Setahun
BPJS Kesehatan
Sulastomo ; Anggota/Ketua
Tim SJSN 2001-2004
|
KOMPAS,
10 Maret 2015
Perjalanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
baru setahun. Dalam kurun waktu itu, meskipun sudah banyak membantu masyarakat mengatasi risiko ekonomi
karena sakit, masih banyak keluhan yang dilontarkan
peserta BPJS Kesehatan.
Orang-orang yang diselamatkan dari beban biaya cuci darah,
operasi jantung atau pengobatan kanker, rasanya sudah tidak terhitung. Namun,
sejalan dengan itu, ancaman BPJS Kesehatan bangkrut juga perlu diwaspadai.
Ada berita "claim-ratio"
sudah di atas 100 persen. Artinya,
dana yang tersedia dari iuran peserta
sudah tidak mencukupi. Kalau BPJS Kesehatan tidak mampu lagi membayar
pelayanan kesehatan, bagaimana nasib sekitar
150 juta pesertanya? Gejolak sosial, dalam hal ini perlu diwaspadai dan
bahkan dicegah. Masa depan cita-cita
memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat juga akan terancam.
Apa yang salah?
Jaminan biaya kesehatan
Ketika BPJS Kesehatan memulai tugasnya pada 1 Januari
2014, BPJS Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes Indonesia bertugas memberi jaminan kesehatan kepada lima kelompok masyarakat sekaligus, yaitu kelompok peserta PT (Persero) Askes
Indonesia yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun (PNS
/PP), kelompok peserta PT (Persero) Jamsostek, yang terdiri dari para
karyawan swasta, peserta program
Jamkesmas di berbagai daerah serta masyarakat yang tidak mampu yang tercakup
dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan peserta mandiri, yaitu
perorangan yang mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Selain itu, juga peserta Kartu Indonesia Sehat yang
dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, yang tercakup dalam program
peserta PBI. Pada kurun waktu
setahun itu, peserta BPJS Kesehatan telah meningkat menjadi sekitar 136 juta
orang, sebelumnya peserta Askes hanya sekitar 19 juta orang. Kelima
kelompok itu berbeda dalam pembiayaan, sistem pelayanan, dan juga
manfaat jaminan kesehatannya.
Setelah bergabung pada 1 Januari 2014, kelimanya
memperoleh jaminan kesehatan sesuai skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dengan seperangkat sistem pembiayaan (INA-CBG) dan pelayanan berjenjang, untuk memenuhi
kebutuhan medik.
Dari kenyataan seperti itu, kiranya dapat diantisipasi
beberapa hal yang bisa menjadi kendala, bahkan ancaman bagi kelangsungan
hidup BPJS Kesehatan:
Pertama. Beban operasional/ administrasi/keuangan BPJS
Kesehatan, sebagai transformasi PT (Persero) Askes dan badan tunggal
penyelenggara JKN meningkat tajam dalam waktu sangat pendek. Wajar, kalau terjadi keribetan awal yang
luar biasa.
Kedua. Implementasi INA-CBG, sebagai sistem pembayaran
pelayanan kesehatan yang baru juga memerlukan sosialisasi yang luas. Tidak
saja di kalangan internal BPJS Kesehatan, tetapi juga kepada Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK), dalam hal ini dokter/puskesmas dan rumah sakit.
Selain itu, besaran jasa berdasar INA-CBG juga memperoleh
penilaian beragam, lebih kecil atau lebih besar dari yang berlaku, tergantung
tarif yang berlaku di masing-masing daerah dan RS. Penilaian besaran tarif,
selayaknya juga digunakan tarif
pelayanan kesehatan yang selama ini berlaku di PT (Persero) Askes, tidak
hanya tarif yang berlaku bagi
masyarakat umum.
Ada kesan, INA-CBG juga membuka peluang terjadinya pemanfaatan pelayanan yang
berlebihan, bahkan penyimpangan. Terjadinya
"claim ratio" di atas 100 persen, tidak saja disebabkan karena
besaran tarif INA-CBG, tetapi juga sistem pelayanan kesehatannya yang belum
optimal.
Ketiga. Peserta mandiri memberi peluang terjadinya
peningkatan biaya, mengingat hanya kelompok rawan penyakit, terutama penyakit yang memerlukan
biaya yang besar untuk mendaftarkan diri (bias selection), misalnya, cuci
darah, operasi jantung, dan kanker. Kini, dikabarkan jumlahnya mendekati 10
juta orang. Konsep asuransi sosial
tidak diberlakukan, bahkan lebih liberal dari prinsip asuransi kesehatan
komersial, sehingga ancaman defisit sangat nyata.
Dari implementasi JKN
sebagaimana digambarkan di atas, apabila kita membuka
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang melandasi penyelenggaraan
jaminan kesehatan ditemukan hal-hal
sebagai berikut.
Temuan di lapangan
Meskipun terbuka peluang terbentuknya badan tunggal
penyelenggara jaminan kesehatan, peta
jalan disarankan bertahap. Penahapan ini dari jumlah badan penyelenggara,
yang membuka peluang beberapa BPJS dan cakupan peserta yang disarankan mulai
dari kelompok tenaga kerja formal, dengan menerapkan konsep asuransi kesehatan sosial secara
nasional, termasuk bagi kelompok tenaga kerja nonformal.
Dengan pendekatan seperti ini, kelangsungan hidup BPJS
lebih terjamin. Hal ini diperlukan
untuk dapat mendekati asas keadilan sosial dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan
serta kegotong-royongan. Pengertian
kepesertaan wajib dalam UU No 40/2004,
tidak berarti keterpaksaan, tetapi tetap mempertimbangkan hak dan
kewajiban peserta dan kemampuan BPJS.
Hal lain adalah besaran jasa layanan kesehatan ditetapkan berdasar kondisi daerah, melalui kesepakatan antara badan penyelenggara di
daerah dengan PPK di daerah. Hal ini
untuk memenuhi asas manfaat dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan,
mengingat kondisi PPK di beberapa
daerah sangat berbeda kemampuannya.
Berikutnya manfaat medik yang sama bagi seluruh peserta
untuk memenuhi kebutuhan medik. Sedangkan untuk manfaat nonmedik, misalnya,
kelas perawatan RS, dimungkinkan
berbeda sesuai dengan besaran iuran secara nominal, sesuai dengan prinsip
asuransi. Formula ini juga untuk memenuhi asas "Kemanusiaan" dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan.
Perlu ditetapkan penyelenggaraan jaminan kesehatan
berdasar konsep "Managed
Healthcare Concept" dengan
menerapkan sistem pembayaran
prospective payment system (sistem pembayaran pradana) dan pemberian obat sesuai
daftar obat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan medik serta harga plafon yang ditetapkan. Hal ini
diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang efisien
dengan biaya yang optimal, menjamin terselenggaranya kendali mutu dan kendali
biaya di dalam penyelenggaran jaminan kesehatan.
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas tentunya
timbul pertanyaan, apakah JKN merupakan implementasi program jaminan
kesehatan sebagaimana tertuang dalam UU No 40/2004? Tanpa mengurangi adanya inovasi yang harus
tetap terbuka, prinsip-prinsip dan asas-asas penyelenggaraan jaminan
kesehatan tetap diperlukan. Hal ini
karena biaya kesehatan selalu meningkat tajam, tahun demi tahun, melampaui inflasi dan harga barang dan jasa
lainnya. Pemicunya adalah sifat alami pelayanan kesehatan yang padat modal, padat karya,
dan padat teknologi, tetapi juga terbukanya peluang pemanfaatan pelayanan kesehatan yang berlebihan dan bahkan tidak
diperlukan. Keberhati-hatian
penyelenggaraan jaminan kesehatan, dalam hal ini sangat penting.
Harapan
Kini, JKN dan BPJS Kesehatan telah berjalan setahun. Optimisme
untuk mencapai cakupan semesta (universal
coverage) pada 2019 harus disertai antisipasi kemampuan pendanaan dan
menemukan sistem pelayanan kesehatan yang efisien. Hal ini, sebenarnya telah diantisipasi
dalam UU N0 40/2004. Evaluasi, dengan
demikian diperlukan terkait dua hal.
Pertama besaran iuran dan manfaat serta sistem pelayanan kesehatan yang
diterapkan.
Pelajaran dari banyak negara mengindikasikan, konsumsi
biaya kesehatan yang tinggi, belum
tentu berdampak status kesehatan yang tinggi pula. Amerika Serikat, yang
dikabarkan mengonsumsi 17 persen PDB untuk kesehatan, tidak lebih baik status
kesehatannya dibanding Jepang, yang hanya menggunakan separuh anggaran
kesehatan AS .
Berapa Indonesia akan mengalokasikan anggaran
kesehatannya? Semoga masih dalam
jangkauan yang rasional untuk membiayainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar