Eksekusi
Mati : Kenapa Kita Diam Saja?
Lucia Ratih Kusumadewi ; Dosen Sosiologi FISIP-UI;
Mahasiswa Doktor di EHESS, Paris; Penggiat Lingkar Studi
Pendidikan Progresif
|
SATU
HARAPAN, 12 Maret 2015
Saat
ini publik kembali dihebohkan dengan berita eksekusi mati para terpidana
kasus narkoba jilid II. Pro dan kontra masih terus mengemuka. Mirisnya, suara
yang kontra terhadap hukuman mati makin sayup-sayup. Aktivis penggiat
kemanusiaan praktis hilang suaranya, terpaksa diam atau bila tidak, sekarang
mereka telah ramai-ramai berpindah haluan mendukung hukuman mati. Mahasiswa?
Lagi-lagi mahasiswa tidak bisa diandalkan untuk dapat berpikir lebih dari
melakukan demo ikut-ikutan pengumpulan koin sebagai protes kepada Perdana
Menteri Australia. Jelas dan tegas dalam menentang hukuman mati seperti yang
dituliskan Franz Magnis-Suseno dalam opini Kompas beberapa waktu yang lalu
artinya berjuang dalam kesendirian.
Media
massa dalam hal ini sangat berjasa menyetir opini publik menuju pada suara
mayoritas mendukung presiden Jokowi untuk menjalankan ‘pembunuhan
legal-berencana’ atas nama kedaulatan, penegakan hukum dan perang melawan
narkoba. Setiap hari hampir semua media bersuara sama, memuat berita tentang
kerugian bangsa yang maha dahsyat yang disebabkan oleh narkoba dan tentang
pihak asing yang dinilai telah ikut campur dalam urusan dalam negri.
Kata-kata seperti intervensi asing, kedaulatan negara, penegakan hukum kerap
sekali muncul. Tidak hanya sekedar pemberitaan, media bahkan telah
memproduksi berbagai acara diskusi disertai berbagai analisis mendukung
hukuman mati yang tak lain adalah bentuk pembodohan. Ini akibatnya bila media
massa yang bodoh, sangat percaya diri dan justru secara sadar atau tak sadar
telah melakukan pembodohan bangsa.
Harus
diakui bahwa bangsa kita ini memang masih merupakan bangsa barbar. Di saat
peradaban dunia tengah berjuang untuk tumbuh, mengarah pada sebuah tatanan
peradaban yang lebih menusiawi, Indonesia masih saja tidak dapat melepaskan
diri dari budaya-budaya arkaik barbarisme, di mana nafsu yang besar untuk
membunuh ditampilkan dengan gamblang di ruang-ruang publiknya. Ruang publik
Indonesia sebenarnya merupakan cerminan ruang publik tidak beradab yang penuh
dengan kekerasan. Hanya saja, saat ini nafsu untuk membunuh itu semakin mau
diperlihatkan sejalan dengan modernitas, demokrasi bahkan keadaban itu
sendiri. Bagaimana caranya; yaitu dengan melegalkan pembunuhan dan tak lupa
menyertainya dengan argumen-argumen yang seakan-akan logis dan rasional
tetapi sebenarnya mengandung kesalahan simplifikasi yang fatal.
Bahaya Simplifikasi
Saya
ingin memberi ulasan lebih jauh tentang bahaya simplifikasi akut dari
argumentasi hukuman mati. Dan dibandingkan argumentasi-argumentasi hukum yang
sebenarnya ‘tidak ada’ dari selain mendukung hukum yang sudah dibuat dan
dilegitimasikan oleh penguasa, saya lebih ingin mengkritisi situasi kebodohan
akut orang Indonesia secara sosiologis.
Misalnya
tentang argumentasi ‘perang melawan narkoba’. Pikiran orang Indonesia itu
sangat sederhana, bila tidak dapat dikatakan cenderung naif atau bodoh. Bagi
sebagian besar orang Indonesia, ini termasuk yang dipikirkan oleh yang
terhormat Bapak Presiden Jokowi (yang saya pilih dalam pemilu presiden yang
lalu) dan juga media massa, ‘perang melawan narkoba’ itu diterjemahkan sangat
sederhana menjadi ‘perang melawan bandar narkoba’. Kata ‘perang’ disini juga
diterjemahkan dengan sangat simpel yaitu ‘bunuh’. Dunia ini sangat sederhana,
‘as symple as that’, oleh karena itu,
berpikir sederhana adalah kunci jawaban bagi kehidupan yang lebih lancar dan
jaya.
Bila
kita coba mau sedikit melepaskan kesombongan terhadap kemampuan kita dalam
menyederhanakan kehidupan dan membuang lagi-lagi kemalasan kita untuk
berpikir lebih rumit, maka argumentasi pikiran sederhana, instan dan cepat
seperti itu dapat dengan cepat runtuh. Secara sosiologis, sebenarnya terdapat
berbagai kesalahan yang meyakinkan dalam memahami permasalahan narkoba.
Pertama, permasalahan narkoba di masyarakat jelas tidak hanya menyangkut
gembong dan atau pengedar narkoba. Gembong narkoba hanyalah sebagian aktor
pemain dalam keseluruhan sistem peredaran dan penggunaan narkoba. Berbagai
pihak lain yang dalam hal ini juga terlibat, selain gembong dan atau
pengedar, adalah si pemakai itu sendiri, orang tua, sanak keluarga dan
orang-orang dekat pemakai, pihak lain yang mengkontrol seperti masyarakat,
pemerintah dan apartusnya.
Mari
kita ulas satu per satu. Pertama, tentang si pemakai. Pertanyaan utama yang
patut dikemukakan, apakah gembong dan atau pengedar narkoba akan terus
melakukan aksinya bila tidak ada konsumen? Adalah fakta bahwa peredaran ini
mengikuti hukum permintaan dan penawaran, di mana kebutuhan memang bisa
diciptakan sedemikian rupa, tetapi bahwa kreativitas itu disambut dengan
kegembiraan di luar sana. Dalam hal ini Presiden Jokowi dan media massa yang
berulang kali mengatakan bahwa narkotika telah membunuh dan merusak generasi
bangsa, secara tidak adil dan sembrono memposisikan para pemakai narkoba sebagai
‘korban yang (tak) berdosa’, padahal bila satu pemakai saja menyatakan
menolak (dengan berbagai usaha yang mungkin tidak mudah), maka sebenarnya ia
telah memutus satu tali permasalahan narkoba di masyarakat.
Kedua,
tentang si orang tua. Lagi-lagi yang mengemuka di ruang publik, kelihatan
dengan jelas dan dengan penuh kebencian, orang tua menyalahkan para gembong
dan atau pengedar narkoba. Anak-anak lagi-lagi dianggap sebagai domba putih
suci yang telah terperangkap dalam jebakan. Mereka bahkan ramai-ramai membuat
komunitas yang dengan gagahnya menyatakan mau memerangi narkoba. Sementara
kebanyakan dari mereka hampir tidak pernah mempertanyakan perannya dalam
masalah itu. Banyak orang tua kelakuannya sangat bisa ditebak, yaitu mencari
kambing hitam terhadap apa yang menimpa anaknya, tetapi tidak mencoba melihat
pada diri sendiri.
Mengapa
seseorang dapat dengan mudah jatuh dalam lingkaran narkoba, tentu banyak
faktor yang berpengaruh. Salah satunya adalah pengetahuan dan kesadaran
tentang bahaya narkoba bagi kehidupan. Di titik ini dapat dipertanyakan,
apakah seorang anak dapat memasuki dunia narkoba dengan mudahnya bila tidak
karena ia memang mau masuk ke dalamnya? Di mana bimbingan orang tua dalam hal
ini? Atau orang tuanya sibuk sendiri mencari uang tanpa mengetahui bahwa
akhirnya uang itu digunakan anaknya untuk jajan narkoba?
Ketiga,
tentang institusi kontrol lainnya, yaitu masyarakat, pemerintah dan
apartusnya. Dalam banyak kasus keterlibatan masyarakat dalam melanggengkan
dan melapangkan narkoba adalah begitu jelas. Pembiaran, ketidakberanian,
ketidakpedulian bahkan yang terang-terangan mengambil keuntungan dari narkoba
merupakan bentuk dukungan yang paling riil terhadap masalah ini. Populernya
sebutan ‘Kampung Narkoba’ membuktikan bahwa masyarakat yang tidak peduli dan
atau bahkan jahat telah terlibat dalam melanggengkan masalah ini. Mengenai
pemerintah dan aparatusnya, sangat kelihatan bahwa yang mau dikesankan di
ruang publik adalah bahwa pemerintah dan aparatusnya begitu peduli dan
mencoba sekuat tenaga untuk dapat meminimalisir peredaran narkoba. Setiap
saat setiap waktu media massa menyiarkan hasil tangkapan narkoba yang
dilakukan polisi. Polisi dan pemerintah dalam hal ini telah diposisikan
sebagai super hero pelindung masyarakat. Tapi apakah memang betul demikian?
Apakah memang betul bahwa polisi benar-benar suci murni dan heroik seperti
yang digambarkan itu? Apakah betul bahwa pemerintah juga benar-benar berusaha
dan bisa dalam hal ini memberantas narkoba tanpa ada kepentingan-kepentingan
politis lainnya?
Mengakhiri Pembodohan
Dengan
mengambil langkah berpikir yang agak rumit memang membutuhkan usaha dan
kesabaran. Namun manfaat yang bisa diambil jauh lebih besar. Bila setiap
pihak mau lebih melakukan otokritik terhadap dirinya, bertanya apa yang telah
saya sumbangkan bagi permasalahan narkoba itu, maka sebenarnya dapat
tergambar dengan jelas bahwa banyak pihak bahkan semua, telah memberi
kontribusi dalam melanggengkan narkoba, terlebih Bapak Presiden sendiri yang
notabene memiliki kekuasaan yang besar di negri ini.
Hukuman
mati sekali lagi mencerminkan bangsa ini belum beradab dimana ruang publik
masih menjadi arena kekerasan pemuasan nafsu membunuh. Percuma saja kita sok
mempromosikan keutamaan-keutamaan di ruang publik seperti nilai-nilai
kemanusiaan, cinta kasih, solidaritas sosial, gotong royong dan sebagainya,
tetapi ruang publik tetapi didominasi oleh bukan sekedar wacana tapi tindakan
kekerasan. Maka bangsa kita dipastikan akan terpuruk pada sebuah lingkaran
kekerasan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin seterusnya bangsa Indonesia
akan menjadi bangsa pembunuh yang kejam. Masih adanya hukuman mati juga
mencerminkan bahwa bangsa ini sombong dan congkak. Setiap orang sudah
bertindak bagaikan Tuhan yang merasa memiliki otoritas atas kehidupan.
Tampaknya,
semua pihak harus mulai mawas diri. Harus ada pembenahan terhadap manusia
Indonesia secara menyeluruh. Para awak media, kalau bisa kembali ke bangku
sekolah atau melakukan berbagai usaha untuk membenahi kemampuan analisisnya
yang amburadul sehingga tidak berakibat pada pembodohan publik. Para pejuang
kemanusiaan, jangan patah semangat untuk menyuarakan anti-hukuman mati walau
gempuran membabi buta dari banyak arah, ini semua demi ruang publik yang
lebih manusiawi. Para akademisi yang masih mau dan masih mampu berpikir (karena
tidak semua akademisi mau dan mampu) tetap harus teguh mempromosikan
anti-hukuman mati demi pembangunan keadaban Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar