Selasa, 10 Maret 2015

Setahun BPJS Kesehatan

Setahun BPJS Kesehatan

Sulastomo  ;  Anggota/Ketua Tim SJSN 2001-2004
KOMPAS, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Perjalanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan baru setahun. Dalam kurun waktu itu, meskipun sudah banyak membantu  masyarakat mengatasi risiko ekonomi karena  sakit,  masih banyak keluhan yang dilontarkan peserta BPJS Kesehatan. 

Orang-orang yang diselamatkan dari beban biaya cuci darah, operasi jantung atau pengobatan kanker, rasanya sudah tidak terhitung. Namun, sejalan dengan itu, ancaman BPJS Kesehatan bangkrut juga perlu diwaspadai.

Ada berita "claim-ratio" sudah di atas 100 persen.  Artinya, dana yang tersedia dari iuran peserta  sudah tidak mencukupi. Kalau BPJS Kesehatan tidak mampu lagi membayar pelayanan kesehatan, bagaimana nasib  sekitar 150 juta pesertanya? Gejolak sosial, dalam hal ini perlu diwaspadai dan bahkan dicegah.  Masa depan cita-cita memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat juga akan terancam.

Apa yang salah? 

Jaminan biaya kesehatan

Ketika BPJS Kesehatan memulai tugasnya pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes Indonesia   bertugas memberi jaminan  kesehatan kepada lima   kelompok masyarakat sekaligus, yaitu  kelompok peserta PT (Persero) Askes Indonesia yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun (PNS /PP), kelompok peserta PT (Persero) Jamsostek, yang terdiri dari para karyawan swasta,  peserta program Jamkesmas di berbagai daerah serta masyarakat yang tidak mampu yang tercakup dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta mandiri, yaitu perorangan yang mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, juga peserta Kartu Indonesia Sehat yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, yang tercakup dalam  program   peserta PBI.  Pada kurun waktu setahun itu, peserta BPJS Kesehatan telah meningkat menjadi sekitar 136 juta orang, sebelumnya peserta Askes hanya sekitar 19 juta orang.  Kelima   kelompok itu berbeda dalam pembiayaan, sistem pelayanan, dan juga manfaat jaminan kesehatannya.

Setelah bergabung pada 1 Januari 2014, kelimanya memperoleh jaminan kesehatan sesuai skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan seperangkat sistem pembiayaan (INA-CBG)  dan pelayanan berjenjang, untuk memenuhi kebutuhan medik.   

Dari kenyataan seperti itu, kiranya dapat diantisipasi beberapa hal yang bisa menjadi kendala, bahkan ancaman bagi kelangsungan hidup  BPJS Kesehatan:

Pertama. Beban operasional/ administrasi/keuangan BPJS Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes dan badan tunggal penyelenggara JKN meningkat tajam dalam waktu sangat pendek.     Wajar, kalau terjadi keribetan awal yang luar biasa.  

Kedua. Implementasi INA-CBG, sebagai sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang baru juga memerlukan sosialisasi yang luas. Tidak saja di kalangan internal BPJS Kesehatan, tetapi juga kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), dalam hal ini dokter/puskesmas dan rumah sakit.

Selain itu, besaran jasa berdasar INA-CBG juga memperoleh penilaian beragam, lebih kecil atau lebih besar dari yang berlaku, tergantung tarif yang berlaku di masing-masing daerah dan RS. Penilaian besaran tarif, selayaknya juga  digunakan tarif pelayanan kesehatan yang selama ini berlaku di PT (Persero) Askes, tidak hanya  tarif yang berlaku bagi masyarakat umum.

Ada kesan, INA-CBG juga membuka peluang   terjadinya pemanfaatan pelayanan yang berlebihan, bahkan penyimpangan.  Terjadinya "claim ratio" di atas 100 persen, tidak saja disebabkan karena besaran tarif INA-CBG, tetapi juga sistem pelayanan kesehatannya yang belum optimal.

Ketiga. Peserta mandiri memberi peluang terjadinya peningkatan biaya, mengingat hanya kelompok rawan  penyakit, terutama penyakit yang memerlukan biaya yang besar untuk mendaftarkan diri (bias selection), misalnya, cuci darah, operasi jantung, dan kanker. Kini, dikabarkan jumlahnya mendekati 10 juta orang.  Konsep asuransi sosial tidak diberlakukan, bahkan lebih liberal dari prinsip asuransi kesehatan komersial, sehingga ancaman defisit sangat nyata.       

Dari implementasi JKN  sebagaimana digambarkan di atas, apabila kita membuka Undang-Undang  Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang melandasi penyelenggaraan jaminan kesehatan  ditemukan hal-hal sebagai berikut.

Temuan di lapangan

Meskipun terbuka peluang terbentuknya badan tunggal penyelenggara jaminan kesehatan,  peta jalan disarankan bertahap. Penahapan ini dari jumlah badan penyelenggara, yang membuka peluang beberapa BPJS dan cakupan peserta yang disarankan mulai dari kelompok tenaga kerja formal, dengan menerapkan  konsep asuransi kesehatan sosial secara nasional, termasuk bagi kelompok tenaga kerja nonformal.

Dengan pendekatan seperti ini, kelangsungan hidup BPJS lebih terjamin.  Hal ini diperlukan untuk dapat mendekati asas keadilan sosial dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan serta kegotong-royongan.  Pengertian kepesertaan wajib dalam UU No 40/2004,  tidak berarti keterpaksaan, tetapi tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban peserta dan kemampuan BPJS.

Hal lain adalah besaran jasa layanan  kesehatan ditetapkan berdasar  kondisi daerah, melalui  kesepakatan antara badan penyelenggara di daerah dengan PPK di daerah.  Hal ini untuk memenuhi asas manfaat dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan, mengingat kondisi PPK di beberapa  daerah sangat berbeda kemampuannya.

Berikutnya manfaat medik yang sama bagi seluruh peserta untuk memenuhi kebutuhan medik. Sedangkan untuk manfaat nonmedik, misalnya, kelas perawatan   RS, dimungkinkan berbeda sesuai dengan besaran iuran secara nominal, sesuai dengan prinsip asuransi. Formula ini juga untuk memenuhi asas "Kemanusiaan"  dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan.

Perlu ditetapkan penyelenggaraan jaminan kesehatan berdasar konsep "Managed Healthcare Concept"  dengan menerapkan sistem pembayaran  prospective payment system (sistem pembayaran pradana)  dan pemberian obat  sesuai  daftar obat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan medik  serta harga plafon yang ditetapkan. Hal ini diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang efisien dengan biaya yang optimal, menjamin terselenggaranya kendali mutu dan kendali biaya di dalam penyelenggaran jaminan kesehatan.

Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas tentunya timbul pertanyaan, apakah JKN merupakan implementasi program jaminan kesehatan sebagaimana tertuang dalam UU No 40/2004?  Tanpa mengurangi adanya inovasi yang harus tetap terbuka, prinsip-prinsip dan asas-asas penyelenggaraan jaminan kesehatan tetap diperlukan.  Hal ini karena biaya kesehatan selalu meningkat tajam, tahun demi tahun,   melampaui inflasi dan harga barang  dan jasa  lainnya. Pemicunya adalah sifat alami pelayanan  kesehatan yang padat modal, padat karya, dan padat teknologi, tetapi juga terbukanya peluang  pemanfaatan pelayanan  kesehatan yang berlebihan dan bahkan tidak diperlukan.  Keberhati-hatian penyelenggaraan jaminan kesehatan, dalam hal ini sangat penting.

Harapan

Kini, JKN dan BPJS Kesehatan telah berjalan setahun.  Optimisme  untuk mencapai cakupan semesta (universal coverage) pada 2019 harus disertai antisipasi kemampuan pendanaan dan menemukan sistem pelayanan kesehatan yang efisien.  Hal ini, sebenarnya telah diantisipasi dalam UU N0 40/2004.  Evaluasi, dengan demikian  diperlukan terkait dua hal. Pertama besaran iuran dan manfaat serta sistem pelayanan kesehatan yang diterapkan.

Pelajaran dari banyak negara mengindikasikan, konsumsi biaya kesehatan  yang tinggi, belum tentu berdampak status kesehatan yang tinggi pula. Amerika Serikat, yang dikabarkan mengonsumsi 17 persen PDB untuk kesehatan, tidak lebih baik status kesehatannya dibanding Jepang, yang hanya menggunakan separuh anggaran kesehatan AS .

Berapa Indonesia akan mengalokasikan anggaran kesehatannya?  Semoga masih dalam jangkauan yang rasional untuk membiayainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar