Dua
Wajah Islam
Nur Hadi ; Cerpenis,
Tinggal di Jepara
|
JAWA
POS, 14 Maret 2015
ISLAM merupakan sebuah entitas yang kini diperhitungkan di arena
panggung dunia. Islam tidak lagi dianggap melulu sebuah dogma ajaran yang
mengajarkan halal haram dan amalan-amalan suci untuk menemukan jalan surga,
tetapi juga merupakan kekuatan politik yang ikut memengaruhi tatanan dunia.
Sejak awal kelahirannya, Islam sebenarnya memperlihatkan hal
itu. Sejarah mencatat keberhasilan Muhammad SAW dalam membangun sebuah negara
dan masyarakat berdasar fondasi-fondasi yang luar biasa. Yang patut diacungi
jempol, Rasulullah juga memosisikan diri sebagai negarawan yang mampu
membangun negaranya di tengah banyak persoalan yang menghadang serta kerasnya
watak pelbagai tipe manusia. Khilafah-khilafah sesudah beliau juga turut
mewarnai serta menyumbang sejarah peradaban dunia. Islam ternyata juga bisa
menjadi kekuatan politik yang tidak boleh diabaikan.
Soekarno adalah contoh salah satu sosok yang bisa melihat dan
berani memanfaatkan itu. Dia berguru dengan kejelian H.O.S. Tjokroaminoto.
Meski tidak berani memanfaatkan kekuatan Islam secara penuh dan lebih memilih
menggandengkan dengan beberapa isme lain, setidaknya dia telah melihat bahwa
pada masa depan Islam dapat dijadikan komoditas politik.
Lalu, bagaimana nasib Islam pada masa sekarang? Benarkah ramalan
Soekarno tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu, setidaknya kita mesti
melihat wajah Islam di negeri ini sekarang.
Islam di Indonesia terbilang cukup unik. Ia lahir dari proses
asimilasi kebudayaan yang berlangsung cukup panjang sehingga seakan telah
menjadi denyut jantung kehidupannya. Embrionya berasal dari agama Abraham
atau millatu Ibrahim yang dibawa para pedagang dan kemudian beranak-pinak
melalui proses asimilasi budaya tanpa paksaan (Herman Sinung Janutama,
2014:5).
Islam bahkan melebur pada sebagian mereka yang masih memegang
tradisi leluhur dengan sangat kuat sehingga melahirkan corak tersendiri.
Keselarasan dengan alam sekitar menjadi napasnya. Kata Panembahan Senapati
Mataram, ’’Amemangun karyenak tyasing
sesama’’, yakni Islam yang menjadi rumah berteduh bagi semua kemanusiaan.
Akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan Islam Eropa yang proses
kelahirannya bermula dari kegagalan atas pelbagai masalah sosial.
Graham E. Fuller, seorang guru besar sejarah di Simon Fraser
University, Kanada, mencatat (2014:236), Islam di Eropa lahir dari proses
imigrasi besar-besaran yang terjadi pada 1960. Dipicu kebutuhan Eropa akan
para pekerja kasar untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan yang tidak
diingini orang-orang Eropa. Yang semula dilihat sebagai situasi sementara
oleh kedua pihak justru menjadi semipermanen.
Jumlah mereka pun meningkat dan terkonsentrasi pada
ghetto-ghetto etnis. Masalah utamanya terletak pada latar belakang
sosioekonomi kaum imigran yang tidak berketerampilan dan berpendidikan rendah
sehingga kurang mampu beradaptasi dan berintegrasi ke dalam tatanan sosial.
Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan, dipandang sebagai orang
luar, merasa diasingkan, dan mundur ke dalam cangkang budaya mereka sendiri.
Semua itu mengarah pada stereotip tentang keengganan muslim untuk
berasimilasi. Jadi, andaikata Islam bukanlah agama mereka, krisis sosial
tetap akan ada, meski dampaknya mau tidak mau merembet ke arah sentimen
agama.
Fuller juga menambahkan, krisis yang berjalan dari dua arah itu
diperparah lemahnya psikologis sejumlah kecil para imigran muslim tersebut.
Hasilnya, mereka pun bisa dengan mudah menerima teori-teori konspirasi yang
digelembungkan dan penafsiran-penafsiran berlebihan atas perbuatan-perbuatan
jahat kolonial Barat masa lampau.
Teori-teori tersebut memiliki banyak unsur kebenaran, namun
tidak memiliki proporsi dan sudut pandang sejarah. Sementara itu, di ujung
lain pandangan tersebut, orang Barat umumnya percaya bahwa penjajahan Barat
pada dasarnya positif sehingga tuduhan-tuduhan terhadap kekejaman Barat
selama periode kolonial sering langsung ditolak.
Kegagalan-kegagalan Islam politis dalam memecahkan aneka
persoalan itulah yang menjadikan International Crisis Group mencatat sebagian
kaum muslim pun kemudian lari ke salafisme, sebuah gerakan berpikiran sempit
yang secara keagamaan berfokus menekankan ketaatan individu pada ajaran
Islam. Sempit lantaran segala penafsiran yang mereka ajukan selalu mendorong
muslim untuk menjauhi masyarakat nonmuslim, berpaling ke dalam diri sendiri,
dan menolak budaya setempat. Pergumulannya cenderung ke arah sebuah perang
kebudayaan. Jadi, jelas tampak besar perbedaannya dengan Islam tanah air yang
justru terlihat melebur dengan budaya setempat.
Salafisme, tampaknya, juga mulai menular ke Indonesia. Sebanyak
16 WNI yang dicurigai bergabung dengan ISIS (meski Salafi menolak ISIS
sebagai bagian dari mereka lantaran gerakan tersebut kelewat radikal)
merupakan gejala demam yang patut diwaspadai. Meski, jika merunut sejarah
Islam negeri ini, sulit bagi mereka untuk menjadi semacam penyakit kronis.
Tetapi, kesalahpahaman yang berbuntut cemarnya nama Islam merupakan tabungan
masalah yang patut diwaspadai.
Ada solusi menarik dari Gus Dur terkait dengan radikalisme.
Yakni, radikalisme itu memang selalu vokal. Teriaknya macam-macam, tetapi
sebenarnya tidak memiliki kekuatan. Asal alur umum tidak terpengaruh, maka
tidak ada masalah. Jumlah mereka kecil. Anggap saja tidak ada. Masalahnya,
bisakah kita berpikiran seperti itu? Sebab, kenyataannya, Islam merupakan
sebuah bendera yang mudah dibawa siapa saja. Islam sudah merupakan komoditas
yang menggiurkan bagi siapa saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar