Minggu, 15 Maret 2015

Dua Wajah Islam

Dua Wajah Islam

Nur Hadi ;  Cerpenis, Tinggal di Jepara
JAWA POS, 14 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

ISLAM merupakan sebuah entitas yang kini diperhitungkan di arena panggung dunia. Islam tidak lagi dianggap melulu sebuah dogma ajaran yang mengajarkan halal haram dan amalan-amalan suci untuk menemukan jalan surga, tetapi juga merupakan kekuatan politik yang ikut memengaruhi tatanan dunia.

Sejak awal kelahirannya, Islam sebenarnya memperlihatkan hal itu. Sejarah mencatat keberhasilan Muhammad SAW dalam membangun sebuah negara dan masyarakat berdasar fondasi-fondasi yang luar biasa. Yang patut diacungi jempol, Rasulullah juga memosisikan diri sebagai negarawan yang mampu membangun negaranya di tengah banyak persoalan yang menghadang serta kerasnya watak pelbagai tipe manusia. Khilafah-khilafah sesudah beliau juga turut mewarnai serta menyumbang sejarah peradaban dunia. Islam ternyata juga bisa menjadi kekuatan politik yang tidak boleh diabaikan.

Soekarno adalah contoh salah satu sosok yang bisa melihat dan berani memanfaatkan itu. Dia berguru dengan kejelian H.O.S. Tjokroaminoto. Meski tidak berani memanfaatkan kekuatan Islam secara penuh dan lebih memilih menggandengkan dengan beberapa isme lain, setidaknya dia telah melihat bahwa pada masa depan Islam dapat dijadikan komoditas politik.

Lalu, bagaimana nasib Islam pada masa sekarang? Benarkah ramalan Soekarno tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu, setidaknya kita mesti melihat wajah Islam di negeri ini sekarang.

Islam di Indonesia terbilang cukup unik. Ia lahir dari proses asimilasi kebudayaan yang berlangsung cukup panjang sehingga seakan telah menjadi denyut jantung kehidupannya. Embrionya berasal dari agama Abraham atau millatu Ibrahim yang dibawa para pedagang dan kemudian beranak-pinak melalui proses asimilasi budaya tanpa paksaan (Herman Sinung Janutama, 2014:5).

Islam bahkan melebur pada sebagian mereka yang masih memegang tradisi leluhur dengan sangat kuat sehingga melahirkan corak tersendiri. Keselarasan dengan alam sekitar menjadi napasnya. Kata Panembahan Senapati Mataram, ’’Amemangun karyenak tyasing sesama’’, yakni Islam yang menjadi rumah berteduh bagi semua kemanusiaan. Akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan Islam Eropa yang proses kelahirannya bermula dari kegagalan atas pelbagai masalah sosial.

Graham E. Fuller, seorang guru besar sejarah di Simon Fraser University, Kanada, mencatat (2014:236), Islam di Eropa lahir dari proses imigrasi besar-besaran yang terjadi pada 1960. Dipicu kebutuhan Eropa akan para pekerja kasar untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan yang tidak diingini orang-orang Eropa. Yang semula dilihat sebagai situasi sementara oleh kedua pihak justru menjadi semipermanen.

Jumlah mereka pun meningkat dan terkonsentrasi pada ghetto-ghetto etnis. Masalah utamanya terletak pada latar belakang sosioekonomi kaum imigran yang tidak berketerampilan dan berpendidikan rendah sehingga kurang mampu beradaptasi dan berintegrasi ke dalam tatanan sosial.

Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan, dipandang sebagai orang luar, merasa diasingkan, dan mundur ke dalam cangkang budaya mereka sendiri. Semua itu mengarah pada stereotip tentang keengganan muslim untuk berasimilasi. Jadi, andaikata Islam bukanlah agama mereka, krisis sosial tetap akan ada, meski dampaknya mau tidak mau merembet ke arah sentimen agama.

Fuller juga menambahkan, krisis yang berjalan dari dua arah itu diperparah lemahnya psikologis sejumlah kecil para imigran muslim tersebut. Hasilnya, mereka pun bisa dengan mudah menerima teori-teori konspirasi yang digelembungkan dan penafsiran-penafsiran berlebihan atas perbuatan-perbuatan jahat kolonial Barat masa lampau.

Teori-teori tersebut memiliki banyak unsur kebenaran, namun tidak memiliki proporsi dan sudut pandang sejarah. Sementara itu, di ujung lain pandangan tersebut, orang Barat umumnya percaya bahwa penjajahan Barat pada dasarnya positif sehingga tuduhan-tuduhan terhadap kekejaman Barat selama periode kolonial sering langsung ditolak.

Kegagalan-kegagalan Islam politis dalam memecahkan aneka persoalan itulah yang menjadikan International Crisis Group mencatat sebagian kaum muslim pun kemudian lari ke salafisme, sebuah gerakan berpikiran sempit yang secara keagamaan berfokus menekankan ketaatan individu pada ajaran Islam. Sempit lantaran segala penafsiran yang mereka ajukan selalu mendorong muslim untuk menjauhi masyarakat nonmuslim, berpaling ke dalam diri sendiri, dan menolak budaya setempat. Pergumulannya cenderung ke arah sebuah perang kebudayaan. Jadi, jelas tampak besar perbedaannya dengan Islam tanah air yang justru terlihat melebur dengan budaya setempat.

Salafisme, tampaknya, juga mulai menular ke Indonesia. Sebanyak 16 WNI yang dicurigai bergabung dengan ISIS (meski Salafi menolak ISIS sebagai bagian dari mereka lantaran gerakan tersebut kelewat radikal) merupakan gejala demam yang patut diwaspadai. Meski, jika merunut sejarah Islam negeri ini, sulit bagi mereka untuk menjadi semacam penyakit kronis. Tetapi, kesalahpahaman yang berbuntut cemarnya nama Islam merupakan tabungan masalah yang patut diwaspadai.

Ada solusi menarik dari Gus Dur terkait dengan radikalisme. Yakni, radikalisme itu memang selalu vokal. Teriaknya macam-macam, tetapi sebenarnya tidak memiliki kekuatan. Asal alur umum tidak terpengaruh, maka tidak ada masalah. Jumlah mereka kecil. Anggap saja tidak ada. Masalahnya, bisakah kita berpikiran seperti itu? Sebab, kenyataannya, Islam merupakan sebuah bendera yang mudah dibawa siapa saja. Islam sudah merupakan komoditas yang menggiurkan bagi siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar