Layar
Itu Belum Berkembang
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
17 Maret 2015
Kehadiran
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sejatinya membawa semangat dan harapan
baru bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua pemimpin itu
tidak hanya tampak bersahaja, tetapi juga dengan mantap mengusung ide
revolusi mental.
Revolusi
mental adalah ide signifikan karena sakitnya bangsa ini di sini: di
mentalitas. Gejala mencolok dari keabnormalan mental bangsa adalah perilaku
korupsi yang begitu masif. Kwik Kian Gie (2004) menyebut jiwa bangsa yang
korup penyebab maraknya korupsi. Sebelumnya, Bung Hatta, dalam Rapat Dengar
Pendapat Komisi IV yang dipimpin Wilopo pada 1970, mengemukakan bahwa korupsi
telah menjadi seni dan budaya bangsa Indonesia (Hasibuan, 2006).
Belakangan,
kita menyaksikan korupsi menjadi-jadi dengan beragam muslihat yang
menimbulkan rasa ngeri. Perseteruan Kepolisian Negara RI dan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam episode Cicak versus Buaya jilid 1 dan 2; kasus
simulator SIM; kasus Labora Sitorus; kasus Muhammad Nazaruddin dan Anas
Urbaningrum; BLBI, dan Bank Century di antara contoh yang menunjukkan korupsi
telah melampaui budaya (tradisi) atau perilaku cacat mental. Korupsi kini
telah menjadi ideologi yang berbahaya.
Sebagai
layaknya sebuah ideologi, selain memiliki asumsi, doktrin, dan klaim-klaim
kebenarannya sendiri, korupsi juga didukung dan diperjuangkan secara agresif.
Untuk itu, komplotan koruptor senantiasa berupaya mendapatkan akses terhadap
kekuasaan. Kuasa diperlukan sebagai jalan bagi keberlangsungan ide korupsi
dan penjaminan atas keamanan para koruptor. Apa yang dialami Jokowi-Kalla
dalam masa seratusan hari pemerintahannya menampakkan bagaimana tarikan
ideologi korupsi sedemikian kuat, dan akan menghalangi pergerakan revolusi
mental serta upaya mewujudkan Trisakti.
Revolusi
mental tak mungkin efektif selama ide korupsi terus mengepul dari pikiran
penyelenggara negara, dan pemerintah tak serius memberantasnya. Korupsi akan
menggurita setiap upaya pembangunan dan menjadikan berbagai aktivitas politik
sebatas panggung sandiwara yang penuh bualan. Kasus dana ”siluman” APBD DKI
Jakarta, yang dengan keras dilawan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, secara
gamblang menjelaskan pola metastasis ide korupsi melumpuhkan tubuh bangsa.
Barangkali
itu sebabnya menyaksikan sikap tak sigap pemerintah dalam menangani korupsi
belakangan ini, banyak pihak mulai pesimistis. ”Berbuatlah sekehendakmu kalau memang ingin menghancurkan negeri
ini,” kata Ahmad Syafii Maarif. ”Semoga
ada mukjizat turun dari langit sebagaimana dulu burung ababil datang
tiba-tiba melumatkan pasukan gajah yang terlihat mahaperkasa. Semoga Mr
Presiden membaca krisis yang melanda negeri ini untuk melakukan langkah
penyelamatan sebelum ia tercatat dalam sejarah sebagai ’Presiden Terburuk
dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia.’ Aku pun berdoa Semoga TIDAK!” tulis
Imam Prasodjo dalam Facebook-nya.
Saya
percaya, di dalam hatinya, Presiden Jokowi berkeinginan kuat memberantas
korupsi dan melakukan perbaikan negeri ini. Namun, sejak bekerja sebagai
presiden, Jokowi tampak kesulitan melepaskan diri dari jeratan mental feodal,
terutama ketika berhadapan dengan berbagai kekuatan yang berjasa
mengantarkannya ke kursi kepresidenan. Kasus pengajuan Budi Gunawan sebagai
Kepala Polri dengan beragam implikasinya mesti dibaca sebagai kompleksitas
”ujian mental” yang menentukan status pemerintahan baru, khususnya terhadap
pemberantasan korupsi. Sebagai batu ujian, kenyataan ini memang tak mudah,
tetapi sebagai penggenggam amanat rakyat, presiden harus memenangkan ide
kontra korupsi agar gagasan revolusi mental dan Nawacita tak layu sebelum
berkembang.
Agenda revolusi mental
Baru-baru
ini Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
mengusulkan dana tambahan untuk revolusi mental Rp 149 miliar dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Meski belum jelas rinciannya,
belanja revolusi mental akan disebarkan pada berbagai kementerian. Alokasi
belanja itu sebenarnya tidak seberapa dibandingkan besarnya agenda revolusi
mental yang dibayangkan. Namun, dana tersebut menjadi terlalu besar untuk
sebuah gagasan yang program operasionalnya masih samar.
Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 (Buku II),
revolusi mental merupakan arah kebijakan dan strategi pembangunan lintas
bidang. Artinya, program revolusi mental akan dilaksanakan setiap
kementerian/lembaga terkait, satuan kerja pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Selain itu, saat ini banyak prakarsa dan ide pembangunan
revolusi mental telah dilakukan oleh berbagai tokoh dan masyarakat
sipil—pusat dan daerah—yang perlu disinergikan.
RPJMN
kiranya cukup terang memberikan kerangka umum, baik isi maupun regulasi, yang
mesti dijadikan dasar dan arah program operasional revolusi mental. Namun,
sebagai sebuah gerakan—menurut presiden, revolusi mental harus menjadi
gerakan nasional—perlu dipikirkan modus operandi masif dan efektif yang dapat
memandu agar derivasi kegiatan tak neko-neko,
seperti model pengoperasian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4). Namun, pengalaman P4 yang terlampau ekstrinsik dan artifisial perlu
diwaspadai. Revolusi mental seyogianya lebih bersifat intrinsik, yakni
mengubah dari dalam, membatinkan perilaku.
Saat
ini, kementerian (seharusnya semua terkait) dan pemerintah daerah masih
bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan dengan ide dan dana revolusi
mental. Dalam RPJMN, pada agenda pembangunan per bidang dan wilayah tak
terasa adanya roh revolusi mental dan semangat Trisakti.
Sebagai
ilustrasi, dalam Rencana Kerja Pemerintah 2015 bidang pendidikan (isu
strategis 3), sebagai bidang paling rapat dengan revolusi mental, baik
sasaran maupun arah kebijakan dan strategi, tak tampak semangat revolusi
mental dan gagasan Trisakti. Biasa-biasa saja. Rumusan itu masih berkutat
pada akses di setiap jenjang pendidikan. Sementara pembangunan kualitas yang
seharusnya menampakkan orientasi baru tetap terasa adem dan klise, seperti
memenuhi standar pelayanan minimal, relevansi, dan daya saing yang tak jelas
juntrungannya. Wajar saja di mata masyarakat sementara ini, revolusi mental
dan Trisakti di tingkat praksisnya sebatas kudapan singkong rebus, direktorat
keayahbundaan, dan menenggelamkan kapal. Hal ini akan makin parah dalam
perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah.
Konsistensi keteladanan
Selain
panduan operasional, agar tak layu sebelum berkembang, pemerintah harus terus
menggelorakan semangat revolusi mental melalui keteladanan yang konsisten,
terutama dalam keberanian menanggalkan mental feodal. Jokowi, harus diakui,
melalui gaya blusukan-nya, telah mencoba mendekonstruksi tradisi kepemimpinan
feodal yang biasanya membangun jarak, despotik, mudah tersinggung/merajuk,
dan senantiasa minta dihormati. Jokowi secara otentik menerapkan kepemimpinan
yang kalem, mendekat, dan mendengarkan agar keputusannya secara tepat
memenuhi keinginan rakyat. Demikian pula Basuki—dengan gaya berbeda—memimpin
DKI Jakarta dengan lugas dan tandas. Meski banyak dikritik, secara verbal
Basuki telah mematahkan tradisi eufimisme, ewuh pakewuh dalam birokrasi kita yang korup dan tertutup.
Selanjutnya,
meski tidak perlu sebuah badan, seperti Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dalam mengawal ide P4,
implementasi revolusi mental dan Trisakti tampaknya membutuhkan sekelompok orang
yang menekuni dalam pemikiran, perumusan, dan pendampingan pelaksanaannya.
Mengingat revolusi mental akan dijadikan gerakan nasional, kelompok tersebut
perlu diberi ”daya,” dengan menempatkannya dalam tim kepresidenan atau di
Lembaga Ketahanan Nasional, atau dijadikan tim tersendiri di bawah
kepresidenan.
Revolusi
mental sebenarnya tidak hanya diwacanakan, tetapi telah dimulai dari diri
Jokowi sendiri. Sebagai pemimpin bangsa, kepala negara, dan kepala
pemerintahan, Jokowi telah meretas batas dengan kebersahajaan dan membangun
komunikasi langsung dengan rakyat. Rakyat siap bersama dan membela para
pemimpinnya yang istikamah menghadapi segala ancaman demi kebaikan negeri.
Kini
Jokowi dituntut merealisasikan janji keberanian seperti dalam pidato pelantikannya:
“...Kita akan kembangkan layar yang
kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudra dengan kekuatan kita
sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar