Dari
Berburu Berita ke Berburu Sengon
Dahlan Iskan ; Mantan CEO
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 09 Maret 2015
SAYA melihat gejala baru. Kelilinglah pedesaan Jawa:
begitu banyak pohon sengon sekarang ini. Tanpa ada program penghijauan dari
pemerintah pun, rakyat sudah terdorong sendiri untuk menanam sengon. Ini
karena nilai ekonominya yang sudah terbukti: tiap hektare bisa menghasilkan
Rp 500 juta. Bersih. Seleksi alam kelihatannya sudah memutuskan ini: sengon
juaranya. Juara di antara tanaman keras. Tentu jangan dibandingkan dengan,
misalnya, tanaman buah tropik.
Dulu begitu banyak tanaman keras yang dianjurkan untuk
digalakkan: jabon, kemiri sunan, jarak pagar, lamtoro gung, sengon buto, dan
seterusnya. Hampir semuanya gagal. Karena tidak ada dorongan keuntungan
ekonomi. Tidak ada yang terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk
pedesaan.
Jabon terbukti kalah dari sengon. Harga jualnya sekitar 20
persen di bawah sengon. Ini karena warna kayu jabon kurang disukai industri
mebel di luar negeri. Terlalu putih. Kemiri sunan, mungkin akan bernasib sama
dengan jarak: lebih gagal lagi. Bahkan membuat rakyat marah. Jarak yang siap
panen dibabat. Satu hektare tanaman jarak memang hanya menghasilkan kurang
dari setengah juta rupiah setahun.
Sengon buto, ternyata juga tidak laku. Memiliki terlalu
banyak cabang. Kurang laku dijual. Tidak bisa untuk bahan baku industri
mebel. Lamtoro gung, ternyata membawa penyakit yang menular ke tanaman
sekitar.
Sengon tradisionallah yang ternyata mengalahkan semua itu.
Maka jelaslah, untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong di Jawa, sengon adalah
pilihan utama. Jangan kaliandra. Biar saya dulu yang tanam kaliandra. Itu pun
di luar Jawa. Begitu banyak yang ingin mengikuti saya menanam kaliandra.
Biasanya saya tanya dulu: lahannya di mana? Begitu dia menyebut di Jawa, saya
langsung tegaskan: jangan! Jangan tanam kaliandra. Jawa terlalu subur untuk
kaliandra. Sama-sama menanam pohon, untuk di Jawa, lebih baik sengon.
Apalagi, kini sudah berdiri banyak sekali pabrik pengolahan kayu sengon.
Tidak mungkin lagi tidak ada pasarnya. Bahkan, pabrik-pabrik itulah yang kini
haus sengon.
Biarlah kaliandra dicoba di daerah-daerah khusus di luar
Jawa yang gersang dan yang tidak memiliki sumber listrik. Saya, bersama tim,
baru mulai mencoba di Sumba, Sumbawa, Lingga, Singkep, Kaltim, dan Bolaang
Mongondow. Kita lihat dulu berhasil atau tidak.
Memang tanaman sengon baru bisa ditebang setelah berumur
lima tahun. Tapi, hasilnya sungguh menarik. Dalam lima tahun itu, per
hektare, bisa menghasilkan Rp 500 juta. Bersih. Sudah dipotong biaya. Berarti
satu tahun Rp 100 juta. Sama dengan gaji pegawai satu bulan Rp 8 juta. Tidak
kecil, bukan? Dalam jangka panjang pasarnya pun terjamin. Gerakan anti
penebangan hutan sedunia membuat industri kayu beralih ke tanaman rakyat.
Apalagi, hampir tidak ada hama. Satu-satunya hama adalah
karat puru. Itu pun mudah ketahuan. Kanker itu muncul di dahan dalam bentuk
benjolan besar. Dahan itu bisa langsung dipotong. Bagian yang terkena
penyakit itu harus dikubur. Jangan dibuang begitu saja. Jangan juga dibakar.
”Hama” lainnya adalah kebakaran. Tapi, ini juga gampang terlihat. Yang tidak
mudah terlihat adalah hama yang satu ini: ditebang orang di tengah malam.
Selebihnya tidak ada masalah. Memang ada yang mengkritik
tanaman sengon membuat orang malas: tinggal tunggu hasil selama lima tahun
sambil ongkang-ongkang kaki. Tidak perlu bekerja setiap hari seperti menanam
padi. Atau menanam buah tropik. Para penggiat buah tropik pasti benci ini.
Anak muda yang gigih seperti Mas Pratomo dari Ungaran tidak akan tergiur
sengon. Mas Pratomo sudah membuktikan bahwa buah tropik bisa menghasilkan dua
kali lipat dari sengon. Juga tidak perlu menunggu lima tahun. ”Memangnya
perut kosong bisa disuruh menunggu lima tahun?” ujar Mas Pratomo.
Begitu banyak tanaman buah yang jadi pilihan: kelengkeng
genjah, buah naga, durian pendek, dan tentu saja sirsat. Hanya, petaninya
memang harus berpengetahuan, harus rajin (utun),
dan harus berjiwa bisnis. ”Kita kan harus membangun masyarakat. Agar rajin dan
kerja keras,” ujar Mas Pratomo. ”Biar bisa seperti bangsa Korea atau Jepang,”
tambahnya.
Ke depan, sengon kelihatannya akan berfungsi sebagai
tabungan pedesaan. Bukan sebagai mata pencaharian. Sawahlah mata pencaharian
itu. Sedang ladangnya ditanami sengon. Tabungan itu diperlukan karena kelak
anaknya minta sepeda motor. Atau meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Atau
bagi daerah seperti Wonogiri yang bupatinya sangat getol menggalakkan
penanaman singkong, mata pencahariannya adalah singkong itu. Toh juga sukses.
Sengon untuk tabungan.
Saya perhatikan bupati Kepahiang di Bengkulu juga kampanye
ini: rakyat yang mau kaya, tanamlah sengon. Demikian juga bupati Aceh Timur.
Hanya Kalimantan dan Jambi-Riau yang kelihatannya tidak cocok untuk sengon.
Saya juga punya seorang teman. Mantan wartawan terkemuka
Republika di Jakarta. Namanya Guntoro. Prestasinya sebagai wartawan sangat
menonjol: gigih dan rajin mengejar berita. Kini dia gigih mengejar sengon.
Dia tinggalkan dunia kewartawanan. Yang full stres itu. Dia tinggalkan
Jakarta. Yang full ruwet itu. Dia beli tanah yang masih murah di desa di
Jabar. Dia tinggal di desa itu. Pekarangan rumah yang dia tinggali sangat
luas: 3 hektare. Dari segi luasan pekarangan, orang terkaya di Jakarta pun
dia kalahkan. Tidak ada orang kaya di Jakarta yang pekarangan rumahnya 3
hektare. ”Tidak pernah lagi terkena macet,” guraunya.
Selama delapan tahun meninggalkan dunia hiruk pikuk
kewartawanan di Jakarta, Guntoro sudah berubah total. Kini dia sudah memiliki
tanaman sengon 800 hektare. ”Tiap tahun beli tanah sedikit-sedikit, Mas,”
katanya. ”Saya ingin jadi raja sengon,” tambahnya.
Hitung sendiri berapa kekayaannya: 800 x Rp 500 juta = Rp
400 miliar! Percayailah separonya. Atau sepertiganya. Tetap saja menitikkan
air liur. ”Jangankan jadi wartawan, jadi pemilik koran pun belum akan bisa
dapat angka itu,” katanya bergurau.
Begitu banyak pilihan untuk kaya. Begitu luas lahan di
Jawa yang dibiarkan telantar. Dengan sengon, Jawa bisa hijau. Juga warna mata
penduduknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar