Senin, 16 Maret 2015

Daur Ulang Radikalisme

Daur Ulang Radikalisme

Akh Muzakki  ;  Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 16 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

RADIKALISME tidak pernah mati. Apa pun motivasi yang menggiringnya. Apa pun latar belakang dan basis gerakannya. Motif ekonomi, motif politik, motif agama, bahkan motif kuasa sosial pun bisa menjadi latar belakangnya.

Satu mati, tumbuh yang lain. Satu tiarap, bangkit yang lain. Bahkan, soal mati dan tumbuh serta tiarap dan bangkit itu, radikalisme bisa digerakkan individu-individu yang tidak sama dari satu radikalisme ke radikalisme berikutnya. Bisa juga radikalisme itu muncul oleh individu-individu yang menjadi pemain lama dan sebelumnya terlibat dalam gerakan serupa.

Apa yang sekarang muncul dengan label ISIS merupakan bukti bahwa terdapat proses daur ulang yang cukup kuat terhadap radikalisme. JI redup, ISIS menguat. Setelah sejumlah individu digagalkan terbang ke Timur Tengah untuk terlibat di ISIS beberapa waktu lalu, kini 16 WNI ditengarai hilang dan terlibat dalam gerakan yang sama.

Pertanyaannya, mengapa radikalisme tak pernah mati? Mengapa radikalisme selalu mendaur ulang diri di atas? Ada beberapa faktor yang mendorong merebaknya daur ulang radikalisme di atas. Pertama, faktor keagamaan berbasis kebangsaan. Lemahnya pemahaman tentang keislaman dan keindonesiaan menjadi alasan penting. Kelompok-kelompok garis keras seperti ISIS mewadahi mereka yang ingin mendirikan negara Islam, sekaligus ingin memanggul senjata untuk memerangi musuh-musuhnya. Semangat tersebut membesar di hati para pengikutnya.

Orang-orang seperti itu merasa memiliki semangat besar, tanpa pertimbangan rasional dan matang. Modalnya adalah semangat dan bisa ikut ke wilayah konflik untuk mengangkat senjata. Yang dipikirkan hanyalah lahan jihad dan menggunakan senjata untuk mencari pengalaman. Kematian dianggap sebagai konsekuensi dari jihad.

Kedua, masih kuatnya deprivasi atau keterpurukan sosial. Ada tiga jenis deprivasi: deprivasi psikis, etis, dan eksistensial. Deprivasi psikis muncul saat seseorang gagal memiliki sistem pemaknaan yang baik atas dirinya terhadap dunia sekelilingnya. Deprivasi etis muncul saat sistem nilai personal yang dimiliki seseorang bertentangan dengan sistem nilai sosial yang dianut masyarakat, sedangkan yang bersangkutan merasa bahwa sistem nilai personalnya tidak diterima masyarakat. Deprivasi eksistensial lahir saat seseorang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya tatkala masuk ke dalam proses memaknai arti kehidupan (Inger Furseth dan Pål Repstad, An Introduction to the Sociology, 2006:112).

Keterpurukan membuat sejumlah kelompok kehilangan harapan. Tiadanya harapan perubahan kualitas hidup membuat mereka mudah terperangkap kepada janji surga yang biasa dikampanyekan kelompok militan jihadis. Lebih dari itu, kurangnya sentuhan pembangunan menambah buruknya deprivasi sosial tersebut. Mereka yag terlibat dalam kelompok militan garis keras itu selama ini menjadi kelompok yang tidak banyak mendapatkan sentuhan pembangunan, sehingga tidak ada pencerahan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Hadirnya faktor-faktor di atas menjadi lahan subur bagi penguatan basis sosial kelompok militan garis keras. Ada beberapa identifikasi yang bisa diberikan untuk melihat akar sosial pendukung kelompok militan garis keras di atas. Pertama, mereka cenderung berasal dari kalangan masyarakat Islam rural yang mengalami proses mobilisasi vertikal yang belum selesai. Kata ’’belum selesai’’ di sini menunjuk kepada fase awal dari pergerakan sosial dari masyarakat tradisional-rural ke modern-urban.

Kedua, mereka cenderung berasal dari kalangan yang belum atau kalah mapan secara sosial-politik dibanding kelompok Islam Indonesia lainnya. Rata-rata mereka cenderung bukan kalangan yang secara sosial-politik sedang atau telah memegang kekuasaan dari kerangka negara Indonesia.

Oleh karena itu, pergerakan kelompok Islam militan garis keras tersebut juga bisa dipandang sebagai upaya perlawanan ideologis dari sekelompok masyarakat Islam terhadap dominasi kelompok Islam lainnya yang sedang memegang kekuasaan sosial-politik. Sebagai bentuk perlawanan itu, mereka menawarkan Islam garis keras sebagai jawaban atas kenyataan buruknya performa sosial-politik kelompok Islam mapan (Zachary Abuza, Political Islam and Violence in Indonesia, 2007: 66–82). 

Secara ideologis, terdapat proses Arabisasi dan atau ’’Timur-Tengah-isasi’’ yang cenderung mutlak dalam cara berpikir dan bertindak kelompok-kelompok radikal. Kreativitas lokal dengan menyertakan kultural lokal dalam memaknai ajaran agama tidak terlalu ditampakkan. Bahkan, kreativitas lokal itu cenderung dikalahkan kerangka besar dari Arabisasi itu.

Kecenderungan tersebut mengalami proses sinergisasi dengan kerinduan yang besar di sejumlah kelompok Islam Indonesia itu untuk kembali kepada keyakinan dan praktik Islam masa lalu yang dipandang bisa memberikan ’’obat penenang’’ (panacea) bagi kehidupan masa kini. Kerinduan itu secara sosiologis semakin besar dengan dipicu keprihatinan atas maraknya praktik immoralitas, termasuk tercederainya prinsip akuntabilitas publik dalam penegakan jabatan publik.

Faktor-faktor dan identifikasi basis sosial di atas menjadikan mereka rentan sebagai subjek kampanye dan propaganda kelompok-kelompok yang menjanjikan angin surga. Kelompok-kelompok garis keras selalu memberikan janji dan angin surga kepada mereka. Saat kehilangan harapan adanya perbaikan kualitas hidup, mereka tidak punya harapan lagi dan merasa putus asa. Dalam situasi seperti itu, janji surga menjadi harapan besar dan suci. Dalam kondisi inilah, kelompok-kelompok garis keras dengan mudah dan cepat bisa merekrut pengikut.

Apalagi, menguatnya teknologi komunikasi dan informasi, seperti internet dan media sosial, menjadikan informasi tersebar dengan mudahnya. Siapa pun bisa mengakses tanpa tahu sumber dan tingkat kebenarannya. Dalam kondisi seperti ini, sistem membership di media sosial sangat longgar (loose) dan terbuka (open). Sementara itu, kelompok-kelompok garis keras menyebarkan propaganda melalui eksploitasi terhadap darah, air mata, dan cacat tubuh yang dialami kelompok muslim di belahan dunia lain karena perilaku lalim kelompok lainnya.

Emosi masyarakat muslim dibikin tersulut dengan propaganda itu melalui proses yang disebut James W. Jonesdalam bukunya Blood that Cries Out from the Earth (2008:43-5) dengan praktik ’’permusuhan’’ (the demonizing of enemies) atau ’’pembangsatan’’ (satanizing the other) atas yang lain. Nah, mereka yang tidak mendapatkan pencerahan yang baik, baik dari sisi agama maupun sosial kebangsaan, akan menjadi bagian dari sederetan pengusung dan pengikut kelompok garis keras dalam wajah yang bisa berubah antara satu generasi ke generasi lainnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar