari kedua hal
tersebut dikhawatirkan mengakibatkan pelemahan pertumbuhan ekonomi,
terbatasnya penyerapan lapangan kerja, menurunnya kinerja industri
manufaktur, dan desinsentif bagi investasi.
Bagi
sejumlah negara, utamanya Eropa dan Jepang, instrumen suku bunga ultrarendah,
mendekati 0%, tidak lagi memadai untuk meningkatkan angka inflasi. Sementara
kebijakan stimulus moneter nonkonvensional untuk keluar dari deflation-trap
menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang. Secara teoritis, dalam
makroekonomi, tidak semua deflasi atau inflasi sangat rendah berakibat buruk
bagi perekonomian.
Misalnya
penurunan harga akibat meningkatnya efisiensi dan produktivitas merupakan
indikasi positif bagi perekonomian suatu negara. Namun, ketika penurunan
harga disebabkan oleh pelemahan sisi permintaan secara tajam dan mendadak
(negative demand shock), seperti yang sekarang terjadi di banyak negara,
berpotensi berakibat buruk bagi perekonomian.
Sementara
itu, gelombang deflasi atau inflasi sangat rendah di banyak negara, utamanya
disebabkan oleh menurunnya harga minyak mentah dunia lebih dari 60% dari
posisi tertinggi Juni 2014 sebesar USD115/ barel menjadi di bawah
USD50/barel.
Dalam
jangka pendek, penurunan tajam harga minyak mentah dunia menjadi windfall
bagi konsumen, di mana dengan pendapatan yang sama, konsumen mendapatkan
barang dan jasa yang lebih murah (consumer surplus). Namun, dalam jangka
menengah dan panjang, di kawasan Eropa misalnya konsumen mulai berhati- hati
dan bahkan menunda pembelian akibat ketidakpastian dari sektor
ketenagakerjaan.
Melemahnya
permintaan membuat banyak perusahaan menunda, membatalkan, atau bahkan
mengalami kesulitan keuangan yang berpotensi pengurangan tenaga kerja.
Kondisi di atas terjadi bersamaan dengan tren pelemahan nilai tukar mata uang
di banyak negara.
Meskipun
memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda, pelemahan nilai tukar mata uang
terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sangat merepotkan, baik otoritas moneter
maupun fiskal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fenomena
depresiasi nilai tukar disebabkan mulai dari ketidakseimbangan antara demand-supply valas di pasar domestik
sampai akibat membanjirnya likuiditas mata uang tertentu setelah penerapan
kebijakan stimulus moneter (quantitative
easing) seperti yang dilakukan European
Central Bank (ECB) maupun Bank of
Japan (BoJ) saat ini.
Di
satu sisi, pelemahan mata uang dapat berakibat positif bagi kinerja ekspor,
namun di sisi lain berakibat buruk bagi perekonomian yang memiliki eksposur
impor tinggi dan utang dalam mata uang asing, utamanya dolar AS, sangat
tinggi. Beberapa negara atau kawasan yang memiliki tren deflasi dan pelemahan
nilai tukar mata uang dapat kita temui di sejumlah negara Eropa dan Jepang.
Kawasan
Eropa secara rata-rata mencatatkan inflasi sangat rendah sejak Desember 2014
sebesar -0,2%, Januari 2015 -0,6%, dan Februari 2015 -0,3%. Sementara itu,
target inflasi dari ECB untuk sepanjang 2015 ditetapkan di Zona Eropa sebesar
0%. Sementara Jepang melihat tren inflasi rendah akan terjadi sepanjang 2015.
Gubernur
BoJ Haruhiko Kuroda juga telah memberikan sinyal untuk memperpanjang
penerapan moneter longgar nonkonvensional (quantitative easing) yang selama ini berjalan sebesar 80 triliun
yen sebagai respons terhadap inflasi yang sangat rendah di Jepang.
Diharapkan,
dengan ada kebijakan ini, Jepang dapat keluar dari jebakan inflasi sangat
rendah sehingga proses pemulihan ekonomi (recovery)
dapat terakselerasi. Inflasi yang moderat sangat dibutuhkan oleh sejumlah
negara untuk menjamin perekonomian terus bergerak.
Bagi
Indonesia, kedua tren tersebut juga terjadi meski dengan latar belakang yang
agak berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa dan Jepang.
Setelah inflasi pada Desember 2014 yang cukup tinggi akibat kebijakan
penyesuaian BBM bersubsidi, sebesar 2,46%, inflasi bulan berikutnya tercatat
sangat rendah setelah pemerintah menurunkan harga BBM akibat menurunnya harga
minyak mentah dunia.
Di
mana inflasi pada Januari 2015 tercatat sebesar -0,24% dan Februari 2015
tercatat sebesar -0,36%. Diproyeksikan, tren inflasi rendah bertahan sampai
meningkatnya permintaan jelang liburan sekolah dan Hari Raya Idul Fitri 2015.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah data BPS menunjukkan indeks pertumbuhan
perusahaan menengah dan besar pada Januari 2015 tumbuh -0.35%.
Sementara
indeks manufaktur dari sejumlah analis juga menunjukkan pelemahan. Misalnya,
indeks manufaktur dari Markit Economics
dan HSBC menunjukkan indeks manufaktur Februari 2015 jatuh menjadi 47,50
lebih rendah dari posisi Januari sebesar 48,50 dan Desember 2014 sebesar
47,60.
Meski
masih memerlukan analisis lebih dalam, tren deflasi dan inflasi sangat rendah
di Indonesia diiringi dengan pelemahan kinerja industri manufaktur nasional.
Kemungkinan pelemahan indeks manufaktur industri nasional juga disebabkan
oleh terdepresiasinya nilai tukar mata uang rupiah.
Mengingat
komponen impor dalam industri nasional cukup tinggi, melemahnya rupiah juga
berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Nilai tukar rupiah terus
menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS.
Pada
penutupan pasar Jumat (13/3), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup
melemah 37 poin menjadi Rp13.187 dan kurs tengah Bank Indonesia juga melemah
menjadi Rp13.191 per dolar AS. Koordinasi yang dilakukan oleh
Pemerintah-BIOJK- LPS yang secara intens dilakukan dalam beberapa hari
terakhir masih belum mampu menahan tren pelemahan rupiah.
Beberapa
kalangan dan pelaku pasar bahkan memprediksi tren pelemahan rupiah masih akan
terus berlanjut sampai The Fed
mengumumkan secara pasti kenaikan suku bunga pascaberakhir kebijakan quantitative easing III. Sampai saat
ini kita semua masih belum dapat memastikan secara persis bagaimana
perekonomian dunia akan menemukan keseimbangan baru.
Namun,
paket kebijakan yang tepat, efektif, dan terukur sangat dibutuhkan untuk
mengelola volatilitas nilai tukar rupiah, menjaga daya beli masyarakat,
mendorong terus tumbuhnya industri nasional, serta memperkuat struktur
industri nasional. Tren inflasi rendah bahkan deflasi perlu terus dimonitor
untuk menghindarkan dari pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Selain
itu, dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah juga perlu terus diwaspadai
seiring pelemahan permintaan produk ekspor nasional di pasar global.
Penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi juga perlu terus didorong
dengan tetap menjaga makroprudensial dan stabilitas sistem keuangan.
Memastikan
harga-harga kebutuhan pokok tersedia dan terjangkau juga akan sangat membantu
menurunkan potensi gejolak akibat tidak menentunya situasi perekonomian global
dan kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar