Mati
Otak sebelum “Mati”
Asra Al Fauzi ; Dokter Ahli
Bedah Saraf;
Dosen FK Unair, Surabaya Neuroscience Institute (SNei)
JAWA
POS, 09 Maret 2015
Asra Al Fauzi ; Dokter Ahli
Bedah Saraf;
Dosen FK Unair, Surabaya Neuroscience Institute (SNei)
|
SETELAH dua bulan dirawat dan ramai diberitakan, akhirnya
pasien di Rumah Sakit Ibnu Sina, Gresik, dinyatakan mati batang otak (MBO)
oleh tim dokter. Diagnosis final memang harus dilakukan, terlepas dari
kontroversi kasus yang masih berjalan.
Istilah mati batang otak atau mati mempunyai sejarah
panjang dalam seabad terakhir. Ada cerita, dahulu seorang raja Inggris
berpesan, jika meninggal, dia meminta tidak dikubur dulu sampai 40 hari untuk
menentukan dirinya benar-benar mati. Bahkan, terbukti, saat perang Vietnam,
banyak prajurit Amerika yang sebenarnya dikubur hidup-hidup. Saat mayat
mereka dipindah ke Amerika, dalam peti mati ada bekas guratan-guratan kuku
dan di lambungnya ada kain baju yang mungkin dimakan saat dia lapar dalam
peti mati.
Kriteria mati adalah hal yang bernuansa sakral dan sains.
Perkembangan dunia kedokteran serta teknologi diagnosis (dianggap) sudah
cukup andal dalam menentukan 99 persen keadaan mati. Dunia kedokteran semakin
digiring untuk menentukan kriteria itu karena beberapa alasan sahih seperti
kebutuhan donor organ, ketersediaan ruang perawatan intensif, serta klaim asuransi.
Mati batang otak adalah keadaan terjadinya kerusakan
permanen di batang otak dan seluruh otak. Diyakini bahwa fungsi otak juga
bermakna fungsi hidup bagi manusia. Meski otak shut down, fungsi organ lain,
terutama jantung dan paru-paru, bisa berlanjut dengan bantuan mesin. Dalam
sejarah di Jepang, ada pasien dengan MBO yang bisa bertahan 14,5 tahun dengan
bantuan mesin karena permintaan keluarga.
Masih ada kontroversi bagi penyanjung kehidupan karena
makna mati tidak saja berarti ’’biological death’’, tetapi ada aspek lain
yang harus diperhatikan. Misalnya, ’’social death’’ atau ’’psychological
death’’. Meski sudah menggunakan bantuan mesin, keluarga masih merasa nyawa
pasien tetap ada. Pada ibu yang meninggal setelah melahirkan, dengan bantuan
mesin, ternyata air susunya masih keluar sehingga bisa menyusui anaknya.
Artinya, pusat pengatur hormon di otak masih berfungsi.
Tim dokter di RS Ibnu Sina menyatakan bahwa MBO ditegakkan
setelah melalui kriteria dan pemeriksaan ketat sehingga pasien dinyatakan
sudah meninggal. Tetapi, di sisi lain, sesuai dengan kultur masyarakat,
keluarga menginginkan meninggal secara wajar. Jadi, mesin bantu napas tetap
diminta dipasang.
Keadaan mati otak secara sosiopsikologis bukan ’’mati’’
yang wajar. Rasanya tidak manusiawi bagi tim dokter untuk menghentikan semua
life support saat MBO ditegakkan. Infus, mesin napas, bahkan nutrisi tetap
diberikan tanpa pemberian obat-obatan. Satu paham, biarkan meninggal secara
manusiawi sesuai kehendak Yang di Atas!
Harvard Criteria 1968 adalah kesepakatan pertama tentang
mati otak dengan kriteria: (1) unresponsitivity,
(2) no movement or breathing, (3) no reflexes, dan (4) isoelectric EEG. Kriteria yang cukup
sederhana sesuai dengan kemajuan dan teknologi kedokteran saat itu, tetapi
masih ada peluang hanya mati suri.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1988 menentukan kriteria
mati: (1) hilangnya fungsi napas dan jantung yang permanen serta (2)
hilangnya fungsi otak, termasuk batang otak yang permanen. Kriteria mati otak
adalah tidak adanya refleks-refleks batang otak, tes apnea positif (napas
berhenti tanpa mesin), dan tes diulang setelah 24 jam lagi dengan hasil sama.
Kriteria yang tetap mengayomi kultur masyarakat kita, fungsi jantung dan paru
ditulis, bukan hanya otak.
Sampai saat ini, belum ada kriteria baku yang sama di
masing-masing negara, bahkan protokol teknis antarrumah sakit sering berbeda.
Di Inggris, hilangnya refleks-refleks batang otak adalah kriteria utama. Di
Swedia dan Jepang, MBO harus ditegakkan dengan pemeriksaan EEG (rekam otak)
atau angiografi otak (tes aliran darah otak).
Di Indonesia, diagnosis MBO ditegakkan secara klinis
dengan prasyarat tertentu oleh minimal dua orang spesialis yang berkompeten,
tetapi di Amerika Serikat bisa dilakukan dokter umum karena kebutuhan yang
kadang perlu cepat dan efisien. Bahkan, sertifikat untuk mendiagnosis MBO
harus dimiliki sebagai syarat dokter umum bekerja di rumah sakit.
Di Indonesia, kematian di masyarakat lebih bermakna
’’religius’’ dan ’’social death’’. Kita berusaha, tetapi Yang di Atas
menentukan. Kriteria IDI cukup fleksibel untuk mengayomi hal tersebut, yakni
sangat jarang kriteria MBO dilakukan cepat dan kaku. Di lapangan, biasanya
penghentian mesin dilakukan bertahap untuk kesan alami berhentinya jantung
dan napas. Bahkan, bila keluarga berkehendak tetap mempertahankan bantuan
mesin, biasanya aspek pendekatan kekeluargaan dan penjelasan dari tim medis
secara bertahap lebih dikedepankan sampai keluarga menerima. Hal itu tentu
memerlukan waktu.
Kontroversi
Saat MBO ditegakkan, sebenarnya secara legal semua bentuk life support bisa dihentikan. Sebagian
berpendapat, dokter mempunyai tanggung jawab dan kekuasaan penuh untuk
menghentikan terapi supportive dan
tidak memberikan alternatif untuk keluarga. Sebagian berpendapat harus dengan
persetujuan keluarga untuk meneruskan atau menghentikan ’’kehidupan’’.
Kriteria mati masih dalam perdebatan. Mati batang otak adalah suatu biological death. Apakah kematian secara
hakiki ditentukan kegagalan fungsi sel di otak? Apakah jiwa (soul) atau roh (spirit) berada di batang otak? Semoga sains bisa menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar